Kemenangan Anies-Sandi pada Pilkada DKI 2017 berdasarkan hasil hitung cepat dan dan exit pool menunjukan dominasi strategi kampanye yang cukup matang. Jika melihat tren survey yang terjadi Anies-Sandi pada putaran pertama berada di posisi nomor dua berada di bawah Ahok-Djarot. Hal ini tentunya menjadi sebuah hipotesis awal bahwa kehadiran AHY (Agus Harimurti Yudhoyono)-Silvi merupakan sebuah strategi besar untuk menaklukan ibu kota. AHY-Silvi muncul di akhir pendaftaran calon gubernur DKI pada saat itu. Kemudian berselang beberapa saat setelah itu muncul pasangan Anies-Sandi yang di dukung oleh PKS dan Gerindra.
Bergulirnya isu “penistaan agama” yang menimpa Ahok merupakan sebuah pukulan telak bagi petahana. Sekaligus merupakan momentum bersatunya umat islam di seluruh indonesia. Dengan latar belakang Al- Maidah 51, Ahok masuk kedalam persidangan. Jauh sebelum itu karakter petahana yang ceplas-ceplos dalam berbicara menjadi titik lemah. Meskipun sebelumnya menjadi kekuatan, karena tanpa pandang bulu dan semua yang bertentangan langsung di sikat. Ini menjadi menarik dibahas ketika debat kedua berlangsung, karena dalam beberapa debat yang tersiar di televis petahana ternyata kalah jauh dengan Anies yang menjadi debator ulung dalam setiap penyampaian gagasannya.
Jika isu penistaan agama memiliki efek yang cukup besar, lalu mengapa Ahok menang diputaran pertama? Ini menjadi pertanyaan yang patut di bahas. Sampai pada putaran kedua ternyata yang terpengaruh dengan isu “penistaan agama” masih di atas 50% (dalam berbagai survey). Namun, disinilah peran besar AHY-Silvi sebagai pasangan yang hadir untuk mampu menakar kekuatan petahana. Alhasil AHY-Silvi langsung tersingkir dalam kompetisi pilkada DKI. Hal ini dengan apik dimanfaatkan AHY untuk dapat mensosialisasikan dirinya sebagai calon pemimpin Indonesia dimasa depan. Jika kita menyimak statemen “ Saya terima kekalahan dengan lapang dada” sekaligus mengucapkan selamat kepada Ahok dan Anies yang akan melanjutkan pertarungan pada putaran kedua.
Jika kita dibaratkan pertarungan pilkada DKI seperti sepakbola, kubu pemerintah (KIH) dan non pemerintah (KMP). Menjadikan DKI parameter indonesia adalah strategi dari KIH yang pada waktu itu mengusung Jokowi-Ahok. Dengan mulus pasangan tersebut melengang dengan kemenangan setelah mengalahkan petahana Foke-Nara. Sekaligus pada pilpres 2014 Jokowi langsung berhasil menjadi presiden bersama Jusuf kalla. Hal ini tentunya bukan tanpa perhitungan, kubu pemerintah mempersempit presepsi tentang kepemimpinan Indonesia, namun tanpa sadar tidak mempersiapkan plan B dan C jika DKI tidak dapat dikuasai. Alhasil, jika menilik Pilkada 2017 saat ini DKI sudah tidak dikuasai oleh Partai pemerintah. Tentunya ini bukan hal biasa karena kedepan pada pemilu 2019 akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan presiden petahana.
Kemenangan Anies-Sandi di DKI menjadi ajang konsolidasi partai oposisi yang sudah mulai merangsek melakukan serangan balik ke kubu petahana. Hal tersebut dapat terlihat bahwa Partai pemerintah (PDIP) pada pilkada serentak tidak meraih hasil yang maksimal. Ini menjadi sebuah rangkaian serangan balik bagi partai oposisi khususnya (PKS dan Gerindra). Kesalahan strategi yang dilakukan pada pilkada DKI sebenarnya sederhana, pemerintah terlalu terburu-buru untuk segera menaklukan 2019. Sempat tersiar kabar jika Ahok-Djarot menang pada pilkada DKI 2017 maka 2019 Ahok akan menjadi pasangan Jokowi menjadi wakil presiden. Jika melihat dalam debat putaran kedua “Jika anda berdua terpilih menjadi Gubernur DKI pada pilkada 2017, siapkah anda memimpin selama 5 tahun?” pertanyaan ini dijawab oleh Djarot dan ini menjadi salah satu indikasi bahwa kedepan Ahok akan maju di 2019. Dominasi ini yang segera dipatahkan oleh oposisi dengan isu “penistaan agama” yang terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H