Dengan kata lain, apabila penyebaran Covid-19 masih tinggi, atau banyak dari calon jemaah haji telah terpapar Covid-19 maka kemungkinan besar ibadah haji tahun ini akan ditiadakan. Pemerintah Indonesia harus bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan terburuk apabila Pemerintah Saudi memutuskan untuk meniadakan Ibadah Haji tahun ini. Termasuk mengembalikan dana haji ke jemaah.
Sejak 3 April 2020, sebanyak 114.377 jemaah haji regular dan 12.368 jemaah haji khusus telah melunasi Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH). Ada 5 provinsi dengan jumlah jemaah terbanyak yang telah melunasi BPIH, yakni Jawa Barat (24.977 jemaah), Jawa Timur (19.074 jemaah), Jawa Tengah (16.469 jemaah), Banten (6.306 jemaah), dan DKI Jakarta (4.429 jemaah).
Sumber : Detik [114.377 Jemaah Reguler dan 12.368 Jemaah Khusus Lunasi Biaya Haji 2020]
Pada 27 Maret 2020, Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan apabila ternyata haji tahun ini dibatalkan, maka dana yang disetorkan saat pelunasan akan dikembalikan. Namun ada baiknya penanganan oleh pemerintah tidak hanya cukup sampai di situ.
Staf Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Rio Priyambodo menyarankan agar pemerintah pro aktif mengkomunikasikan persoalan haji tahun ini. Apabila pada akhirnya terjadi pembatalan haji maka pemerintah sebaiknya menghindari pemotongan dalam pengembalian dana haji jemaah. Jangan sampai jemaah terkena masalah dua kali.
Sumber : BBC [Virus corona: Pelaksanaan haji 2020 terancam batal, calon jemaah, 'kalau tahun depan, apa masih ada umur?']
Akan tetapi akan ada persoalan yang terjadi ketika dilakukan penarikan besar-besaran dana haji oleh jemaah haji. Secara logika, bank sangat khawatir ketika nasabah menarik uangnya secara besar-besaran alias Rush. Sebab dana tersebut digunakan bank untuk mencairkan kredit. Selisih dari bunga yang diperoleh Bank dari Kredit (menggunakan dana nasabah) dan bunga yang diberikan ke nasabah (dalam bunga tabungan), menjadi 'keuntungan' bank. Tentu apabila terjadi rush besar-besaran dapat menyebabkan bank tidak mendapatkan keuntungan atau bahkan tidak dapat memberikan kredit. Ekonomi pun tak berputar.
Begitu pula dengan Industri Haji. Uang dari jemaah diletakkan sebagian ke Arab Saudi sedangkan sebagian lagi diputar dalam bentuk saham dan lainnya oleh penyedia dana haji. Contohnya dapat kita lihat dalam kasus First Travel.
Coba saja kita semua bayangkan. Ada berapa banyak jemaah haji Indonesia tiap tahunnya apabila dikalikan dengan 20-80 juta rupiah (biaya haji di Indonesia)? Itu baru dana dasar, belum proyeksi 'laba' penyedia jasa haji yang hilang dari market.
Musim haji terjadi setelah Hari Raya Idul Fitri. Saat Idul Fitri banyak TKI yang mudik dan otomatis menyebabkan pembelian rupiah dari luar negeri meningkat dan menguatkan nilai rupiah. Sebelum Idul Fitri pula jemaah haji melakukan pembayaran atau pelunasan biaya haji. Dalam kondisi ini, penyedia jasa haji biasanya melakukan Hedging nilai tukar rupiah.
Apabila kita mengasumsikan nilai tukar rupiah terhadap dollar pada April 2020 sebesar Rp. 15.000, Idul Fitri / Mei 2020 sebesar Rp 13.000, dan jelang Idul Adha / Juli 2020 sebesar Rp 14.000.Â