Di era digital ini, internet sudah menjadi kebutuhan bagi semua orang. Informasi adalah hal yang tidak boleh tertinggal, sudah menjadi asupan sehari-hari. Dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat ini kita sudah tidak asing lagi dengan yang namanya berita palsu atau hoaks. Kebanjiran informasi yang tak terbendung sehingga kita kawalahan memilah mana informasi yang dapat dipercaya dan yang tidak.
Belum lagi, zaman sekarang kebenaran dari suatu informasi bukanlah hal yang utama melainkan adanya percampuran emosi, pengalaman, ataupun pendapat pribadi. Dengan cara itu, sebuah berita akan menarik lebih banyak atensi karena memainkan emosi para pembaca. Sehingga hadirlah "post-truth".
Post-truth tidak hanya mencampurkan informasi dengan emosi dan kepercayaan pribadi saja, namun juga dapat berupa giringan opini. Di mana penulis berita dapat menciptakan sebuah berita dengan tidak memasukkan beberapa fakta penting agar dapat mengarahkan pembaca ke arah yang ia inginkan, seperti menyalahkan salah satu pihak yang diberitakan. Berita palsu ini seringkali ditemukan di Facebook dan WhatsApp. Biasanya orang-orang menyebarkannya tanpa memeriksa kembali fakta dari berita yang ada.
Salah satu contoh kasus dari post-truth adalah artikel yang berjudul "Beredar Foto Jokowi 'Diberkati' Pendeta". Di dalam artikel tersebut terdapat foto Jokowi yang dikatakan terlihat seperti salah satu penganut agama Kristen dan sedang mengikuti ritualnya. Artikel tersebut juga menyebutkan Jokowi sedang menlakukan ritual pemberkatan.Â
Namun, fakta yang ada mengungkapkan bahwa foto tersebut diambil pada saat Jokowi dinyatakan terpilih sebagai Presiden ke-7 RI di Balai Kota DKI Jakarta. Hal ini diklarifikasi oleh pendeta yang ada di dalam foto tersebut, Max Ebe Ministri, dengan menambahkan informasi ia datang bersama beberapa utusan gereja maupun adat untuk mempersiapkan utusan Papua yang akan hadir di pelantikan Jokowi. Walaupun sudah ada fakta yang menyanggah informasi palsu tersebut, namun tetap saja artikel tersebut masih berbahaya karena dapat menggiring opini masyarakat.
Informasi palsu tersebar luas dengan sangat cepat karena kurangnya ketelitian dalam memeriksa kembali informasi dari sumber-sumber lain yang terpercaya. Fenomena post-truth bisa dikatakan sudah menjadi makanan sehari-hari. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena ini sangat berbahaya karena dapat menyesatkan pembaca dengan mempercayai hal-hal yang salah.
Penyebaran hoaks tidak dapat dihindari, maka dari itu kitalah yang harus lebih pintar dalam membaca informasi atau berita. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam mencari informasi yang terpercaya, salah satunya adalah melihat siapa yang menyiarkan informasi / berita. Jika yang yang menyiarkan adalah media terpercaya (televisi, koran, dan sebagainya), maka kemungkinan kecil berita tersebut tidak benar. Namun, tidak ada salahnya untuk mencari informasi dari sumber yang lain. Dan jika yang menyiarkan berita bukan media terpercaya, maka kita harus segera mencari informasi tersebut dari sumber yang terpercaya.
Sekian dari pembahasan tentang post-truth kali ini, semoga artikel ini dapat membantu pembaca dalam memahami arti post-truth.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H