Karena media masa pasca orde baru di sesuaikan dengan keinginan penontonnya, yang kemudian di kapitalisasi oleh oligarki (The league of thirteen konsentrasi media di indonesia). Media ini menjadi tambang emas bagi borjuis konglomrat pemilik modal itu. Tidak ada lagi ruang publik yang netral di medi, tidak lagi merepresentasikan yang seharusnya corong rakyat tampilkan, melainkan menampilkan yang enak saja.
Setelah model baru bisnis media seperti ini, pemimpin - pemimpin yang berbasis uang (oligarki) merongrong bisnis ini, media mana yang bukan milik politisi atau oligarki di negeri ini. Perjanjian di bawah meja terjadi di sini dimana para pemilik modal menggunakan politisi untuk mendapat kekuasaan dan politisi menggunakan pemilik modal untuk mendapat uang. Rakyat disini hanya menjadi penonton yang di peras uang nya dan di cocoki ideologinya yang kebanyakan orang tidak sadar akan hal ini. Jokowi sadar akan hal ini kemudian masuk dalam lingkaran tersebut dan menjadi awal terkikisnya idealisme dan merubahnya menjadi seorang yang pragmatis.
Dimasa awal jokowi dianggap sebagai symbol kekuatan masyarakat, orang baru yang tidak mencicipi jatah politik di masa lalu, merangkak sebagai orang kecil dari antah berantah. Jokowi adalah wujud obsesi rakyat atas wujud perubahan. Tapi setelah masuk dalam lingkaran ini, sekeras apapun usaha jokowi untuk membantu rakyat nya, dia akan terlibat dengan media, politisi dan oligarki yang sudah merusak otak masyarakat, dimana sebagian besar kepentingan untuk memperbaiki indonesia, dia gunakan untuk memajukan dirinya sendiri.
Dalam hal kekuasaan di indonesia ada dua pendapat besar, salah satu nya yang di kemukakan jefrey winter yang menyebutkan bahwa, penguasa di indonesia adalab orang - orang baru yang muncul setelah ORBA. Mereka adalah pengusaha - pengusaha yang berniat menjadi penguasa - penguasa, dimana para oligarki ini tidak bisa masuk dalam politik, maka mereka akan membayar politisi. Pendapat lain menyebutkan bahwa oligarki di indonesia itu bukan orang baru, melainkan orang lama yang mewariskan ke kuasan nya lintas generasi, lintas ide, lintas orde yang mana menurut teori ini orde baru dan orde reformasi adalah sama.
Dua Teori itu lah yang sekarang membelenggu jokowi, ketika dia ingin menjadi pemimpin yang mensejahterakan rakyat, dia harus berkompromi dengan elite penguasa dan yang memegang kekuasaan atas uang. Contoh dari terkikis independensi idealis saat tidak konsisten menolak pembangunan jalan tol saat masih menjabat sebagai gubernur DKI, setelah banyak di ceramahi oleh menteri dan elite lain nya. Ini indikasi bahwa independensi berbenturan dengan kekuatan elite, saya masih yakin pada saat itu dia berontak terhadap siapapun yang ingin merusak independensinya, karena itu dia melakukan blusukan untuk mendapat buzzer politik sebagai dukungan dan digunakan juga untuk melindungi dirinya dari para elite politik.
Ada yang mengira itu pencitraan, itu tidak masalah yang namanya pemimpin pasti akan mencari upaya untuk mendapat simpati dan tetap di cintai ketika si pemimpin di hadap kan dengan situasi seperti harus ribut dengan elite politik (Dilema Gubernur DKI).
Pada waktu itu PDI-P juga mengalami penurunan suara, dan megawati selaku ketua umum sudah tidak memiliki elektabilitas baik di masyarakat. Pemilu 2014 menjadi moment popularitas jokowi di manfaat kan untuk meningkatkan kembali suara dengan memfigurkan jokowi dari gubernur (belum selesai) menjadi calon presiden. Hal ini di kuat kan oleh pernyataan jokowi bahwa dia itu tidak mencalonkan melainkan di calon kan.
Dengan drama restu pencalonan dari ketua umum ini, semakin jelas jokowi sudah tidak lagi independen. Dia butuh restu, dana, dukungan semua itu bukan dari rakyat lagi, melainkan dari para elite yang mengelilinginnya. Maka elektabilitas di manfaatkan partai yang sedang merosot pamornya, begitu juga jokowi, apa yang dia butuhkannya untuk maju di pilpres tergantung pada elite.
Meskipun terpilih menjadi presiden, jokowi adalah presiden terlemah sepanjang sejarah indonesia, untuk maju saja dia harus mengantongi izin, tidak punya teman di elite, tidak punya partai, hanya mengandalkan otoritas sebagai presiden itu seperti kebetulan saja. Mengangkat pembantu/pejabat nya juga berdasarkan pesanan partai dan orang - orang besar di belakang nya.
Beberapa kali sempat juga seperti melakukan perlawanan terhadap rongrongan elite di belakangnya, seperti mengangkat staff khusus dari anak - anak muda dan juga mengangkat mentri dari golongan professional menurut penulis adalah sebuah wujud dari pemberontakan. Maka Kebijakan nya sering tidak konsisten, megawati pun beberapa kali menegaskan bahwa dia tetaplah petugas partai yang mengindikasi kan jokowi ada konflik dengan megawati. Bukan suatu kebetulan jika tiba - tiba perintahan nya berubah - ubah menjadi reaktif, otoriter, dan kasar.
Jika di lihat setelah jokowi berkuasa, media masa di kuasai oleh seseorang dan menyerang seluruh oposisi, dan juga diskresi kekuasaan yang mengancam kebebasan berserikat.
 Tulisan ini bebas dari kampret dan cebong, tulisan ini membicarakan apa yang para ahli dalam dan luar negeri katakan mengenai pemerintahan sekarang yang bukan hanya tidak independen, reaktif dan otoriter, menggunakan media massa, uang, hukum, politik sampai mengerahkan kekuatan tentara.