Mohon tunggu...
Alvita Rosa
Alvita Rosa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya Alvita Rosa, Alvita Rosa, dan Alvita Rosa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

30 Menit

17 November 2013   19:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:02 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore itu hujan deras mengguyur kota Bogor. Seakan tak ada lagi tempat untuk berlindung, bahkan di bawah atap sekalipun. Entah mengapa hujan di Bogor selalu menyeramkan untuknya. Ia benci suara geledek. Kadang ia bermimpi andai ada remot untuk nge-mute suara geledek. Sehingga ia tak perlu mendengar suara menyeramkan itu. Ia berfikir mungkinkah malaikat sedang batuk sehingga ia mengeluarkan suara macam geledek. Atau malaikat sedang bertengkar hingga ia saling membentak. Lalu mereka menangis bersama dan terjadilah hujan deras. Hujan deras sederas kesedihannya sore ini.

Dibalik dinding kaca sebuah kafe ia terlihat begitu gelisah. Sedikit-sedikit ia memandang jam dinding yang ada di sana. Lalu melihat ke arah luar, berharap dengan sangat orang yangditunggunya segera hadir. Ada sebuah pengakuan yang ingin ia katakana pada orang itu. Sebuah pengakuan yang paling menyakitkan tapi harus tetap dikatakan. Dan hal yang paling disayangkan, orang itu adalah kekasihnya.

Namanya Mata. Seorang laki-laki jangkung, kurus, dan berambut kribo. Ia seorang wartawan salah satu stasiun televisi ternama di Indonesia. Sudah sepuluh tahun ia menjalani profesinya. Kini umurnya 28 tahun. Dalam umurnya itu, ibu dan ayahnya sudah sangat resah menanti seorang menantu. Ibunya sudah sangat sering memintanya agar segera menikah. Namun Mata hanya menjawab iya, iya, dan iya. Mata belum begitu memikirkan secara serius permintaan ibunya. Kekasih yang ia tunggu saat ini adalah kekasih yang sudah menemaninya selama hampir lima tahun. Namun mata tak pernah benar-benar ingin melamar kekasihnya itu. Hingga akhirnya ada sesuatu yang membuatnya begitu resah. Ia ingin segera menyampaikan hal itu pada kekasihnya. Sudah tiga bulan ia pendam itu, karena ia tak tahu bagaimana menyampaikannya. Dan sore ini, ia kumpulkan segala keberaniannya untuk menyampaikan itu pada kekasihnya.

Kini tepat satu jam ia menunggu, namun kekasihnya tak kunjug tiba. Ia semakin gelisah. Bahkan pelayan kafe itu juga ikut resah menanti pesanan dari Mata. Sudah tiga kali ia bolak-balik ke meja Mata. Namun Mata tetap tak memesan apa-apa dan tetap ingin menunggu kekasihnya. Lalu dirasakan posel dalam sakunya beregetar. Ia segera mengambil ponsel itu. Dan cepat-cepat membaca pesan itu. Benar dugaannya. Pesan itu datang dari kekasihnya.

From:Pelangi

Time:17.15

Maaf Mata membuat kamu lama menunggu. Jalan macet banget tapi 15menit lg aku sampai.

Mata sedikit lega membaca pesan itu. Setidaknya ia tahu kekasihnya akan datang. Nama kekasihnya Pelangi. Seorang perempuan yang sangat cerdas dan berwawasan. Ia seorang penerjemah dalam bahasa Belanda. Pelangi memang tidak begitu cantik, tapi setiap orang yang berbicara padanya akan terpukau dengan bahasanya yang begitu tertata rapi. Bahasanya enak didengar, seolah setiap kata ia pilih dengan tepat guna. Mata pun begitu, jika ada yang bertanya bagaimana awal mula ia jatuh cinta pada Pelangi. Pasti dia akan menjawab, semua berawal dari mendengar dan memerhatikan Pelangi bicara.

Kini Mata kembali pada ingatannya tentang sesuatu yang akan dia beritahu pada Pelangi. Mata begitu tidak tahu cara apa yang baik untuk mengatakan hal itu pada Pelangi. Mata membayangkan andai ia menjadi Pelangi. Mata tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia menunduk dan mengacak-acak rambutnya. Hingga akhirnya ada sebuah telapak tangan yang menyentuh tangannya.

“kamu kenapa ?”

Mata sangat kaget ketika mendapati kekasihnya telah berdiri tepat di depannya.

“Pelangi.. dari kapan disini?”

“baru sampai. Kok kamu kaget banget lihat aku? Ada apa?” Pelangi balik bertanya.

“uh.. ga kok. Baju kamu basah. Nanti masuk angin?”

“dari kecil aku di kota ini. Dan aku tidak pernah merasakan masuk angin karena hujan di kota hujan.” kata Pelangi sambil tersenyum.

Senyuman Pelangi barusan membuat Mata terpesona. Entahlah, tapi baginya Pelangi begitu anggun. Senyumnya, bicaranya, sikapnya. Semua ia atur seolah tak ada cela untuk salah. Mata pun tidak mengerti bagaimana mungkin ia mengatakan suatu hal yang akan menyakiti wanita seperti Pelangi. Tiba-tiba Mata mendapati keberaniannya menghilang entah kemana. Sesuatu itu, entah bagaimana bisa terjadi. Mata juga tak tahu, Mata tak tahu mengapa ia lakukan itu tiga bulan yang lalu. Mata tak tahu, dimana sosoknya sebagai laki-laki. Mata tak tahu kemana perginya sikap seorang laki-laki di dalam dirinya.

Tak lama seorang pelayan datang, membawakan menu makanan. Namun mereka berdua tak butuh lagi daftar menu. Karena mereka sudah sama-sama tahu menu apa yang akan meraka pesan. Lalu mereka berdua melihat kearah luar jendela, kemudian kembali berpandang-pandangan, setelah itu memesan satu menu kepada palayan tadi. Mereka tersenyum-senyum sendiri dengan menu yang mereka pesan. Selang beberapa menit, dua buah es krim dengan sepotong brownis di bawahnya, sebatang wafer yang tertancap di atasnya, ditambah dengan selai stroberi cair, dan cochocips yang ditaburi diatas eskrim tersebut. Mereka tertawa lagi. Betapa gilanya, dengan cuaca sedingin ini, mereka tetap memesan es krim.

“selera kita masih sama ternyata.” kata Mata

“Tak pernah ada yang berubah. Sejak lima tahun lalu, hingga kini. Semua tetap sama. Aku, kamu, es krim, dunia kita.” jawab Pelangi

Dalam hati Mata berkata, namun ada satu hal Pelangi, ada satu hal yang mungkin akan berubah setelah ini. Ada satu hal yang akan membuat dunia kita jungkir balik. Ada satu hal yang mungkin akan membuat kamu begitu kaget, dan membuat saya begitu terpukul.

“kamu bilang ada yang mau kamu bicarakan. Tentang apa?” tanya Pelangi.

Mata hanya diam mendengar pertanyaan itu. Ia benar-benar tidak tahu dari mana ia harus memulai semua cerita sinting itu. Ia tidak tahu bagaimana caranya mengatakan pada Pelangi.

Kini jam dinding sudah menunjukan pukul 17.45, lima belas menit sebelum azan magrib berkumandang. Mata seolah tertusuk melihat jam dinding itu. Ia punya waktu lima belas menit lagi untuk bisa mengatakan ini pada Pelangi. Jika bisa ia ingin memeluk pelangi terlebih dahulu, sebelum akhirnya ia benar-benar pergi dengan semua luka yang terlah ia goreskan. Bukan ia tak ingin bertanggung jawab dengan luka itu. Tapi pergi adalah cara terbaik, karena luka ini akan sangat menyakitkan. Karena ada satu tanggung jawab yang lebih besar menantinya. Karena ia percaya bahwa Pelangi akan lebih indah jika tanpa ia disampingnya. Tapi Mata tak tahu bagaimana memulai cerita itu. Mata sangat bingung, bagaimana mungkin ia mengakui pada Pelangi bahwa ia tak lagi perjaka, bahwa ia telah tidur dengan wanita lain, bahwa ia telah menghamili wanita lain. Bagaimana mungkin ia mengatakan pada kekasihnya yang begitu anggun, dan menawan ini. Mata tak punya daya untuk mengatakan itu. Ia tak punya kekuatan untuk mengakui aibnya yang begitu menjijikan itu. Mata hanya bisa tertunduk bisu. Ia pegangi tangan Pelangi dengan erat. Ia tak sanggup menatap wajah kekasihnya itu.

Waktu mereka tinggal lima menit lagi. Jam dinding semakin membuat Mata tak mampu lagi bernafas. Pelangi juga terlihat semakin resah dengan tingkah Mata yang begitu aneh. Bahkan es krim pun kehilangan kebekukannnya. Mata hanya mampu berkata maaf di dalam hatinya. berulang-ulang ia ucapakan kata itu dalam hatinya. Bibirnya keluh. Setiap ia ingin memulai bicara, yang keluar hanyalah hebusan karbon dioksia. Tak ada kata-kata. Semua kenangannya bersama Pelangi selama lima tahun, tiba-tiba berputar bagai film di otaknya. Entah mengapa disaat ia ingin pergi meninggalkan Pelangi. Pelangi dengan segenap keindahan dan ketulusannya menyeruakkan penyesalan yang tiada putus-putusnya. Mata begitu menyesal.

Lalu azan magrib pun berkumandang. Mata kehilangan waktunya untuk mengakui sebuah penyesalan. Namun Pelangi seolah paham. Ini adalah akhir. Ia tahu genggaman tangan Mata memang erat. Namun itulah kuncinya, Mata bingung antara ingin pergi atau bertahan. Mata mecari-cari fokus yang tepat. Mencari pandangan yang benar. Namun ia tak bertemu. Ia bahkan kehilangan kemampuan untuk memandang.

“Mata, mata tak akan mampu melihat pelangi jika tak ada hati. Hatilah kuncinya, mata hanyalah alat untuk memandang. Tapi yang menenetukan sesuatu indah atau tidak adalah hati. Mata, jika semua ini adalah akhir. Aku siap. Aku tak akan bertanya mengapa. Jadi kamu tak perlu menyusun kata-kata untuk merangkai semua itu. Tak perlu.”

“maafkan saya Pelangi, pelangi tak mungkin akan bersedih jika hanya kehilangan sepasang mata yang akan memandanginya. Karena akan ada banyak mata yang akan terus terkagum-kagum pada keindahan pelangi. Pelangi, aku ingin kamu tidak sedih. Sungguh saya tak punya niat menyakiti. Kamu benar, saya bukan kehilangan mata tapi saya kehilangan hati. Saya tak tahu lagi mana yang baik dan tidak. Tapi saya tahu pelangi tetap indah sampai kapan pun.”

Itu adalah 30 menit percakapan terakhir mereka. Tiga puluh menit yang mereka ciptakan untuk tidak bersedih. Tiga puluh menit dalam sebuah penerimaan yang dalam.

_The End_

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun