Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 6 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Salah satu perubahan signifikan dalam peraturan tersebut adalah penghapusan skripsi sebagai syarat kelulusan di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Meskipun skripsi tidak lagi diwajibkan sebagai syarat kelulusan, mahasiswa masih diberikan opsi untuk menyelesaikan studi mereka dengan menulis skripsi. Namun, keputusan ini menuai pro dan kontra di kalangan mahasiswa serta akademisi.
Pada tahun 2021, MenteriSebagian mahasiswa menyambut baik kebijakan ini dengan alasan bahwa penghapusan skripsi dapat mengurangi beban akademik yang seringkali sangat membebani, serta memberikan fleksibilitas dalam menentukan bentuk karya akhir yang ingin mereka hasilkan. Terkadang, tugas akhir ini bisa menjadi sumber stres dan kekhawatiran bagi mahasiswa, terutama mereka yang memiliki keterbatasan waktu dan sumber daya. Dengan adanya opsi untuk tidak menulis skripsi, mereka bisa lebih fokus pada pembelajaran dan pengembangan keterampilan yang sesuai dengan minat dan keahlian mereka.
Namun, di sisi lain, ada juga mahasiswa yang masih melihat nilai penting dari skripsi sebagai bagian dari pengalaman akademik mereka. Skripsi dianggap sebagai kesempatan untuk mengembangkan kemampuan penelitian, analisis, dan penulisan ilmiah yang akan sangat berguna dalam dunia akademik maupun profesional. Terlebih lagi, bagi mereka yang berencana melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, skripsi dapat menjadi landasan yang kuat dalam menghadapi tuntutan akademik lebih lanjut.
Dosen dan akademisi juga mempunyai pandangan yang beragam mengenai perubahan ini. Beberapa dari mereka khawatir bahwa penghapusan skripsi sebagai syarat kelulusan dapat mengurangi kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Skripsi dianggap sebagai salah satu bentuk evaluasi akademik yang mampu mengukur kemampuan mahasiswa dalam melakukan penelitian, analisis, dan sintesis informasi. Dengan menghilangkan syarat skripsi, khawatir bahwa kemampuan ini mungkin tidak akan terlatih secara memadai. Meskipun demikian, ada juga dosen yang melihat kebijakan ini sebagai kesempatan untuk mengembangkan bentuk evaluasi akademik yang lebih inovatif dan relevan dengan kebutuhan dunia kerja.
Penting juga untuk mencatat bahwa skripsi bukan hanya tentang penulisan semata, tetapi juga tentang proses pengembangan ide, pengumpulan dan analisis data, serta berbagai keterampilan lainnya yang relevan dengan dunia akademik dan profesional. Oleh karena itu, beberapa dosen dan akademisi menganggap bahwa skripsi tetap perlu sebagai bagian dari pendidikan tinggi yang komprehensif.
Secara kesimpulan, perubahan aturan terkait skripsi di Indonesia memiliki dampak yang kompleks. Penghapusan skripsi sebagai syarat kelulusan memberikan keuntungan dalam bentuk fleksibilitas dan pengurangan beban akademik bagi mahasiswa, tetapi juga memunculkan keprihatinan akan penurunan kualitas pendidikan tinggi. Perguruan tinggi perlu secara cermat mengevaluasi dampak positif dan negatif dari kebijakan ini terhadap pendidikan dan karir mahasiswa di masa depan. Dalam hal ini, keseimbangan antara mengurangi beban mahasiswa dan mempertahankan standar kualitas pendidikan harus menjadi pertimbangan utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H