Pernahkah kita semua perhatikan bahwa TNI memiliki kesolidan tinggi. Para personel TNI sangat kompak bahu-membahu antara satu dengan lainnya. Kesolidan itu ada baik pada personel selevel, maupun antara perwira tinggi dengan perwira di bawahnya, begitu pun sebaliknya. Kesolidan itu pun makin diperkuat lewat perbincangan saya dengan seorang Purnawirawan Brigadir Jenderal.
Beliau mengatakan, "Sikap saling bahu membahu itu datang dari sifat senasib sepenanggungan serta seperjuangan baik di masa damai maupun di masa konflik."
Individualisme para prajurit telah hilang, yang terbentuk adalah kebanggan diri karena telah tergabung dalam suatu kesatuan. Hal itu biasa disebut dengan esprit de corps atau jiwa korsa. Lewat jiwa korsa ini, walaupun seorang perwira telah pensiun, maka ia masih tetap memiliki pengaruh kuat terhadap mantan bawahannya yang masih aktif di militer. Hal ini terjadi di semua jajaran TNI, tak terkecuali di tubuh TNI AD.
Telah kita ketahui bersama bahwa kontestasi pemilu menyebabkan rakyat terbagi antara kubu inkumben dan kubu oposisi. TNI AD sebagai alatnya negara jelas menempati posisi netral di kontestasi ini, karena tentara adalah alatnya negara. Tetapi hal tersebut tak berlaku dengan para Jenderal Purnawirawan. Setelah pensiun, maka seorang tentara memiliki hak dalam menentukan pilihan politik. Ada para Jenderal Purnawirawan yang berdiri di barisan petahana seperti Wiranto, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Moeldoko. Akan tetapi ada pula Jenderal-jenderal Purnawirawan yang berada di barisan oposisi seperti Kivlan Zen dan Soenarko.
Telah saya tekankan sebelumnya bahwa institusi TNI AD berisikan orang-orang yang berjiwa korsa. Mereka memiliki loyalitas yang tinggi pada atasannya, termasuk yang telah menjadi purnawirawan.
Lantas bagaimana TNI AD yang berjiwa korsa ini ketika dihadapkan dengan kasus rencana pembunuhan 4 Jenderal yang melibatkan Kivlan Zen? Sebagai alatnya negara, jelas TNI AD tak akan bergeming. Posisi Kivlan sudah jelas sebagai tersangka percobaan pembunuhan serta makar. Bagaimanapun hukum harus ditegakkan. Terlebih lagi, beberapa target pembunuhan juga merupakan Jenderal Purnawirawan TNI AD.
Tetapi, jiwa korsa TNI AD akan terguncang ketika kita melihat kasus yang terjadi pada Soenarko. Kasus yang menimpanya masih berada dalam ranah yang abu-abu, karena tuduhan makar padanya masih berupa dugaan. Akibatnya, TNI AD yang masih aktif kini tengah meretak. Di satu sisi mereka memiliki jiwa korsa terhadap mantan komandannya dan tentunya tidak akan terima ketika Soenarko diindikasikan menjadi tersangka makar. Di sisi lain mereka adalah alatnya negara, mereka harus tetap netral dan diam selama proses hukum berlangsung.
Belum usai kasus Soenarko yang juga merupakan mantan Danjen Kopassus, muncul lagi kasus yang mampu sebabkan TNI AD berada di ambang perpecahan. Yakni hasil dari investigasi Tempo akan keterlibatan dari Fauka Noor eks Tim Mawar dalam pengerahan massa pada kerusuhan 21-22 Mei 2019. Sebagai informasi, Tim Mawar adalah tim kecil yang berasal dari kesatuan Kopassus Grup IV TNI AD yang ditengarai sebagai dalang dari operasi penculikan aktivis politik pendukung demokrasi pada 1998.
Selain dapat menyebabkan perpecahan TNI AD, kasus ini memunculkan pertanyaan ke benak publik. Pertanyaan pertama adalah, apakah tim Mawar yang muncul di tahun 1998 itu masih aktif hingga saat ini? Jika iya, maka operasi yang diduga melibatkan Fauka Noor tanggal 21-22 Mei adalah operasi instansi Kopassus. Artinya, tuduhan makar pada tim mawar secara otomatis menjadi tuduhan makar pada instansi Kopassus.
Pertanyaan kedua. Apakah tim mawar yang sudah dinonaktifkan di 98, kini diaktifkan kembali di 2019? jika benar, maka siapakah yang melakukan reaktivasi? Apakah instansi Kopassus atau oknum dari Kopassus (termasuk mantan Kopassus)? Jika Kopassus sebagai instansi yang mengatifkannya kembali, maka tuduhan makar pada tim mawar secara otomatis menjadi tuduhan makar pada instansi Kopassus. Akan tetapi jika itu dilakukan oknum kopassus, maka tuduhan makar pada tim mawar bukan berarti instansi kopassus turut terlibat.
Kesimpangsiuran informasi yang beredar di ranah publik ini pulalah yang harus dijawab dengan tegas oleh KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa sebagai pimpinan tertinggi Angkatan Darat yang membawahi seluruh jajaran TNI AD aktif. Pengamat militer Connie Rahakundini Bakri menilai, Jenderal TNI Andika Perkasa harus mampu meluruskan kesimpangsiuran informasi yang mengaitkan tim Mawar dengan Kopassus TNI AD.