Manusia secara alamiyah akan selalu dipertemukan dengan ujian. Level para nabi pun tak lepas dari menghadapi ujian. Bahkan semakin tinggi keilmuannya, semakin susah soal ujiannya. Semakin tinggi keshalehannya, maka akan semakin berat ujiannya. Nabi Adam as sejak awal kehadirannya telah diuji oleh Allah untuk menyebutkan ulang nama - nama yang telah diajarkanNya (Q.S 2;31). Nabi Muhammad saw setiap bulan Romadon akan diuji bacaan Al Qur`annya. Kita pun sebagai manusia biasa akan diuji, telah diuji dan sedang diuji. Demikian juga para pelajar di sekolahnya masing masing.
. Sebelum adanya Kurikulum Merdeka, Negara Indonesia melakukan sebuah sIstem ujian yang terstandar nasional di setiap akhir jenjang pendidikan. Namanya beraneka macam sesuai jenis kurikulum yang sedang berlaku. Tahun 1950an namanya Ujian Penghabisan, tahun 19601n bernama Ujian Negara, tahun 1970an menjadi Ujian Sekolah, tahun 1980an istilahnya Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), tahun 2000an bernama Ujian Akhir Nasional, Ujian Nasional, tahun 2014 - 2020 Ujian Nasional Berbasis Komputer. Â Seiring kedatangan Kurikulum Merdeka system pengujian nasional tersebut kemudian dihilangkan dan menjadi Assesmen Nasional. Berawal dari adanya bencana covid 19 , yang memberlakukan adanya isolasi terhadap seluruh penduduk planet bumi yang bertepatan dengan jadwal pelaksanaan ujian nasional ditingkat SD,SMP dan SMA. Pihak Kemendikbud pada saat itu mengambil kebijakan meniadakan proses ujian nasional.Â
Sejumlah alasan dikemukakan para ahli,terkait peniadaan system ujian Nasional . Ujian Nasional dianggap sebagai sitem yang gagal dalam meningkatkan kualitas Pendidikan Indonesia. Hasil penilaian PISA (Programme for International Student Assessment) yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 2018 menunjukkan masih rendahnya kemampuan literasi,numerasi dan tehnologi para siswa Indonesia. Negara Singapura masih menjadi  jawara pertama, sementara Indonesia berada di urutan ke 73 dari 75 negara peserta pada penilaian PISA. Oleh karena itu diselenggarakanlah system ujian berbeda di kurikulum Merdeka, yaitu Assesmen Literasi dan Numerasi. Pelaksanaanya tidak diakhir jenjang, namun justru dipertengahan jenjang sekolah. Hal ini dilakukan sesuai dengan kaidah tentang test sumatif dan formatif yang telah dikenal sejak lama. Assesmen tersebut sebagai penilaian formatif yang dilakukan di tengah proses pembelajaran supaya para siswa dan para guru dapat melakukan proses perbaikan ,dan penyempurnaan atas hasil dari assesmennya.
Namun, jauh panggang dari api. Proses assesmen di sejumlah sekolah hanya dilakukan sebatas ceremonial saja. Tidak terjadi proses perbaikan dan penyempurnaan setelahnya. Pengumuman hasil PISA terbaru yang dirilis Kemendikbud pada bulan Nopember 2024, masih menunjukkan Indonesia di level bawah, secara peringkat memang naik 5 -- 7 tapi secara skor justru menurun. Pada perilisan tersebut, Indonesia berada di peringkat ke 63 dari 81 negara peserta PISA. Ketiadaan Ujian Nasional yang diganti  dengan Ujian sekolah pada akhirnya membuat para siswa leha -leha dalam pembelajaran. Tidak terlihat lagi suasana penuh atmosfir pembelajaran di bulan bulan akhir jenjang sekolah. Biasanya para siswa akhir jenjang akan sangat giat mengulang materi pelajaran bahkan hingga mengikuti sejumlah les khusus untuk siswa akhir SMA. Sejumlah guru akan dengan semangat membekali para siswanya dengan banyak  doa dan latihan soal. Bahkan di beberapa sekolah  dilakukan acara menginap untuk berlatih dan berdoa sebelum pelaksanaan Ujian Nasional dan diakhiri meminta doa pada orangtua. Suasana hiruk pikuk itu telah tiada,, menguap. Nah, seiring berganti mentri, akankah UN Kembali diselenggarakan?
Andai Ujian Nasioanla kembali diadakan, tentu saja jangan sampai mengulang kesalahan yang sama di system sebelumnya. Berbagai pelanggaran, yang menjadi temuan pada masa UN terdahulu hendaklah diminimalisir. Â Secara garis besar kegagalannya terjadi pada tiga aspek: system yang dibangun, manusia yang melakukannya, konten materi yang diujikannya.
Sistem UN yang dibangun pemerintah menghasilkan maraknya berbagai Upaya manipulative dalam rangka meluluskan dan menaikkan nilai para siswa . Hal ini terjadi karena pihak pembuat soal menutup mata akan adanya kesenjangan proses pendidikan antara berbagai daerah seIndonesia.Upaya manipulative tersebut terjadi sejak sebelum pelaksanaan ,saat pelaksaan dan setelah pelaksanaan. Konten Pelajaran yang diujikannya pun ternyata hanya menekankan aspek kognitif siswa saja. Soal - soal yang disusun  hanya berkisar dikemampuan pengetahuan. Adapun aspek afektif dan psikomotor cukup dengan adanya Ujian Prakek yang dilakukan sesuai kemampuan sekolahnya masing masing.
Andai UN Kembali dilakukan pihak pemerintah harus menyiapkan system yang lebih bagus. Sistem yang juga menyiapkan langkah antisipasi terkait adanya kekurangan nilai dan kegagalan nilai sejumlah siswa . Nabi Adam , memang berhasil menjalani ujian menyebutkan nama - nama hingga suskes mendapat sujud dari para malaikat. Namun, Nabi Adam sempat gagal saat diuji oleh Allah dengan adanya peraturan keterlarangan terkait buah (khuldi). Nabi Yunus pun gagal mengelola masyarakatnya dan memilih kabur ke lautan. Nabi Musa pun gagal saat duji dengan tingkah laku ajaib (Nabi) Khidir . Nabi Muhammad saw pun gagal mengatasi rasa sedihnya saat diuji dengan kehilangan dua manusia kesayangannya , Siti Khodijah dan pamannya. Kesalahan dan kegagalan adalah hal yang pasti dialami oleh sebagian manusia saat mengalami ujian.
Mempersiapkan system Ujian Nasional yang mengantisipasi adanya kegagalan nilai dan rendahnya nilai sebagian siswa , akan berdampak baik pada perilaku para pelaku Ujian Nasional. Para pemangku kebijakan di pemerintah akan memiliki peluang untuk menjauhi sikap bohong demi nama baik, demikian juga para guru dan penyelenggara sekolah. Apalagi para siswa yang menjalani ujiannya. Generasi alpha yang saat ini akan menjalani ujian adalah generasi tangguh yang siap berjuang dengan caranya yang unik. Ngeyel , nyiyir tapi sangat kreatif. Senang rebahan tapi selalu berusaha produktif. Bahkan , dengan hasil yang belum tentu dapat dicapai para generasi baby boomer.
Konten mata pelajaran yang diujikan pun tentu saja harus diperbaiki, ditambah dan disempurnakan. Jangan sampai hanya aspek kognitif saja yang menjadi penekanan. Kemampuan literasi memang harus didahulukan karena itu adalah kecakapan pertama yang diwajibkan Allah pada Nabi Muhammad saw, yaitu Iqro. Kemampuan Literasi dan Numerasi  tentu saja bukan hanya sebatas membaca dan berhitung. Kemampuan literasi dan numerasi  harus sampai pada pengolahan data, fenomena sehingga menghasilkan produk yang nyata atau melahirkan alternatif solusi. Adapun konten yang dibacanya tentu saja juga harus merupakan kompetensi strandar yang wajib dimiliki seluruh umat manusia, yaitu materi esensi tentang religi dan moral. Sehingga produk yang nanti akan dihasilkan adalah produk yang akan mendorong semakin baiknya kualitas kemanusiaan para peserta didik.
Diferensiasi memang sangat dipentingkan untuk diterapkan dalam pelaksanaan Ujian Nasional mengingat beraneka ragamnya jenis kecerdasan, karakter, minat bakat, adat budaya dan kemampuan lainnya. Namun, di ayat tersebut dilengkapi lapadz iqronya dengan bismirobbika. Lapadz bismirobbika ini adalah adanya indikasi kesadaran keberagamaan, kebermoralan, etika dasar , kebaikan universal. Pada akhirnya proses evaluasi nasional menjadi bagian dari proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran menurut Prof Muhibbin Syah , hakikatnya adalah tahapan tahapan yang menetap supaya merubah perilaku dari tidak tahu akan kebaikan menjadi tahu, dari tidak dapat berbuat kebaikan menjadi dapat berbuat kebaikan, dari tidak ada kebaikan kemanfataan menjadi penuh dengan kebaikan dan kemanfataan.
Â