Kemenangan Anis-Sandi merpuakan sebuah momentum sekaligus sebagai awal munculnya opini baru tentang strategi pemenangan pilkada. Jika melihat kebelakang latar belakang Anis memang sudah populer, mulai dari rektor termuda yang memimpin universitas paramadina, kemudian masuk ke kancah politik sebagai deklarator dari Ormas Nasdem dan kemudian berujung pada konfensi Partai Demokrat. Kemudian menjadi juru bicara Jokowi-JK sekaligus mendapatkan bonus menteri pendidikan. Sayangnya Anis tidak lama menempati posisi menteri kurang dari dua tahun dirinya di resufle. Sepak terjang anis dalam dunia politik sudah dimulai semasa masih berada di bangku kuliah dan kemudian berlanjut sampai saat ini.
Jika bicara mengenai Sandiaga Uno pastinya para pengusaha muda kenal betul siapa Sandiaga Uno, meskipun tidak memiliki latar belakang politik yang cukup kental seperti Anies, namun Sandiaga Uno merupakan pengusaha muda yang terkenal dengan salah satu bisnisnya di bidang Batu Bara. Namun, disamping itu masih banyak tentunya bisnisnya yang lain. Sandi juga aktif di HIPMI yang merupakan wadah berkumpulnya pengusaha muda. Sandi merupakan orang baru dipolitik karena baru dua tahun belakangan dirinya melepaskan bisnis dan kemudian berkecimpung didunia politik melalui partai gerindra.
Jika merlihat dua sosok ini tentunya di bandingkan Ahok- Djarot ataupun Agus-Silvi latar belakang keduanya menunjukan bahwa pasangan ini merupakan pasangan pelengkap. Sekaligus hanya diusung oleh dua partai yang mulai dari pilpres sampai saat ini masih cukup solid yakni Gerindra dan PKS. Ahok-Djarot merupakan petahana yang sudah pasti didukung oleh partai pemerintah sekaligus mampu memanfaatkan semua kekuatan yang dimiliki sebagai petahana. Selanjutnya Agus-Silvi yang merupakan pasangan yang mampu mengaet anak muda dan ibu-ibu sekaligus Agus merupakan putera mahkota dari presiden ke-6 indonesia yakni Susilo Bambang Yodhoyono (SBY).
Sebenarnya jika dilihat dari kekuatan politik diatas kertas pertarungan yang terjadai adalah Ahok dan Agus. Jelas karena melihat siapa dibelakang mereka berdua adalah presiden dan mantan presiden. Namun, sayangnya Agus-Silvi tersingkir terlebih dahulu pada putaran pertama. Agus memanfaatkan Jakarta sebagai sarana sosialisasi dirinya sebagai pemimpin muda masa depan Indonesia. Pertarungan selanjutnya antara Ahok dan Anis, pertarungan Ahok dan Anis seperti Daud dan Goliath. Ahok sebagai Goliath dan Anis sebagai Daud. Amunisi, kemudian dukungan dan berbagai latar belakang Anis jauh dibandingkan dengan Ahok. Pada putaran pertama pun terlihat bahwa Ahok unggul di banding Anies. Namun sayangnya pada putaran kedua Anies mampu unggul dari pada Ahok.
Hal ini tentunya menarik dibahas ketika melihat trend demokrasi indonesia, ternyata mengalami perubahan yang cukup signifikan. Jika kita melihat bagaimana Jokowi mampu menang di Jakarta kemudian dilanjutkan dengan kemenangan pada Pilres. Kemudian melihat Kota Bandung dengan sosok baru di dunia politik yakni Ridwan Kamil yang datang dari dunia professional tiba-tiba menang atas petahana. Hal ini tentunya menjadi fenomena dalam demokrasi yang terjadi di Indonesia. Trend personal yang mulai dilakukan oleh SBY pada pemilu 2004 dan 2009 berhasil membawa SBY memimpin Indonesia selama 10 tahun. Kemudian hal ini di lanjutkan oleh Jokowi yang berhasil merebut hati masyarakat solo, Jakarta, dan kemudian Indonesia. Dari bukan siapa-siapa di dunia politik tiba-tiba menjadi presiden pada 2014.
Jika kita mendefinisikan secara hipotesis bahwa strategi politik pada 2009-2014 adalah tend politik pencitraan melalui personal branding. Artinya personal mampu dijual ke masyarakat untuk dapat menjadi pilihan pada pemilu, baik tingkat daerah ataupun nasional. Hal tersebut jelas terjadi bahwa ternyata PDIP mampu menjadi pemenang pada 2014 tidak terlepas dari peran Jokowi yang saat itu sudah digadang-gadang menjadi presiden jika PDIP menang pada pemilu legislatif. Strategi ini berjalan sangat baik PDIP berhasil berada diurutan pertama pada 2014 sekaligus menjadi partai yang mampu mengusung presiden.
Sosok Jokowi merupakan antitesis dari pemimpin indonesia yang pernah ada. Jokowi hadir sebagai bagian dari rakyat yang kemudian di amanahkan menjadi pemimpin. Sebagai seorang yang berasal dari solo tentunya memiliki karakter lembut namun keras dan tegas. Tanpa sadar bahwa hampir 40 % suku jawa mendominasi indonesia, jadi kehadiran Jokowi menjadi representatif suku yang cukup dominan. Hal itu sekaligus digambarkan dengan kesederhaan dan sikap yang tidak biasa dilakukan sebagai seorang pejabat Negara. Salah satu contohnya jokowi maju sebagai dengan tampilan tanpa jas, baju putih dan celana hitam atau sekali-kali di ganti dengan baju kotak-kotak berwarna merah. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan gaya kampany pejabat pada umumnya. “Blusukan” juga menjadi trend dari jokowi, yang biasanya pejabat Negara engan turun kemasyrakat namun jokowi mampu menjadi contoh pejabat yang mampu turun ke masyarakat.
Terlepas dari strategi dan gaya kampanye yang terjadi pada 2014 lalu. Kedepan trend personal branding nampaknya akan turun. Hal tersebut terlihat dengan bagaimana Ahok mampu kalah dengan Anies yang notabennya dikonfensi Parta Demokrat saja tidak menang. Hal ini menjadi anomali pada demokrasi di indonesia, terlepas dari kasus penistaan agama yang menimpa Ahok. Artinya kasus penistaan agama yang terjadi pada Ahok hanya merupakan salah satu konflik yang terjadi dan secara kebetulan bertepatan dengan pemilihan gubernur DKI. Jika kasus penistaan agama menjadi latar belakang mengapa bukan Agus yang masuk keputaran kedua? Mengapa Anies?
Kemenangan Anies-Sandi merupakan kemenangan berjalannya mesin politik secara optimal. Mengapa demikian? Anies dan Sandi hanya aktor yang tampak didepan kamera. Sistem yang berjalan di belakang Anies-Sandi yang patut menjadi perhatian. Jika melihat komposisi partai Gerindra dan PKS merupakan partai oposisi. Partai oposisi sudah pasti lemah dalam sisi logistik kampanye apalagi ditambah berhadapan dengan partai penguasa. Jika dilihat dari keterlibatan media masa yang berpihak sudah pasti kubu Ahok yang unggul, Anies mendapatkan dukungan dari pimpinan partai perindo pada detik terakhir itupun diputaran kedua.
Artinya secara perhitungan diatas kertas Ahok-Djarot unggul di banding Anies-Sandi. Namun ternyata mesin politik yang dimiliki oleh Anies-Sandi lebih solid dan mampu menyelesaikan persaingan pada saat yang tepat. Kekuatan militansi pada pertarungan pilkada DKI kemarin menjadi salah satu faktor yang cukup menentukan. Masing-masing kubu menurunkan semua jaringannya se- indonesia untuk membantu pilkada DKI. Pilkada DKI merupakan parameter yang bisa jadi kedepan akan mampu juga terjadi pada pilres 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H