Pada awalnya, yakni 2 Maret 2020 kasus Covid-19 di tanah air hanya mengenai dua orang. Kini, 1 April 2020, penyebaran virus meningkat tajam menjadi 1677 kasus. 103 orang dinyatakan sembuh, namun 157 orang telah meninggal dunia.
Penyebaran virus susah untuk dikendalikan. Apalagi masih banyak orang yang membandel dan tak memperdulikan arahan pemerintah untuk menerapkan Physical Distancing. Atas dasar itulah, pada 30 Maret 2020, Presiden Joko Widodo menyatakan akan memberlakukan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSSB). Lewat video conference dari Istana Bogor, Jokowi mengatakan apabila PSSB gagal memutus penyebaran virus corona, maka ia akan mengaktifkan darurat sipil.
Sumber : Â Kompas [Jadi Opsi Terakhir, Ini Penjelasan Darurat Sipil dalam Konteks Bencana]
Memang darurat sipil menjadi opsi terakhir dalam penanganan Covid-19. Akan tetapi, seandainya skenario terburuk terjadi maka mau tidak mau RI akan tetap memberlakukan situasi Darurat Sipil.
Ketentuan mengenai Darurat Sipil sendiri tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Keadaan Bahaya itu memiliki tiga tingkatan, mulai dari Darurat Sipil, Darurat Militer, hingga Darurat Perang.
Menurut Pasal 3 Ayat 2 Perppu tersebut, diaturlah susunan kabinet dalam keadaan darurat. Presiden akan dibantu oleh :
- Menteri Pertama;
- Menteri Keamanan/Pertahanan;
- Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah;
- Menteri Luar Negeri;
- Kepala Staf Angkatan Darat;
- Kepala Staf Angkatan Laut;
- Kepala Staf Angkatan Udara;
- Kepala Kepolisian Negara.
Kita dapat melihat bersama susunan kabinet saat Keadaan Darurat terdiri atas 3 pihak dari fungsi sipil (Menteri Pertama, Mendagri, Menlu) dan 5 pihak dari fungsi militer (Menhan, KSAD, KSAL, KSAU, dan Kapolri). Sebagai informasi, Menhan masuk ke dalam fungsi militer karena pada era itu jabatan Menhan diisi oleh Pangab (Panglima Angkatan Bersenjata/Panglima TNI). Menhan yang merangkap Pangab, membawahi seluruh intelijen, dan 3 posisi Kepala Staf TNI.
Protokol Keadaan Darurat yang diterbitkan oleh Presiden Soekarno pada Tahun 1959 itu didominasi oleh militer. Namun hal tersebut wajar karena Indonesia era 1955-1959 dihadapi berbagai gelombang pemberontakan seperti DI/TII, PRRI/Permesta, dan RMS. Oleh karena itu, keadaan darurat yang tercantum dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959 lebih tepat dikatakan untuk Darurat Militer ketimbang Darurat Sipil. Selain itu, Perppu tersebut tidak membedakan secara gamblang antara Darurat Sipil dengan Darurat Militer.
Padahal apabila pemerintah ingin menerapkan Darurat Sipil dalam konsep negara modern, maka porsi fungsi sipil haruslah mendominasi atau lebih banyak dari fungsi militer. Wujudnya dalam bentuk koordinasi antara fungsi sipil dengan fungsi aparat. Yakni Kemenlu berkoordinasi dengan badan intelijen, Kemendagri berkoordinasi dengan Kepolisian, dan Kemenhan berkoordinasi dengan pihak militer.
Sehingga susunan kabinet yang ideal dalam darurat sipil adalah :
- Presiden
- Menlu
- Mendagri
- Menhan
- Kepala Intelijen (BIN)
- Kepala Kepolisian (Kapolri)
- Militer (Panglima TNI)