Tragedi Lumpur Lapindo terjadi pada tanggal 29 Mei 2006, tragedi ini dinobatkan sebagai bencana metana terbesar di bumi, lumpur panas menyembur dari lokasi pengeboran milik PT Lapindo Brantas. Berbagai ahli dari penjuru dunia turut mendatangi dan meneliti lokasi penyemburan lumpur lapindo, namun sampai sekarang mereka masih belum juga menemukan apa penyebab pasti dari tragedi tersebut. Mereka menduga ada 2 hal yang memicu penyemburan lumpur tersebut yaitu karena efek dari gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta 2 hari yang lalu atau bisa juga karena adanya kesalahan prosedur pengeboran.
Tragedi ini menyebabkan berbagai kerusakan contohnya seperti tenggelamnya 10.426 rumah warga, 10 pabrik, 600 hektare sawah, pemukiman penduduk, penutupan sementara 2 jalur kereta api, penutupan sementara jalan tol Surabaya-Gempol dan masih banyak lagi. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk memperkecil area yang terkena dampak dari lumpur adalah dengan cara membangun tanggul, membentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Sedangkan PT Lapindo Brantas sudah sepakat untuk membayar ganti rugi sebesar 3,8 Triliun untuk korban-korban yang terkena dampak dari peristiwa ini. Namun sampai sekarang masih banyak sekali korban yang meminta pembayaran ganti rugi melalui ABPN.
Masyarakat yang terkena dampak dari tragedi ini tidak hanya meminta biaya ganti rugi namun juga meminta pemerintah untuk memperhatikan kondisi kesehatan, sosial, pendidikan masyarakat sekitar. Dari sisi kesehatan, telah ditemukan bahwa tanah dan air di area sekitar lumpur panas mengandung PAH yang merupakan senyawa organik berbahaya yang dapat memicu kanker. Air yang sudah terkontaminasi zat berbahaya memberikan efek kepada hewan-hewan yang ada didalamnya seperti udang dan ikan. Kontaminasi logam berat juga ditemukan dalam sumur warga sehingga warga tidak dapat mempergunakan air tersebut untuk minuman sehari-hari. Dari sisi Pendidikan, telah ditemukan bahwa banyak anak-anak yang kehilangan tempat belajarnya sehingga mereka harus berpindah ke sekolah lain.
Polda Jawa Timur telah menetapkan 13 tersangka namun perkara pidana tersebut terpaksa harus dihentikan karena perkara perdatanya gugatan YLBHI dan Walhi kepada Lapindo dan pemerintah telah gagal. Para peniliti memiliki pendapat yang berbeda-beda, Gerakan Menutup Lumpur Lapindo pernah mengajukan nama-nama ahli tambahan seperti para ahli terkemuka Indonesia dan luar negeri yang tergabung dalam Engineer Drilling Club (EDC) yang mendukung fakta kesalahan pemboran berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan tersebut, tetapi ditolak oleh penyidik Polda Jawa Timur. Sebulan kemudian di bulan September 2009, Sidang Paripurna DPR mengukuhkan penyebab semburan Lapindo ialah faktor bencana alam. Dengan demikian, tidak ada satupun individu atau institusi dalam Lapindo yang dapat dipidanakan.
Pemerintah harus tegas dan memperhatikan kondisi korban-korban yang terdampak dari bencana ini. Mereka tidak hanya membutuhkan biaya ganti rugi, namun mereka juga membutuhkan hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas hunian yang layak, dan hak atas pekerjaan. Sampai sekarang pun lumpur Lapindo masih terus menyembur dan tidak tau kapan akan berhenti. Peneliti memprediksi lumpur akan berhenti menyembur setelah 20 -27 tahun, namun mereka juga memprediksi bahwa lumpur ini akan terus menerus menyembur sampai lumpur bumi habis.
Referensi opini :
https://www.lensaindonesia.com/2011/10/18/anak-anak-korban-lumpur-lapindo-butuh-pendidikan-dan-kesehatan-yang-layak.html#amp_tf=Dari%20%251%24s&aoh=16672286971183&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&share=https%3A%2F%2Fwww.lensaindonesia.com%2F2011%2F10%2F18%2Fanak-anak-korban-lumpur-lapindo-butuh-pendidikan-dan-kesehatan-yang-layak.html
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H