Latar Belakang Kasus Gus Miftah
Gus Miftah menjadi pusat perhatian setelah video dirinya mengolok-olok seorang penjual es teh viral di media sosial. Dalam interaksi tersebut, dia menggunakan kata-kata yang dianggap merendahkan dan tidak pantas, meskipun niatnya mungkin hanya bercanda. Tindakan ini memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk politisi dan tokoh agama, yang menilai bahwa ucapan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ajaran Islam.
Dalam dunia yang semakin terhubung melalui media sosial, setiap ucapan dari tokoh publik dapat dengan cepat menyebar dan mempengaruhi opini publik.
Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi lisan sangat penting dalam membentuk interaksi sosial yang positif (Ansel, Jurnal Literasi: Pendidikan dan Humaniora, 2022, hal. 41).Â
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya bagi tokoh masyarakat untuk mempertimbangkan dampak dari kata-kata mereka.
Dampak Psikologis
Ucapan yang tidak bijaksana dapat memengaruhi reputasi tokoh publik dan menimbulkan dampak psikologis bagi pihak yang menjadi sasarannya. Dalam kasus Gus Miftah, kata-katanya tidak hanya mencoreng citranya sebagai seorang ulama tetapi juga melukai harga diri pedagang kecil yang menjadi sasaran. Hal ini menunjukkan bahwa lisan memiliki kekuatan luar biasa, ia dapat menjadi sumber inspirasi atau sebaliknya dan menjadi alat yang menyakitkan.
Tindakan ini juga dapat dianggap sebagai kekerasan verbal, yang mencakup penghinaan, ejekan, dan kata-kata kasar yang merendahkan harga diri seseorang, sehingga membuat mereka merasa tidak berharga dan tidak diinginkan.Â
Menurut Hwang (2021), situasi ini sering kali berujung pada gangguan emosional seperti depresi, kecemasan, dan perasaan putus asa. Kekerasan verbal telah dihubungkan dengan kondisi psikologis negatif, termasuk kecemasan (Rahmawati, Jurnal Ilmu Komunikasi dan Media, 2024, hal. 243-244)
Etika dalam Berkomunikasi