Masifnya pembangunan infrastruktur komersil seperti Hotel, Apartemen, dan Mall, telah menggerus keberadaan lahan dan ketersediaan air tanah bagi warga Jogja. Kondisi yang terjadi ini sudah sangat memprihatinkan.
Untuk hotel sendiri, hingga akhir 2013 saja tercatat lebih dari 100 pengajuan izin lokasi yang diajukan pengusaha perhotelan ke Dinas Perizinan. Hingga akhir 2015, sebanyak 67 izin telah dikeluarkan Pemerintah Kota dan Sleman. Bertambahnya jumlah hotel yang ada berakibat pada bertambahnya pula konsumsi air tanah untuk kebutuhan hotel setiap kamarnya.
Menurut data yang dikeluarkan LPM HIMMA UII, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, jumlah kamar hotel di Yogyakarta mengalami peningkatan hingga 3.000 kamar dan akan terus bertambah seiring perkembangan jumlah hotel, masing-masing kamar membutuhkan setidaknya 380 liter air, sedangkan kebutuhan air tanah untuk satu rumah tangga warga hanya berkisar 300 liter air.
Volume air tanah menjadi semakin menurun karena sumur bor hotel menyedot air tanah secara berlebihan untuk operasional hotel hingga kedalaman sekitar 100 meter, air tanah yang berada di atasnya (puluhan meter) otomatis ikut tersedot ke bawah. Ini yang menjadi penyebab keringnya sumur-sumur milik warga. Hal tersebut juga berdampak pada turunnya kondisi air tanah 15 hingga 50 centimeter setiap tahunnya.
Sebagai contoh, kasus pemblokiran jalan masuk parkir Hartono Mall oleh warga, Selasa (15/3) pekan lalu, adalah salah satu bentuk kekhawatiran warga yang merasa jika Mall terbesar se-Jateng dan DIY tersebut telah 100 persen beroperasi maka penggunaan air melalui sumur bor milik mall (sedalam 140 m) membuat kering ketersediaan air tanah di sumur-sumur milik warga.
Dalam sebuah kesempatan di Keraton Jogja, Sultan HB X mengungkap bahwa di tahun 2025 Provinsi ini membutuhkan sekitar 2.650 liter air/detik dengan asumsi jumlah penduduk telah mencapai 4,5 juta jiwa. Ia mengingatkan terkait krisis air yang tengah dialami harus segera diambil tindakan dengan mencari sumber-sumber mata air baru demi mencukupi kebutuhan air penduduk Jogjakarta.
Direktur Pusat Studi Hukum Agraria UII, Mukmin Zakie SH Mhum PhD mengatakan bahwa permasalahan yang terjadi adalah sebagai dampak dari kurangnya sense of crisis para pejabat yang mengeluarkan izin khususnya perhotelan. “Mereka tidak memihak masyarakat. Yang penting izin masuk dan terima uang, warganya menderita itu urusan nanti!,” kecamnya.
Untuk menghindari hal-hal seperti ini terus terjadi, Mukmin mendorong semua pihak terutama warga korban terdampak untuk terus gencar mengawasi sistem pengelolaan air hotel di wilayah mereka seperti sejauh mana kedalaman sumur bor hotel, besaran pipa yang digunakan hingga jumlah debit air yang disedot setiap harinya.
Pemukiman warga di sekitar hotel mewah yang berdiri masih banyak yang berupa gubuk dan beratapkan seng, menggunakan sumber air dari sumur untuk menunjang kehidupan sehari-hari. “Seharusnya itu mereka (pihak hotel) pikirkan, tidak hanya keuntungan yang besar. Saya setuju dengan gerakan masyarakat Jangan Jual Jogjaku! (Jogja Ora Didol),” tegasnya.
Sebenarnya, lanjut Mukmin, pihak hotel sebelum melakukan pembangunan dalam beberapa kasus telah melakukan sharing/hearing dengan warga di sekitar proyek, artinya komunikasi dengan warga sudah dilakukan, hanya saja perwakilan dari warga terkadang tidak mewakili suara warga secara keseluruhan.
Ia menduga, terdapat beberapa pihak dari warga yang mendapat kompensasi agar memberi persetujuan perihal pembangunan hotel di wilayahnya, seperti dijanjikan untuk menjadi petugas keamanan hotel, tenaga-tenaga teknis perusahaan dan lain-lain.