Oleh: Corneles Rubenaser Apalem
Â
- Jejak kaki wallace
    Sekitar tahun 1857, seorang  antropolog dan biolog berkebangsaan Inggris memulai perjalanannya di wilayah bagian Timur Planet ini. Pria dengan nama Alfred Russel Wallace ini mengeksplor Flora dan Fauna disetiap daerah yang ia singgahi. Hasil temuannya itu yang menjadi alasan terciptanya garis imajiner yang  di kenal dengan sebutan "garis wallace," yang merupakan garis pemisah untuk flora dan fauna yang ada di Indonesia. Pengenalan akan seorang Wallace ini dirasa penting karena temuan-temuannya yang mengagumkan dan prestisius. Diantaranya adalah keanekaragaman hayati dan jenis kerang-kerangan laut yang belum pernah dilihatnya di belahan dunia lain dan juga teorinya yang mengacu pada distribusi hewan dan burung yang diterbitkan dalam buku yang berjudul "The Malay Archipelago."
    Cenderawasih tak luput dari bidikan Wallace saat berada di kepulauan Aru. Sekitar 16 ekor spesimen berhasil di bawah keluar dari hutan kepulauan Aru untuk diteliti. Berbagai istilah disematkan pada burung ini, antara lain  dalam bahasa Portugis Passarus De Sol, yang artinya burung matahari dikarenakan bulu ekornya yang berwarna kuning keemasan. Adalagi dalam bahasa Latin Avis Paradiseus yang berarti burung surga, dan yang lebih populer dalam bahasa inggris yaitu Bird of Paradise. Segalah pujian yang disematkan kepada makhluk ini justru menjadi petaka. Dia diburu dan diambil bulunya untuk diperjual-belikan. Sejak periode itu, bulu Burung Surga ini menjadi barang mewah dan menjadi simbol kejayaan karena dipakai untuk menghiasi topi para bangsawan di Eropa.
- Cenderawasih dan cederamata dalam welcoming ceremony
    Seakan tidak tergerus oleh waktu, praktik destruktif terhadap burung yang dikenal memiliki keindahan bulunya ini masih terjadi secara masif. Di kabupaten Kepulauan Aru sendiri, masih banyak ditemukan masyarakat yang menjadikannya sebagai buah tangan atau cenderamata kepada tamu yang datang di desa untuk kegiatan tertentu. Bukan saja itu, pemerintah setempat pun turut serta melakukan hal yang sama. Tidak terhitung jumlahnya sudah berapa ratus ekor yang mati menghiasi topi para bangsawan eropa waktu itu pun sekarang tidak terhitung jumlahnya sudah berapa ratus ekor yang mati menghiasi kepala para pejabat yang berkunjung di Kabupaten Kepulauan Aru.  Burung indah nan mempesona ini sudah tidak lagi bertengger di hutan Aru, suaranya yang khas tidak lagi meramaikan hutan Aru dan sekarang bulu ekornya yang indah ini sudah terbujur kaku di kepala pemakainya.
    Posisinya sebagai cenderamata seolah tidak tergantikan lagi. Fenomena ini justru menjadi bumerang. Tidak terbayang jika dalam satu tahun ada 50 orang yang berkunjung di Aru, itu artinya ada sekitar 50 ekor burung cenderwasih yang dikorban untuk memenuhi welcoming ceremony. Hal semacam ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi tuan rumah yang secara tak sadar sudah memberikan hartanya kepada tamu yang hanya mampir sebentar. Belum adanya Perda yang jelas terhadap perlindungan hewan endemik menjadi surga bagi maraknya perburuan burung Cenderawasih.  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (selanjutnya disingkat UU Konservasi SDA), dalam Pasal 21 ayat (2) seakan tumpul dan tak bertaji, belum lagi pemerintah daerah seakan memberikan ruang untuk hal ini terjadi.                  Â
- Populasi Burung Cenderewasih
   Sebuah penelitian yang dilakukan oleh pakar konservasi hutan asal Universitas Pattimura, Ambon Lesly Latupapua, bersama rekannya, C.K. Pattinasarany dan L. Kasanaborbir (2006), mengemukakan  bahwa burung cenderawasih tinggal dan hidup di dataran rendah yang tersebar di Papua dan Maluku. Latupapua menyebut, selaian di Papua, burung endemik ini hanya ditemukan di Kepulauan Aru saja, jenis cendrawasih P. apoda . Di pulau-pulau Maluku lainnya, jenis ini tidak dijumpai. Populasi burung surga ini seperti dikutip dari L. Latupapua; C. K. Pattinasarany; dan L. Kasanaborbir (2022) sebanyak 29 ekor. Penelitian yang dilakukan di salah satu desa di Aru selatan dengan dugaan populasi sebanyak 64 ekor. Adapaun penelitian yang dilakukan di Aru Utara terdapat 22 ekor dikutup dari L. Latupapua (2006).Â
- Kesimpulan
   Perjalanan seorang Wallace telah membuka mata setiap orang yang membaca karya-karyanya. Begitu banyak hal yang ia temukan pada saat mengeksplor Aru, salah satunya adalah burung cenderawasih. Burung yang menjadi satwa endemik ini kini terancam populasinya karena tidak adanya peran serius pemerintah dan masyarakat dalam melindunginya. Mungkin saja generasi yang akan datang hanya akan kagum dengan melihat dokumentasi satwa ini tanpa melihat langsung di hutan Aru. Kepunahan burung ini bisa terjadi kalau perburuan liar terus  terjadi. SETOP PERBURUAN LIAR, SETOP JADIKAN CENDERAWSIH SEBAGAI CENDERAMATA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H