Mohon tunggu...
Nelfi Syafrina
Nelfi Syafrina Mohon Tunggu... -

Penulis.Guru ekskul menulis SDIT Al Muchtar Bekasi\r\nhttp://nelfisyafrina.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

[FFA] Akibat Angin Kencang

19 Oktober 2013   08:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:20 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

By Nelfi Syafrina no 406

Malam ini angin begitu kencang. Suara desauan angin yang menghantam pepohonan terdengar sangat menakutkan. Fatur dan Rio adiknya menyelimuti badan mereka rapat-rapat. Mereka sedang menginap di rumah nenek di kampung. Suara jangkrik dan binatang malam saling bersahutan membuat mereka merinding. Baru sekali ini mereka mendengar suara angin kencang yang seolah akan merubuhkan rumah nenek . Apalagi rumah nenek terbuat dari papan. “Kak aku takut!” suara Rio bergetar. Ia tidak bisa memejamkan matanya. “Kakak juga takut, udah tidur aja, ohya kita baca doa aja dulu yuk. Biar angin kencang ini nggak membuat rumah kita rubuh” saran Fatur sambil menarik selimutnya. Rio menurut. Mereka menengadahkan kedua tangan sambil berdoa.

Tapi suara angin yang menghantam pepohonan membuat mata mereka tidak bisa terpejam. Apalagi terdengar suara derit aneh dari atap rumah nenek. Rio dan Fatur mulai ketakutan. Mereka takut atap rumah itu rubuh dan menimpa mereka. “Kita ke kamar nenek aja yuk.” Fatur segera melepas selimutnya. Ia berdiri dan turun dari tempat tidur. Riko mengikuti kakaknya ke kamar nenek. “Nek, kami tidur di kamar nenek ya,” kedua anak itu langsung berbaring di samping nenek. Kamar nenek memang tidak ada pintunya, hanya ditutup dengan menggunakan kain saja. Seperti kamar yang mereka tempati tadi. Setiap kamar di Rumah Gadangmemang tidak punya pintu. Rumah ini sudah sangat tua, tapi masih kuat, karena nenek merawat rumah ini dengan baik. “Ada apa? Pasti kalian takut ya?” tebak nenek. Nenek terbangun mendengar suara cucunya. Fatur dan Rio menggangguk mereka buru-buru tidur di sebelah nenek. Lalu merekabergelung di sebelah nenek sambil menyelimuti badan mereka.

“Iya. Suara anginnya serem banget nek. Tadi aku juga mendengar kayak ada yang jatuh gitu,” ucap Fatur. Tadi dia sengaja tidak memberitahu Rio, agar Rio tidak takut.

“Mungkin itu suara kelapa yang jatuh dari pohon. Besok pagi kita lihat. Sekarang kalian tidur ya.” Nenek menggeser badannya ke arah dinding. Tempat tidur nenek cukup besar. Tempat tidur tua yang terbuat dari besi. Tempat tidur ini menggunakan kelambu. Mereka merasa nyaman berada di atas tempat tidur nenek. “Tidak perlu takut, harusnya kalian senang, karena angin malam ini bertiup kencang,” gumam nenek tersenyum. “Mana ada orang yang senang dengan angin kencang nek,” sela Fatur. Kali ini dia sudah lebih tenang dan tidak begitu takut seperti tadi. “Di kampung ini, semua orang senang kalau angin bertiup kencang seperti ini,” nenek menarik selimutnya dan memejamkan mata kembali. “Kalau begitu, orang di kampung ini aneh-aneh dong,” sela Rio. Fatur tidakmelanjutkan pertanyaannya lagi. Matanya sudah terlalu mengantuk. Akhirnya mereka pun tertidur di samping nenek. *** “Ayo bangun Fatur... Rio..!” nenek menarik selimut Fatur dan Rio. Kedua adik kakak itu menggeliat. Mereka menarik kembali selimut yang sudah terbuka. Tapi nenek dengan sigap melipat selimut itu. “Kalian mau tahu kenapa nenek bilang harusnya kalian bersyukur dengan angin kencang semalam?” nenek membelai rambut Fatur. Beliau duduk di pinggir tempat tidur. “Gak mau ah Nek, aku masih ngantuk nih,” Fatur mengeliat dan meraih selimut yang sudah dilipat nenek. Ia menyelimuti badannya kembali. Udara pagi itu masih terlalu dingin menurutnya. “Baiklah, kalau kalian tidak, mau ya nggak apa-apa. Nenek akan makan sendiri jika nanti nenek menemukannya.” Sahut nenek sambil berdiri. “Emang nenek mau makan apa?” Fatur segera duduk. Ia paling tidak bisa mendengar kata-kata yang menyangkut tentang makanan. Dia memang sangat suka makan. Makanya badannya jadi lebih besar di banding dengan teman-teman seusianya. Fatur tidak peduli jika teman-temannya menjulukinya dengan si gembul. Karena menurutnya, yang penting dia makan tidak berlebihan.

Apalagi dulu Ayah juga berbadan besar sewaktu ayah kecil. Tapi ayah sekarang tidak gembul lagi. Karena ayah sering olahraga. Fatur berpikir dia juga akan seperti ayah. Meski pun suka makan, tapi dia rajin olah raga. Insyaallah dia tidak akan kegemukan dan selalu sehat. “Ada deh, kalau kalian mau tahu, kalian harus ikut nenek sekarang.” Ucapan nenek seolah menarik hati Fatur untuk mengikuti beliau. Fatur mengintip nenek dari balik selimut dengan mata yang masih mengantuk. Nenek sudah beranjak dari kamar itu. Beliau segera menuju pintu rumah. Fatur dan Rio mengeliat, mereka saling berpandangan. Jika mereka tidak ikut dengan nenek, berarti mereka akan melewatkan makanan yang mungkin saja enak. Tapi kenapa nenek subuh-subuh begini keluar? Makanan apa yang ada subuh-subuh begini? “Aku gak mau ikut,” Rio tidur kembali. “Ya sudah, nanti jangan menyesal atau meminta makanan yang nenek bawa ya?” teriak nenek dari luar kamar. Ternyata nenek mendengar ucapan Rio. “Aku ikut aja deh nek,” Fatur segera berdiri dan berlari menyusul nenek. Rasa kantuknya sudah hilang sejak mendengar kata makanan yang diucapkan nenek tadi. Nenek tersenyum mendengarnya. Sedangkan Rio kembali tenggelam dalam mimpinya.

“Fatur shalat dulu deh. Nenek tunggu di dapur ya. nenek mau mematikan api dulu,” ujar nenek sambil berjalan ke dapur. Fatur mengangguk. Dia segera ke kamar mandi untuk berwudhu. Selanjutnya dia shalat subuh.

Selesai shalat subuh, Fatur menghampiri nenek yang sudah menunggu di depan pintu rumah. Mereka segera keluar rumah. Taklupa nenek mengunci pintu dari luar. Lalu beliau menyalakan senter guna menerangi jalan mereka. di kampung nenek memang belum ada penerangan untuk jalan. Rumah nenek pun hanya ada dua bohlam. Satu di ruang tamu dan satunya di dapur. “Ayo nek,” Fatur mengiringi langkah nenek. Di luar masih gelap. Beberapa orang terlihat berjalan menuju sawah. “Ayo!” Nenek tersenyum dan berjalan menuju ke sawah. Fatur meletakkan kedua lengannya di dada. Ia benar-benar kedinginan. Tapi demi makanan ia tidak peduli dengan hawa dingin itu.

“Makanannya di sawah ya Nek?” tanya Fatur mengiringi langkah nenek. “Bukan di sawah, tapi di dekat jalan menuju ke sawah,” nenek menyorotkan lampu senter ke jalan yang akan mereka tempuh, bunyi desauan angin masih sesekali terdengar walau tidak sekencang tadi malam. “Emang ada warung di jalan menuju ke sawah. Bukankah di situ hanya ada pohon dan semak belukar saja?” Fatur mulai meragukan kata-kata makanan yang diucapkan nenek tadi. “Udah, Fatur ikut aja. Insyaallah ketemu makanan nanti,” sahut nenek penuh rahasia. Fatur menurut, dia tidak banyak bertanya lagi. Sepuluh menit mereka berjalan. Merekapun sampai di tanah lapang yang ditumbuhi pohon-pohon. Ada jalan setapak menuju ke sawah di tengah lapangan itu. Nenek meyorotkan senter ke arah semak belukar di samping pohon durian. “Oh aku tahu sekarang nenek mau mencari durianya?” Fatur tersenyum. Ia ingat, nenek pernah bercerita kalau siapapun boleh mengambil buah yang ada di lapangan itu. Biasanya buah durian akan berjatuhan tertiup angin. Apalagi sekarang sedang musim durian. Siapa yang pertama melihatnya boleh mengambilnya.

“Iya, Fatur pinter ya. akhirnya bisa menebak teka-teki nenek.” nenek terkekeh. “Itulah kegunaan angin kencang yang disuruh Allah bertiup semalam di kampung kita.”

“Keren ya Nek. Allah menyuruh angin itu untuk menjauhkan durian dari pohonnya. Sehingga kita bisa mengambilnya,” ucap Fatur sambil mengacungkan jempolnya. Bersemangat Fatur memperhatikan setiap semak yang berada di bawah pohon durian. Barangkali saja ada buah durian di sekitar situ. “Nek! Mana senternya, itu ada buah durian!” teriak Fatur senang. Ia menunjuk sesuatu yang bulat di dekat semak. Karena masih gelap ia tidak bisamelihat dengan jelas. Tidak ada penerangan di lapangan itu. Nenek segera menghampiri Fatur. Beliau menyorotkan lampu senter ke arah yang di tunjuk Fatur. “Benar! Alhamdulillah, ayo kita ambil,” sahut nenek. Beliau mendekati buah durian yang cukup besar itu. “Duriannya besar banget nih nek!” teriak Fatur senang . Ia memperhatikan durian yang tergeletak manis di samping pohon durian. “Ikat pakai ini aja.” Nenek datang dengan daun pisang kering tak jauh dari situ. Pelepah pisang yang sudah kering itu beliau ikatkan ke durian. Fatur taksabar untuk mencicipi durian temuannya. “Ayo Fatur, kita pulang,” ajak nenek sambil membawa buah durian. Merekapun pulang. Fatur senang ternyata ini yang dimaksud nenek dengan seharusnya kita senang dengan angin kencang. Karena angin itu telah membuat durian berjatuhan, dan warga kampung bisa menikmati durian yang langsung jatuh dari pohonnya.

***

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun