Saat Filipin jaya, rasanya Malaysia saat itu belum ada apa-apanya. Saat itu Amerika pun meletakkan pangkalan angkatan lautnya di Subic Bay yang besarnya hampir sebesar Singapura. Ibaratnya manusia, Filipina itu mantan orang kaya. Ya, dulu mereka kaya. Sekarang? Tidak lagi.
Saya sedih melihat perjalanan suatu bangsa yang serumpun dengan kita berhamburan ke seantero dunia untuk bekerja sebagai ART atau penjaga toko (profesi umum warga philipina karena mungkin karena kemampuan bahasa Inggris mereka lebih baik). Kesulitan ekonomi memaksa mereka, mantan 'orang' kaya itu, untuk merantau.
Saya sadar, orang Indonesia juga  yang jadi TKW dan TKI di manca negara juga sangat banyak. Sebagian mereka mengisi profesi yang menuntut kualifikasi pendidikan jenjang S1, S2 bahkan S3. Posisi yang tidak mereka peroleh jika bertahan di negeri kita sendiri. Mereka berdiaspora dan mampu hidup sejahtera di negeri orang.Â
Namun, sebagian besar lagi  bekerja di sektor informal, sebagai asisten rumah tangga, kadang sampai bertaruh nyawa dan kehormatan selama bekerja di luar negeri. Belum lagi intaian para predator TKW mulai dari turun pesawat hingga terminal bis untuk menuju kampung halaman. Semua mereka jalani dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga di kampung dengan merantau.
Yang membuat saya sedih adalah, barangkali para orang tua mereka (warga Filipina), kakek mereka dulunya di tahun 70an bisa jadi orang-orang terpandang yang berkecukupan. Tapi rezim yang korup dan zalim telah menghancurkan masa depan cucu dan cicit mereka.
Yang bikin air mata saya jatuh adalah membayangkan anak cucu kita bangsa Indonesia, bagaimana pula kelak nasib mereka. Dengan utang luar negeri 5000 triliun lebih dan bunga ratusan triliun setiap sekian bulan sekali, akan kah mereka masih punya masa depan?Â
Dengan kepungan segala kepentingan asing di dalam negeri, serbuan TKA, pelecehan kemampuan kita oleh pejabat negeri ini, betul-betul membuat saya sedih dan pesimis.Â
Semoga bangsa Indonesia segera bangkit dari mati surinya dan mampu menyelamatkan kehormatan dan martabat bangsa ini.
Bekerja di luar negeri sungguh bukan perbuatan yang tercela, merekalah pahlawan devisa. Semestinya tersedia lapangan kerja yang cukup bagi bangsa ini tetapi pilihan mencari yang lebih baik adalah hak mereka.
Yang saya tangisi adalah jika bekerja di negeri orang bukan lagi sebagai pilihan tetapi keniscayaan untuk bertahan hidup dan menyekolahkan anak, itupun asal sekolah. Jika tidak melakukan, terancam jadi pengangguran dan pengemis di negeri paling diberkahi di seantero bumi ini. Â
Dulu ada Marcos di sana dan dia zalimi bangsanya sendiri. Kini, dengan segala dinamika yang terjadi di negeri ini, saya menyimpan keraguan apakah negeri ini bisa selamat, apakah bangsa ini masih punya kesempatan? Wallahu a'lam.