Mohon tunggu...
Neil Semuel Rupidara
Neil Semuel Rupidara Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti

Neil adalah dosen di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia dan Kajian Organisasi di Universitas Kristen Satya Wacana. Saat ini menjabat sebagai Rektor UKSW.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

2020, Ketika Dunia Didera Covid-19: Apa yang telah kita pelajari?

30 Desember 2020   17:15 Diperbarui: 30 Desember 2020   22:39 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dunia bukan tidak pernah mengenal coronaviruses. Tujuh jenis virus telah teridentifikasi dalam rumpun keluarga virus-virus korona. Empat di antaranya dinilai bersifat umum dan tidak mengakibatkan penyakit yang berat. Tiga lainnya menyebabkan penyakit-penyakit serius dan epidemi yang kini telah kita kenal: SARS, MERS, dan terakhir Covid-19. Sekalipun telah mengenal “keluarga besar” virus ini, dunia seakan gagap ketika SARS-CoV2 muncul dan mengakibatkan penyakit sejenis pneumonia yang menyebar sedemikian rupa, melanda dunia dan mengakibatkan pandemi global. 218 negara dan kawasan diserang oleh penyakit baru ini, hampir tidak ada satu negarapun yang luput kecuali sejumlah kecil negara pulau di lautan Pacific. Juga, rasanya hampir tidak ada seorangpun yang kini tidak mengenalnya, berbeda dari pengenalan akan “saudara-saudara” serumpunnya dalam keluarga penyakit akibat coronaviruses. Ini menunjukkan betapa luar biasanya virus SARS-CoV2, sekali datang, ia langsung dikenal di seluruh dunia.

WHO secara resmi menamai penyakit baru dari jenis virus korona yang baru ini sebagai Corona Virus Disease – 2019 (Covid-19) pada 10 Januari. Kasus Covid-19 sendiri telah teridentifikasi sejak Desember 2019. Sumber tertentu bahkan menduga sudah ada laporan kasus-kasus pneumonia di China sebelum itu. Ada informasi bahwa di Perancis pun sudah terlaporkan fenomena pneumonia di akhir December. Bahkan dalam kerangka conspiracy theory, ada tudingan bahwa di Amerika pun sudah beredar penyakit itu sebelumnya, awal December. Dunia menghadapi pandemi, tetapi dunia sempat (masih?) tidak sehati-sepikir dalam menanggung deritanya.

Penyebaran

Sejak menjadi wacana dan wawasan global di Januari 2020, penyebaran Covid-19 tampak mulai terpantau, sekalipun ada missing links di fase awal penyebaran Covid-19 yang belum terjelaskan baik. Sebuah contoh adalah penyebaran di Eropa, termasuk Italy. Kasus Covid-19 terdeteksi pertama di Italy adalah kasus dua wisatawan dari China pada akhir Januari, yang segera ditangani oleh otoritas kesehatan di Italy. Namun, penyebaran lokal yang kemudian menjadikan Italy sebagai epicentrum penyebaran Covid-19 di Eropa tidak berasal dari jalur itu tetapi jalur lain (terdeteksi lebih dari 1 jalur masuk), termasuk link dari Jerman. Di Jerman pun kasus pertama baru terlaporkan pada waktu yang kurang lebih sama dengan kasus resmi pertama di Italy itu. Itu menunjukkan bahwa telah ada jalur penyebaran Covid-19 yang sesungguhnya tidak terdeteksi di awal. Dan, fenomena itu sepertinya terjadi di banyak negara karena tidak begitu terpantaunya penyebaran Covid-19 di awal. Dunia masih sedang menikmati liburan akhir/awal tahun sehingga tidak menyadari bahaya yang mengintai dan mengancam.

Sekalipun sudah ada kasus-kasus di Januari itu, dunia seolah bergeming. Menyepelekan? Entahlah. Lihat kronologi kecil di atas. Akhir Desember sudah dideteksi. Awal Januari sudah dinamakan penyakit itu, dan sudah ada peringatan terjadinya epidemi darinya. Atas kecurigaannya, Taiwan bertanya kepada WHO dan China di 31 Desember, bahkan belakangan menemukan evidence dari Wuhan sehingga pada 13 Januari mengingatkan WHO bahwa virus ini bisa mengalami transmisi di antara manusia. Namun, mengikuti kesimpulan China, WHO di 14 Januari menyatakan “no clear human to human transmission”. Belakangan pada 22 Januari, kembali mengikuti sikap China lagi, baru WHO pun menyatakan transmisi SARS CoV2 dari orang ke orang terjadi di Wuhan. Begitulah, dunia tampak sudah menyepelekannya, bahkan otoritas-otoritas dunia. Namun, WHO menolak telah mengabaikan peringatan Taiwan. Sejumlah dalih dibangunnya. Manusia, oh manusia, do you need many more justification?

Anyway, ketika datang Maret 2020, penyebaran Covid-19 semakin berakselerasi, meluas ke makin banyak negara, tiga kali lipat jumlahnya, barulah dunia tampak panik. WHO menyatakan Covid-19 adalah pandemi global, pada 11 Maret 2020. Ada empat intisari kebijakan public health yang WHO keluarkan. “First, prepare and be ready. Second, detect, protect and treat. Third, reduce transmission. Fourth, innovate and learn.” Tidak tahu missing dalam komunikasi ada di mana, namun yang terpatri di masyarakat adalah semua pihak diminta segera melakukan social distancing, merespon secepatnya kilat. Padahal, poin kedua kebijakan itu adalah, detect, protect, treat, dan untuk itu “Find, isolate, test and treat every case and trace every contact.” Itu kemampuan penting dalam konteks epidemi namun itulah yang sepertinya missing di negara kita.

Dalam hal Covid-19 berasal dari negara lain, mestinya juga yang menjadi prioritas penanganan adalah penutupan atau pengendalian ketat atas mobilitas penduduk masuk keluar perbatasan suatu negara, atau wilayah. Namun, yang terburu-buru dilakukan adalah penghentian seluruh aktivitas di dalam wilayah-wilayah. Bahkan di wilayah-wilayah steril pun perintahnya sama. One size fits all policy. Seolah semua negara dan wilayah sudah seperti Wuhan yang memang menjadi pusat penyebaran secara lokal. Kebijakan kita seolah tidak sensitif dengan perbedaan kondisi antar wilayah, perbedaan konteks. Semua digebyah-uyah menjadi gado-gado. Aneh, tetapi nyata. Bahaya yang justru datang dari luar tetapi pintu gerbang rumah tidak ditutup, tetapi semua orang dalam rumah yang sehat-sehat malah disuruh masuk ke dalam kamar dan menguncinya tetapi karena toh butuh melakukan hal-hal di dalam rumah, maka akhirnya mereka berjumpa bahaya itu. Dalam kondisi seperti itu, Covid-19 seolah justru diberi “karpet merah” untuk masuk ke dalam wilayah-wilayah, lalu ia menunggu dan menunggu kapan waktu tepat untuk menyergap, menyebar. Bahkan, saking ketat “mengurung diri” terlalu awal, belakangan masyarakat mencapai tingkat kejenuhan psikologis yang memuncak dan seolah tidak mau lagi dikekang lalu membebaskan diri semau-maunya. Sekalipun angka penyebaran justru makin meningkat, masyarakat tetap tidak khawatir. Rupanya kita tampak sudah bisa bergaul “akrab” dengan Covid-19.

Catatan: Taiwan adalah contoh terbalik dari sikap-sikap di atas. Taiwan telah melakukan pengendalian mobilitas antar negara sejak mengetahui SARS CoV2 ditemukan di China, sekalipun ditingkahi sikap China dan WHO yang seolah menutup-nutupi informasi. Arus masuk dari Wuhan dikendalikan dengan ketat. Taiwan adalah salah satu negara yang paling berhasil menangani Covid-19.

Tampak terjadi kesenjangan antara pengetahuan ilmiah, dalam hal ini tentang SARS CoV2 dan Covid-19, dengan pemahaman yang ada pada masyarakat umum. Fenomena ini telah menciptakan ketegangan-ketegangan muncul di level “akar rumput” pada masa-masa awal kasus-kasus Covid-19 merebak di lokal-lokal. Ada kejadian-kejadian tanda pengabaian dan tindakan bodoh dari yang orang terkena Covid-19 yang berkeliaran bebas. Sebaliknya, tidak sedikit terjadi kepanikan dan kemarahan kurang terkendali dari tetangga-tetangga. Namun kini semua terlihat biasa-biasa saja. Tidak takut Covid-19? Kesannya, peduli amat. Maklum, sudah jenuh.

Efek-Efek

Bagaimanapun, ketika Covid-19 menerjang, tampaklah kerentanan menghadapi serangan tiba-tiba dari penyakit ini. Covid-19 yang bagaimanapun merajalela seolah mengejek kita manusia dan seluruh tatanan sosial kultural hasil bentukan keseluruhan peradaban. Bayangkan, semua dibangun berabad-abad, semua seolah lumpuh diluluhlantakkan Covid-19. Dalam sekejab semua seolah bisa dijungkirbalikkannya. Tarulah, sudah seberapa tua misalnya tradisi bersekolah dan beruniversitas? Tua, sangat tua. Namun, Covid-19 yang baru seumur jagung dengan cerdik membongkar tradisi-tradisi pendidikan yang dibangun berabad-abad. Apa juga misalnya yang masih tersisa kesakralannya dalam tradisi-tradisi beragama yang juga tidak luput dari hardikan penyakit ini? Gereja-gereja, misalnya, dibuatnya menjadi ruang-ruang kosong. Padahal kita sudah berupaya membangunnya indah-indah, sebagai simbol keagungan yang ilahi. Ritual-ritual beribadah pun bertumbangan. Beribadah dari rumah yang dulu cenderung dipandang tabu, kini merejalela di mana-mana. Penyakit ini seolah sedang mengejek kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun