Tengok saja pada bulan Maret 2020, awal masuknya corona ke Indonesia. Presiden Jokowi menginginkan Rapid Test massal segera dilakukan guna mengetahui secara cepat penyebaran corona. Namun Terawan tidak menganjurkan penggunaan Rapid Test. Sebab, rapid test bukanlah standar WHO. Metode Rapid Test tidak akan bisa mendeteksi apakah seseorang positif corona atau tidak. Dikarenakan alat itu bukan standar WHO, maka tak ada satupun rumah sakit di Indonesia yang memiliki stok Rapid Test. Indonesia harus melakukan impor untuk pengadaannya.
Sumber : Bisnis [Jokowi Minta Rapid Test, Menkes Terawan Sebut Bukan Standar WHO]
Saat wacana pengadaan Rapid Test itu pula mulai muncul tekanan dari Kementerian BUMN yang dipimpin Erick Thohir. Ternyata Menteri Erick telah memesan alat rapid test dari China melaui PT Rajawali Nusantara Indonesia. Namun masih terganjal izin dari Menkes Terawan.
Akibat tekanan politik seperti itu, mau tak mau akhirnya Menkes menyetujui pengadaan Rapid Test yang kini tidak memberi pengaruh apa-apa. Hanya menambah jumlah ODP dan PDP yang mengantri hasil tes PCR hingga sebulan lamanya. Selama menunggu itu pula keluar biaya perawatan yang tidak sedikit dan membuka celah bagi korupsi pengadaan alkes.
Sumber : Tribunnews Kaltim [Menkes Terawan Tak Kunjung Izinkan Jajaran Erick Thohir Beli Rapid Test Canggih dari China, Ada Apa?]
Gangguan terhadap Kemenkes juga datang dari Kemenperin terkait pelaksanaan PSBB yang telah dirumuskan sedemikian rupa oleh Terawan melalui Permenkes Nomor 9 Tahun 2020. PSBB yang seharusnya dapat menjadi kunci bagi Indonesia dalam memutus rantai penyebaran corona dicari celahnya oleh Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
Akibatnya 200 perusaahaan besar yang rata-rata industri manufaktur masih saja beroperasi di tengah PSBB Jakarta. Padahal ke-200 perusahaan tersebut termasuk ke dalam perusahaan yang harus tutup selama PSBB berlangsung.
Sumber : Kompas [Izinkan Industri Beroperasi Saat PSBB, Menperin: Kami Sudah Koordinasi dengan Gubernur DKI...]
Gangguan PSBB tak hanya sampai di situ. Kemenhub juga turut andil 'melonggarkan' PSBB dengan diterbitkannya Permenhub Nomor 12 Tahun 2020 yang dikeluarkan Menhub Ad Interim Luhut Binsar Pandjaitan. Lewat Permenhub itu, ojek online boleh mengangkut penumpang. Padahal dalam Permenkes, ojol hanya boleh mengangkut barang.
Sumber : Kompas [Polemik Permenhub 18, Dinilai Bertentangan dengan Permenkes hingga Menyesatkan]
Tak hanya kepentingan politik Menteri lainnya yang menjadi gangguan kinerja Menkes. Ternyata pihak rumah sakit pun berpolitik dengan menolak pasien Covid-19 dengan alasan rumah sakitnya akan diajuhi pasien. Pembeberan ini sempat viral lewat perbincangan Deddy Corbuzier dengan Jubir Covid-19 Achmad Yurianto. Menurut Yuri, kesehatan telah menjadi ladang bisnis, terutama bagi rumah sakit yang takut kehilangan pasien. Itulah mengapa pemerintah enggan menyebutkan nama-nama rumah sakit yang menjadi rujukan Covid-19 di luar rumah sakit yang menjadi rujukan pemerintah.