Hukum harus ditegakkan. Tapi penegakan hukum juga harus mengikuti prosedur yang benar. Itulah salah satu fungsi pra-peradilan. Memeriksa apakah penegakan hukum telah sesuai dengan aturan dan etika hukum.
Mungkin sebagian dari kita jengkel, marah dan muak dengan keputusan hakim Sarpin yang menyatakan BG tidak seharusnya menjadi tersangka. Ya silakan saja, saya pun tidak dalam posisi pro maupun kontra. Saya menempatkan diri sebagai penonton. Tapi yang perlu kita miliki adalah pemahaman yang lebih baik atas putusan itu.
Anda pernah dituduh mengambil uang atau barang semisal HP milik orang lain?
Mungkin sebagian pernah. Katakanlah pernah. Bagaimana perasaan Anda jika tuduhan itu kemudian disebarluaskan dengan poster dan spanduk bahkan juga status FB? Pasti jengkel jika merasa tidak mengambil, atau (minimal) sedikit takut jika memang mengambil.
Nah, bagaimana sikap Anda jika tuduhan itu telah tersebar luas secara masif, sedangkan yang menuduh sama sekali tidak pernah bertanya atau mengkonfirmasi pada Anda?
Itulah gambaran “menjadi tersangka tanpa diperiksa”. Hanya berdasarkan “katanya si X”, “pengakuan di Y” atau bahkan interpretasi penuduh setelah menaruh telinganya di pintu kamar tidur Anda. Kemudian, disebarkanlah tuduhan itu pada dunia.
Parah? Ini belum semuanya.
Jika kita orang “biasa”, tuduhan itu mungkin efeknya terbatas. Tapi bagaimana dengan para tokoh, pejabat, pendidik, pemuka agama? Efeknya jauh lebih merusak.
Reputasi yang telah dibangun puluhan tahun bisa hancur, keluarga hingga kerabat dan sejawat pun terkena efeknya. Apalagi jika yang menuduh adalah perangkat negara, penegak hukum, dengan dana operasional yang luar biasa besar.
Dan itu semua terjadi tanpa pernah sekali pun Anda ditanya, dikonfirmasi atau diminta keterangan. Tiba-tiba tersangka.
Mungkin ada yang berkilah, “tidak apa-apa! Mereka adalah koruptor!”