. . .
kemarilah, kita bincang tentang gerusan musim, yang bergelombang tanya. angin merupa cahaya pagi ke senja malam. lentera berdendang dengan tepukan telapak tangan anak manusia. tak hanya kartu tarot saja ia ambil dan hempas. sulur sulur telah tercatat indah di telapak siapapun. disetiap lima kali dalam duapuluh empat dentang,tapak tapak tangan kaki kita adu rentang di hampar lantai. ada cahaya di sana, tak mesti kasat pandang. apakah itu cahaya dusta? padam nyala melentera dikeseharian, keluh terbiasa sunyi lebuh, hingga tak membulir pelupuk. kelam kulipat untuk kelopak kelopak yang tumbuh di pepohon rindang. gigi reranting yang berlubang, patah, ganti tumbuh dengan reranting pagi di serat kukus dan jingga.
sudah lama, ya lama sudah aku tak berbincang tentang cahaya. mereka ujar silau, padahal taklah sedemikian, bangku meja isu gejolakkan terik. bila mengenali inti bahan dengan baik, pahamlah bahwa setiap kita taklah senantiasa sama. kodrat manusia kini, lalu dan masa depan_ nyala dikefitrahan. mereka dan kita membawa takdir yang tiada menipu. mereka sering hanya menghitung dibilangan angka angka mana harus diam, duduk, jalan, lari atau melompat!
lama sudah rerumput senandungkan embun yang tiap pagi pelukki pucuk pucuk musimnya. ia cahaya tak membilang rugi untung hiasi kebun bumi, ladang bahkan semak. di sini, di sana, pun di tanah entah
. . .
^^
*bandung, Okt 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H