People power atau Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat (GNKR) turun ke jalan dalam penyelesaian persengketaan pemilu. Mereka menuduh banyak kecurangan yang terjadi di Pilpres 2019 dan menuntut pendiskualifikasian Paslon Jokowi-Ma'ruf serta menuntut KPU untuk segera melantik Paslon 02 Prabowo-Sandi.
Cara tersebut tidaklah benar karena dapat berujung makar. Makar karena ingin menggulingkan pemerintah yang sah tapi dengan cara yang inkonstitusional. Oleh karena itu HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) melalui HMI Cabang Surabaya sebagai organisasi mahasiswa Islam tertua di Indonesia yang berkomitmen terhadap keummatan dan kebangsaan memandang penting untuk mengambil sikap. Sikap tersebut adalah:
Pertama, KPU harus memberikan klarifikasi terhadap tuduhan kecurangan pemilu secara terbuka pada publik. Tuduhan yang dilayangkan simpatisan 02 harus secara resmi diklarifikasi KPU agar masyarakat tidak lagi bertanya-tanya akan isu delegitimasi KPU yang dilemparkan kubu 02.
Kedua, KPU dan Bawaslu harus berikan pernyataan terbuka mengenai penyebab banyaknya korban jiwa petugas pemilu untuk menghindari stigma negatif.
Ketiga, HMI menolak people power yang mendelegitimasi hasil pemilu dan berupaya memecah belah bangsa.
Keempat, HMI mendukung people power dalam mengevaluasi proses pemilu sebagai wujud kehidupan yang demokratis.
Artinya, sebagai warga negara yang memiliki kedewasaan demokrasi, maka sudah sepantasnya kita menyelesaikan persengketaan pemilu dengan people power. Akan tetapi people power di sini adalah people power yang sesuai koridor. People power yang menuntut untuk mengevaluasi kinerja KPU. People power yang inginkan klarifikasi ke KPU akan tuduhan kecurangan beserta klarifikasi penyebab banyak jatuh pahlawan demokrasi.
People power yang dijalankan seharusnya bukanlah people power makar yang berusaha untuk mendelegitimasi hasil dari KPU. Karena itu hanya akan menyebabkan bangsa terpecah belah. People power yang sebaiknya dijalankan adalah people power positif dengan aksi damai menuntut evaluasi kinerja KPU.
Massa aksi, tetap turun ke jalan pada tanggal 21 dan 22 Mei. Â Mereka melakukannya dengan aksi unjuk rasa yang damai. Akan tetapi, aksi damai tersebut berujung bentrok dan kerusuhan karena ada pihak yang menyusupi massa aksi damai seperti yang terjadi saat demo di Bawaslu. Selepas berbuka puasa hari itu kita dapat lihat sendiri di layar televisi bahwa koordinator massa aksi damai merasa kaget ketika ada upaya provokasi yang terjadi. Sebagian massa aksi damai pun meminta massa menenangkan diri karena bukan kerusuhan lah tujuan dari aksi mereka tersebut. Disinyalir biang kerusuhan itu adalah massa perusuh yang berbeda dengan massa aksi damai. Hingga saat ini, pihak ketiga yang menyusupi massa aksi damai tersebut belum diketahui siapa. Akibatnya terjadilah kerusuhan dan korban jatuh dari berbagai pihak, semua akibat massa perusuh yang tidak inginkan aksi damai. Apabila kita melihat agenda massa aksi damai, maka bisa dipastikan massa yang memulai kerusuhan di daerah Petamburan, Slipi, maupun Tanah Abang bukanlah massa aksi damai tanggal 21-22. Kerusuhan di beberapa titik di Jakarta justru didalangi pihak ketiga yang kita sebut saja dengan massa perusuh.
Kerusuhan sudahlah terjadi. Kerusuhan yang didalangi massa perusuh yang inginkan bentrok antara massa aksi damai dengan TNI-Polri. Kita mungkin hanya bisa mengambil hikmahnya. Pecahnya keributan justru sedikit banyak berhasil membentuk kesadaran mengenai pentingnya perdamaian dan menjaga kedamaian. Mungkin saja, tanpa ada keributan dan bentrok fisik seperti yang terjadi saat kerusuhan 22 Mei, masyarakat Indonesia yang telah terpolarisasi ekstrim akibat kompetisi politik, akan melupakan makna dari perdamaian. Ironinya, sejarah membuktikan dorongan dasar manusia menggerakkan perdamaian, justru harus selalu menunggu jatuh korban. 'Perang' kecil-kecilan yang menimbulkan korban tanggal 22 Mei justru mengaktifkan kembali kesadaran Indonesia pada perdamaian. Bukan lagi tentang 01 dan 02.
Sumber: