SE Kemenkes memang telah menurunkan biaya rapid test di sejumlah tempat seperti di bandara, namun beberapa rumah sakit masih menerapkan tarif test yang tinggi. Wajar kiranya Ombudsman menilai rapid test rentan dijadikan lahan bisnis segelintir oknum untuk mengeruk keuntungan di tengah pandemi.
Sumber : Kompas [Ombudsman Jateng Ungkap Rapid Test Jadi Lahan Bisnis Segelintir Oknum]
Apabila di sejumlah tempat transportasi seperti bandara mampu menurunkan tarif rapid testnya, mengapa pihak rumah sakit justru merasa keberatan dengan penetapan tarif rapid test?
Bahkan di Bandara Internasional Soekarno -- Hatta, pemeriksaan rapid test bisa ditekan hingga menjadi 145 ribu rupiah per penumpang. Padahal tarif sebelumnya mencapai 225 ribu rupiah.
Apabila pihak bandara sendiri mampu menekan harga rapid test hingga dibawah harga yang ditetapkan Kemenkes, mengapa rumah sakit tidak dapat melakukannya? Apakah karena sudah kepalang tanggung melakukan Kerjasama dengan pihak penjual rapid test? Bukankan mereka seharusnya telah mengetahui tidak ada perbedaan dari rapid test? Berapapun harganya, rapid test tidak akan bisa menentukan seseorang positif corona atau tidak.
Sumber : Tempo [Tarif Rapid Test di Bandara Soekarno-Hatta Turun Jadi Rp 145 Ribu]
Kita semua bisa menduga tujuan menerapkan rapid test yang mahal adalah demi kepentingan komersialisasi. Lagipula seharusnya nanti tarif pemeriksaan rapid test bisa ditekan lebih jauh lagi lewat Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), lembaga yang berada di bawah naungan Menristek. BPPT telah mengembangkan alat rapid test bernama Ri-Gha COVID-19 dengan harga 75 ribu rupiah.
Sehingga apabila pihak rumah sakit masih saja menerapkan biaya rapid test di atas harga yang telah ditetapkan Kemenkes, makan jangan salahkan makin banyak pasien yang menilai pandemi corona hanya sebagai proyek yang memperkaya dokter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H