Mohon tunggu...
neena hadisiswanto
neena hadisiswanto Mohon Tunggu... wiraswasta -

perempuan biasa. menyukai perjalanan menembus batas. mengabadikannya dalam bingkaian tulisan, photo dan mengasahnya dengan membaca beberapa buku

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jejak Tak Bernisan (Kumpulan Catatan dan Memoar Seniman Kampus) I

8 Januari 2011   00:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:51 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Prolog

Langit Sore itu begitu cerah, mega mega kembali berarak untuk mengiring sang mentari. Singgasana awan terlihat begitu nyata dan indah di ketinggian ribuan kilometer di angkasa raya.Dengan sedikit gelisah menahan lelah, sesekali Alinne melihat jam tangan yang melingkar indah di pergelangan tangan kanannya. Tepat jam 16.00 WIB. Waktu yang sangat tepat untuk kembali menyapa kota ini yang sudah hampir tiga bulan ditinggalkannya.

Setelah menunggu beberapa saat akhirnya pesawat yang telah membawanya dari ujung timur Indonesia, mendarat kembali di Yogyakarta. Tak ada saat yang paling membahagiakan Alinne selain saat ini, karena secepat mungkin dia akan menikmati malam di Yogya sambil menuntaskan membaca satu catatan lama yang telah teronggok cukup lama dalam tasnya.

Secepatnya Alinne menyelesaikan urusan pengambilan bagasi lalu menuju pelataran bandara untuk mencari taksi. 15 menit kemudian, segera Alinne meluncur ke Rumah Palagan, tempat singgah Alinne selama di yogya.

Huh! Sampai juga akhirnya di kota ini” gerutu Alinne. Sejenak melepas lelah. Mengamati kamar yang memberikan nuansa tradisional dan minimalis. Membuat Alinne segera membersihkan diri dan memesan satu cangkir kopi. Malam ini Alinne memutuskan untuk begadang dan menuntaskan mengurai catatan yang sudah lama terserak dan akhirnya terkumpul kembali.

Bintang gemintang dengan senyum cerah menghias langit malam, menawarkan gemerlap dan seolah mengajak setiap insan untuk berpesta dan menikmati malam ini dengan caranya sendiri. Alinne tahu, Yogya tak pernah mati dan hiruk pikuk kota ini akan semakin ramai jika malam semakin menjelang, untuk sekarang Alinne hanya ingin menghabiskan waktu dengan menikmatinya sendirian, karena tak ada seorangpun yang tahu bahwa Alinne ada di kota ini, dan memang tak perlu ada yang tahu.

Alinne memutuskan untuk menikmati malam itu di salah satu sudut kamarnya yang menghadap ke taman, suasana itu akan memudahkan Alinne untuk menyesap setiap kenangan. Satu alunan musik yang cukup bagus, campuran melodi jawa, hip hop dan rap menghentak memecah kesunyian malam. Ya. Malam ini Alinne memilih lagu Jogja Istimewa untuk menuntaskan hasrat kekangenannya akan seseorang bersama dengan jejak langkahnya.

Lagu itu kembali membawa kembara pikiran Alinne pada beberapa tahun silam, saat masih menikmati indahnya menjadi mahasiswa di salah satu kampus di Bogor. Hiruk pikuk malam yang tak pernah membuat Alinne sepi. Teriakan teriakan dan celoteh yang mengiringi setiap langkah dan jejak untuk menciptakan dan menghidupkan sebuah kreasi dan berkreasi di kampus yang tak ada kesenian. Daya cipta yang mati bahkan tak ada jejaknya sama sekali.

Bagaikan babat alas atau membuka hutan. Berjibaku dengan waktu, bercengkerama dengan sistem yang tak berpihak pada seniman kampus, pada situasi yang menganaktirikan kreasi sebuah anak bangsa, hidup dalam sebuah isolasi daya cipta karena bertentangan dengan norma-norma yang saat itu begitu dijunjung tinggi sebagian mahasiswa, dan menganggap bahwa seni itu haram, najis dan tak pantas masuk dalam kampus agamis itu.

Ah..., memori itu kembali menguak dalam pikiran Alinne. Satu persatu bayangan gerakan bawah tanah seni kampus menyeruak dalam pikiran Alinne, dan ada satu sosok yang sampai dengan saat ini bercokol dalam pikiran Alinne.

Luki, katakanlah Sang Maestro. Meskipun tak pernah mau disebut maestro tapi Luki adalah sosok yang mampu mendobrak sistem dan aturan yang ada, meskipun harus sering adu mulut bahkan hampir adu jotos, menggalang kekuatan yang tak seberapa hanya untuk menuntut sebuah kejelasan tentang aturan-aturan baru, dengan mata nyalang berani menghantam setiap hal yang akan mengusik keasyikannya bercumbu dengan seni, dan menafikan bahwa sebenarnya dia juga dikejar oleh waktu untuk segera hengkang dari kampus itu.

Luki, yang bagi Alinne adalah orang yang tak berpakem dan berani menjadi diri sendiri di tengah situasi yang menye menye. Luki yang telah menanamkan sebuah pendirian pada Alinne untuk tidak pernah menyerah pada kondisi. Luki, yang juga telah memperkenalkan pada Alinne tentang arti sebuah dedikasi, pengorbanan, dan persabahabatan. Toh, hingga detik ini, Alinne tak pernah tahu keberadaan Luki. Alinne belum menyapanya kembali sejak terkahir kali mereka bertemu. Dan Alinne yakin, akan bertemu dengan Luki kembali, suatu saat dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda.

Catatan itu, perlahan Alinne mengeluarkan catatan itu. Catatan yang telah lusuh dan hampir-hampir tak bisa dibaca, catatan yang dengan susah payah Alinne dapatkan dari Sekar. Catatan yang ingin Alinne baca, catatan tentang perjalanan seniman kampus yang tak pernah meninggalkan jejak pasti. Catatan awal yang tak pernah ada nisan.

Perlahan Alinne mulai membuka dan membacanya,

I.Dentingan ASIK dalam belantara Rimbawan

Perjalanan. Tak pernah ada yang tahu kemana perjalanan ini akan membawa, kemana langkah kaki akan mengurai cerita. Satu kampus yang tampak begitu berbeda, begitu segar, asri dan ada kedamaian di dalamnya. Aura kesejukan telah terpancar dalam rimbunnya belantara Arboretum yang merupakan kebanggaan Fakultas Kehutanan.

Namun juga menimbulkan serangkaian kata seram. Seram bukan pada suasananya, melainkan seram dengan mahasiswa seniornya yang terkenal garang dan gahar, dengan dandanan ala Indiana Jones, seolah menjadi penguasa tunggal dalam ranah mahasiswa.

Fakultas yang memiliki sebuah slogan ASIK yang merupakan kepanjangan dari Agamis, Sportif, Intelek dan Kreatif, yang selalu menggema dan akan senantiasa menggema saat perhelatan OSPEK/MABA di tahun ajaran baru. Slogan yang tak pernah tahu asal usulnya, slogan yang kerap harus diteriakkan ketika berpapasan dengan senior, dan slogan yang telah menggema dan mendenting bahkan terpatri dalam setiap hentakan langkah sang rimbawan muda. Slogan yang tak pernah kita kritisi darimana asal usulnya?! Dan sejak kapan digunakan?! Semua hanya peduli dengan kata ASIK tanpa berani mempertanyakan keberadaan awalnya.

Slogan yang terasa menggelikan dan slogan yang telah membuatku tergelitik dan tertantang untuk membedahnya dan mencari akar muasalnya. Slogan yang bagiku hanya sekedar slogan. Biarkan ASIK tetap menjadi ASIK (sebuah slogan) yang tak perlu diakronimkan ataupun menjadi akronim. Tidak!! Sungguh, tidak perlu itu!!, karena aku tidak ingin ada pengakroniman ASIK menjadi Agamis, Sportif, Intelek dan Kreatif, karena aku lebih suka ASIK berdiri sendiri, toh meskipun tanpa ada pengakroniman bukan berarti aku tidak agamis, tidak sportif, tidak intelek, dan tidak kreatif, bukan?! Buktinya aku tetap kreatif dan mampu berkarya.

ASIK, dengan sendirinya akan mengejawantah pada diri kita tanpa harus ada pengakroniman, karena itu adalah sebuah kebanggaan dan identitas sebagai salahsatuorganisme kampus yang memerlukan sebuah simbol dan pemaknaan.

Namun, bagiku sendiri, ASIK terasa sangat memuakkan dan hanya sebuah euforia sesaat yang muncul saat penerimaan mahasiswa baru di kampus, slogan yang hanya diikuti oleh mahasiswa baru saat seniornya meneriakkan ASIK yang harus di jawab dengan kata yang sama.

Seandainya diberikan sebuah angket, dan ditanya apakah mereka memahami makna ASIK?! . Tidak!. Saya kira tidak! Hanya segelintir orang yang memahaminya, karena hingga detik ini, saya pun masih belum memahami bahkan mengerti makna dari ASIK

itu sendiri. Pertanyaan lanjutan yang perlu diajukan adalah ASIK itu apa, seperti apa dan bagaimana?! Karena itu masih merupakan misteri bagi diriku sendiri.

Toh, menurutku yang ASIK adalah menyaksikan semua elemen - elemen birokrat dan mahasiswa kampus yang saling menjaga wibawa, menjaga citra diri hingga tanpa menyadari bahwa sesungguhnya itu adalah sumber perpecahan.

ASIK menyaksikan kampus yang terasa mencekam dan seram dibandingkan kuburan karena matinya rasa kreasi dan daya cipta yang telah terkebiri dengan begitu rupa. ASIK melihat budaya latah di kampus Fakultas kehutanan, budaya yang terasa telah menjadi sebuah ritual yang membosankan, seperti Rabuan, Bajiguran, dan pemanenan. Terasa bagai sebuah upacara formal yang telah kehilangan maknanya. ASIK yang hanya sebuah slogan yang menyerukan kekompakan dan sinergitas yang justru malah mengkerdilkan diri sendiri, yang telah dibutakan oleh slogan ASIK tanpa memandang realita dan berjibaku dengan waktu.

Saya, dalam ranah ini bukan siapa siapa, hanya seorang pengamat amatiran yang sekedar ingin beropini atau mungkin juga saya tak akan mencari sesuap nasi dari dentingan ASIK di belantara rimbawan. Dan satu pertanyaan yang hingga ini masih hinggap dalam hatiku : Mungkinkah ASIK hanya sekedar atau menjadi retorika kosong nan indah yang tiada pernah digugat?! Jika memang seperti itu, kenapa engkau ciptakan slogan ASIK yang kosong?! Adakah yang bersedia memberikan sebuah jawaban untukku?!

ASIK, juga telah merasuk dalam setiap langkah seluruh mahasiswa Fahutan, terlebih saat masa orientasi siswa baru yang terkadang menciptakan sebuah retorika dan duka diantara junior, luka yang menghinggapi panitia dan tawa manis senior yang menyaksikan masa masa pembantaian dan demi teriakan ASIK.

Bagiku, masa orientasi mahasiswa baru adalah sebuah langkah yang membosankan karena hanya menjadi sebuah rutinitas yang bernafas, dan teriakan ASIK kembali menggema di seantero kampus.

Seolah hukum wajib yang harus diikuti dan dilaksanakan bagi mahasiswa baru dan tidak ada kata tidak! Tidak ada perlawanan untuk tidak melaksanakan. Orientasi dan ASIK itu bagai sebuah tiket untuk menjadi keluarga besar Rimbawan IPB, dan akan merasa menjadi bodoh dan tak dianggap jika tidak mengikutinya. Ironis memang.

Ah...orientasi itu yang dimaksudkan untuk mengejawantahkan ASIK, membuat beberapa civitas akademika yang bernaung di bawah Fahutan menjadi kreatif. Masing masing memiliki cara sendiri untuk memberikan kesan yang ASIK bagi calon juniornya, seperti KSH dengan Gebyar KSH. THH dengan Kompak, dan MNH dengan Team Manager. Masa-masa itu adalah masa-masa yang sungguh mengasyikkan namun

juga menggetarkan hatikarena disana yang berlaku adalah hukum yang tidak tertulis dan bagai hukum karma yang turun temurun diwariskan.

Sebuah orientasi yang rawan menimbulkan perploncoan, balas dendam dan kekerasan. Segala macam keanehan bisa terjadi disana mulai tugas yang mendadak diberikan oleh senior tanpa ada kata tidak, makian dan bentakan kadang kerap muncul atau sekedar dimunculkan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.

Permasalahan-permasalahan lain yang bisa timbul adalah terkebirinya kebebasan berbicara dan berpendapat junior karena (mungkin) pada saat itu terdapat perbedaan kelas yang begitu terlihat antara senior dan junior yang tak layak untuk dibicarakan dan dibahas lebih lanjut, karena adanya sebuah pakem senior akan tetap menjadi senior.

Masa masa orientasi mahasiswa baru terkadang juga telah menimbulkan sebuah dilema karena adanya tarik menarik serta penyelewengan makna perkenalan jurusan untuk mahasiswa baru. Pembredelan sebuah acara untuk angkatan baru, yang terkadang berubah menjadi petaka juga kadang telah menyeret pihak pihak yang lebih berwenang karena memang panitia tak mampu untuk mengatasinya lagi.

Bagiku, suasana itu menjadi sesuatu yang menarik, karena acara yang kerap dilaksanakan bahkan terus berlangsung hingga sekarang ternyata mampu menciptakan sebuah lingkaran yang aneh antara dosen, mahasiswa baru dan lama serta panitia penyelenggara yang juga dosen.

Semoga, untuk kedepannya, Orientasi Mahasiswa baru jurusan mampu berkorelasi dan berkolaborasi dengan semua elemen bahkan kalau perlu sampai larut membahas design yang bagus untuk kemajuan bersama, serta mampu menimalkan isak tangis dan kesedihan panitia, serta pemaknaan senioritas bisa berjalan dengan sehat sehingga ASIK bisa mengejawantah lebih dalam ke dalam sanubari calon Rimbawan.

vSejenak Alinne menghentikan membaca catatan itu, bagi Alinne itu sebuah awal yang menggugah untuk menggugat dan mencari pemaknaan jati diri, kenapa harus memilih sesuatu dengan tepat, alasan alasan memilihnya serta konsekuensi untuk tidak mengikuti aturan yang ada. Tambahan kopi adalah ide menarik sebagai penawar lelah kembali meneruskan membuka lembaran demi lembaran catatan itu,

II.Cita – Citaku : Pembantu Dekan III, Kamu?!

Konyol!. Itu yang sebagian orang akan katakan, apalagi saat memiliki usia seperti saya ini yang mungkin sudah kadaluwarsa. Kalau masih kecil mungkin masih masuk akal punya cita – cita. Lha, saya sudah kuliah dengan jurusan yang pasti, malah baru punya cita-cita, konyol bukan?!

Ah...siapa peduli, yang jelas aku punya cita cita untuk menjadi Pembantu Dekan III, karena :

1.Dengan menjadi Pembantu Dekan 3, secara tidak langsung saya juga akan memahami masalah-masalah yang berkaitan dengan kemahasiswaan, hanya urusan yang berhubungan dengan mahasiswa bukan masalah akademis, perlengkapan dan hubungan kerja sama international. Urusan saya hanya mahasiswa. Titik! Tak bisa ditawar lagi.

2.Dengan menjadi Pembantu Dekan 3, saya akan dengan amat sangat berusaha, menjadi dan menjadi dekat dengan mahasiswa bahkan jika memungkinkan saya akan mencari teman baik, teman cerita, mencari informasi tentang mahasiswa dan permasalahannya.

3.Dengan mejadi Pembantu Dekan 3, saya akan menggali potensi dan permasalahan mahasiswa yang penuh dengan pesona, hiruk pikuk dan keceriaan, tanpa mengurangi wibawa saya di depan mereka, caranya :

a.Saya akan mencoba menjadi teman ngobrol atau curhat secara langsung ketika mahasiswa mengadakan acara, atau minimal satu bulan sekali saya akan mengadakan diskusi terbuka dengan seluruh elemen mahasiswa tanpa memilih dari kelompok mana dan golongan mana, semua harus melebur menjadi satu dan bersama menjiwai jiwa mereka dan mimpi mimpi mereka yang masih terbang di angkasa.

b.Saya akan mendorong mahasiswa untuk berkreasi seluas-luasnya tanpa batasan yang kaku untuk menghidupkan suasana kampus yang mati suri dengan berbagai event yang membangun dan mendidik, kegiatan yang mampu menciptakan dan mendorong daya imajinasi dan kreasi mereka.

Jujur! Saya akan memberikan dukungan semaksimal mungkin termasuk dalam hal pembiayaan, karena saya menyadari dunia mahasiswa yang penuh warna dan dinamis perlu dikembangkan maksimal, dan mengabaikan aturan dan batasan yang membuat langkah - langkah mereka terhenti.

c.Perlu di garis bawahi :saya bukan orang yang suka duduk manis dan menunggu bola datang. Tidak!!! Saya justru yang akan menjemput bola, berdialog setiap hari dengan mahasiswa beserta seluruh komponen dan elemennya, karena saya sepenuhnya sadar

bahwa bersama dengan mereka saya bersenyawa, hidup dan dengan jujur akan saya katakan bahwa saya adalah BAPAKdan TEMAN mereka bukan atasan mereka.

d.Saya akan melepaskan ke-akuan, kekakuan, kebencian, pembelengguan berpikir tetapi tetap saya harus mampu menjaga wibawa dengan sewajarnya, tidak perlu berlebih atau menjadi tinggi hati, bila perlu meraka tak perlu memanggil saya dengan sebutan bapak namun mas atau kang, rasanya saya lebih muda dan menjadi lebih dekat dengan mereka.

e.Saya akan menumbuhkembangkan kreatifitas sesuai dengan nama fakultasnya misalnya sastra, maka saya harus menanamkan, menciptakan atau mendorong kegiatan - kegiatanyang akan menumbuhkan jiwa kecintaannya pada sastra.

f.Saya sangat rela dan ikhlas mengeluarkan dan memberi bantuan baik berupa tenaga, pikiran bahkan dana yang berasal dari kocek sendiri. Bila perlu, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan bagi mahasiswa maupun iklim pergerakan atau kegiatan – kegiatan yang saya rancang sendiri, sekali lagi, saya akan merasa hidup dan tidak akan merasa kecewa. Bagi saya itu semua adalah proses pendewasaan dan pembelajaran diri untuk menjadi kreatif.

g.Saya akan berusaha semaksimal mungkin agar mahasiswa yang menghadap tidak selalu dikantor saya atau saya akan jadwalkan pada jam atau hari tertentu untuk berkunjung sebagai seorang teman ke base camp aktivis atau kelompok-kelompok tertentu yang berpengaruh untuk bertukar pikiran dalam kerangka memajukan kehidupan kampus. Dengan sebuah benang merah tegas, saya tidak akan mengintervensi mereka, namun bertukar pikiran secara bebas, merdeka, terbuka dengan meminimalkan pandangan mereka kepada saya bahwa saya seorang birokrat kampus yang gila hormat atau membuat mereka segan apalagi membenci saya.

h.Apabila ada masalah besar maka saya akan mengundang pihak-pihak yang bertikai secepat mungkin dan mencari upaya penyelesaian yang seadil – adilnya karena apabila ini dibiarkan berlarut-larut maka ini akan sangat membahayakan stabilitas kehidupan kampus. Kalau perlu, masalah – masalah itu diselesaikan di kalangan internal saja sebab jika sudah merembet keluar , itu adalah aib bagi saya. Dan mereka tidak lagi menganggap saya sebagai bapak yang baik.

i.Saya menyadari sepenuhnya arti penting jaringan dan persahabatan sehingga untuk lebih menggaungkan kapabilitas mahasiswa di kampus, saya tidak akan memberikan sekat dan memilah- milah. Saya akan membebaskan mahasiswa saya bergaul dengan siapa saja dengan fakultas apa saja dari seantero perguruan tinggi di Indonesia. Disini saya akan menerapkan prinsip Tutwuri Handayani dan bukan hanya sekedar omong kosong melainkan dengan sebuah aksi nyata kepada seluruh pihak baik itu

BEM/DPM/Himpro/UK yang ada/kelompok – kelompok kreatif/individu, pokoknya semua elemen Kampus untuk mulai bergerak mencapai mimpi bersama.

j.Saya menerima kritik dan saran yang membangun dengan jiwa bersih, pikiran dingin dan hati yang lapang apalagi untuk mencari fakta dari masalah kekerasan yang besar, saya lebih memilih untuk mencari bantuan dari rekan saya tetapi apabila ini terjadi, bagi saya ini adalah aib besar karena saya relatif gagal menjalankan tugas saya sebagai bapak.

k.Di dalam kepala,saya selalu berprinsip : Dosen adalah pekerjaan sambilan, sedangkan tugas inti saya adalah Pembantu Dekan 3 sehingga jelas yang dituntut adalah pengabdian yang tulus kepada dunia kemahasiswaan karena saya amat menyadari benar bahwa dunia Pembantu Dekan 3 adalah dunia anak muda, bukan dunia proyek apalagi dunia cari untung dalam setiap kesempatan maupun kesempitan.

Maafkan jika saya lancang menulis hal ini, dan jika ada yang merasa tertohok dengan opini saya. Semua yang saya tulis tersebut bukan sekedar teori atau referensi dari pihak tertentu melainkan cerminan terhadap langkah - langkah yang pernah saya jalani.

Dan Jujur! Saya sudah sering bahkan hampir sepanjang perjalanan di kampus ini, saya telah merasakan dan bersentuhan dengan dunia kemahasiswaan yang sibuk berkasak – kusuk, senyum tak tulus, basa basi yang sudah basi, berkata dengan polos hingga sebuah hujatan dari seorang petinggi universitas.

Semua itu adalah sebuah rentetan cerita perjalanan yang hampir tersendat dan terseok -seok diantara kemegahan satu bangunan yang dengan nyalang mengurai senyumnya padaku.

Catatan di atas hanya sekedar sebuah cita - cita yang didasarkan pada realita. Toh, saya juga sadar, cita-cita itu bisa saja berubah, karena tak dapat dinafikan banyak juga rimbawan muda yang berkhianat terhadap almamaternya demi sesuap nasi.

Itu tadi sepenggal cerita tentang cita-cita saya, lalu apa cita cita anda?!atau anda memang sudah tidak memiliki cita-cita?!

III.Bicara dan Lawan!!!

Kalian! Jangan hanya bungkam! Bergerak! Berteriak! Nyalakan nyala api yang tlah mulai padam karena Mulutmu adalah harimaumu.

Ingat kawan! Itu bukan hanya sebuah pepatah yang basi dan kuno, tapi itu adalah pepatah yang bisa mengukir sejarah dan mendobrak tirani. Pepatah yang mampu membuat mimpi – mimpimu menjadi nyata.

Mulut!adalah indera yang teramat penting, karena dengan mulut yang berkoordinasi dengan lidah mampu mengecap berbagai rasa. Dengan mulut manusia berbicara, saling bercanda, memperkenalkan diri kepada teman,sahabat, dosen, senior, mamang bibi dan semua orang yang ada dalam lingkaran kehidupan kita. Dengan mulut, manusia juga bisa merangkai selaksa kata bagaikan rintik hujan yang tiada henti mengalir tanpa mampu kita mencegahnya, kecuali bila kita bisu!

Berbicara! Ya. Dengan mulut, manusia tidak hanya asal berbicara melainkan berbicara dalam sudut bertanya, berkomentar, berkelit, dan berbelit yang membuat kita bersenyawa dengan seluruh komponen yang ada di sekitar kita termasuk kampus dimana kita mendapatkan pendidikan tentang cara untuk mendapatkan pekerjaan.

Begitu besar jasa mulut dan kadang bisa termasuk dalam kategori dosa dan membantu manusia menimbun dosa karena dengan mulut jugalah manusia berbohong, beradu gengsi demi sebuah ambisi dan misi yang belum tercapai.

Otak, berusaha untuk berpikir dan merangkai kata, namun mulut sejatinya yang menyampaikan sebuah opini, pertanyaan saat dalam proses diskusi pembedahan buku tentang agama, ilmu dan seni secara lebih mendalam dan komprehensif dalam takaran kadar yang berbeda meskipun aku rasa, dalam rumah pendidikan warga IPB ini, semua itu seolah telah mati suri yang hanya sejenak menggeliat.

Mulut, juga berperanan penting dalam menyampaikan kegundahan dan kegelisahan saat masa akhir bulan datang, untuk sekedar menyampaikan uneg-uneg pada orangtua. Di sisi lain, mulut juga membantu manusia untuk meringankan penat dengan bercanda sejenak bersama dengan mamang dan bibi, meminta sepiring nasi atau hanya sekedar satu botol minuman pelepas dahaga pada ibu kantin, berteriak pada sopir angkot saat mau berhenti dan terburu oleh waktu, mas atau mbak penjaga rental komputer dan warnet saat sedang asyik bekerja untuk sebuah nilai, birokrat kampus untuk meminta keringanan waktu dalam berkreasi, dan semua semesta. Kalau perlu dan seandainya bisa mulut juga

seharusnya berbicara pada udara, air, tanah dan angin meskipun aku tahu mereka tidak akan memberikan respon dan timbal balik, meskipun mereka hanya akan diam saja tak bergerak, toh paling tidak sambil berbicara dengan seluruh elemen bumi, kita masih bisa bergumam : Betapa besar Keagungan-Mu

Bagiku, mulut juga bisa menjadi sebuah tolok ukur apakah manusia berbicara secara berlebihan, separuh-separuh, pendek hingga terdiam dan terkunci dalam kebisuan. Segala rasa yang ada mulai dari kebenaran, kebencian, kemarahan, ketidakbenaran, kesalahan, kesukaan dan keheningan akan tersampaikan dengan sendirinya oleh mulut. Semua itu menjadi satu terwakili oleh mulut yang notabene membuat manusia tak menyadari dan tak bisa membedakan apakah mulutnya masih terbuka dan mampu bersuara atau malah membeku seperti es di kutub utara.

Mulutmu adalah harimaumu! Berteriaklah! Jika memang kamu tak suka dengan fasilitas yang ada di fakultas yang teramat mengecewakan.

Berbicaralah!jika memang kamu merasa sedih terhadap situasimu saat malam menjelang, ketika harus mengemper di koridor fakultas lain hanya untuk sekedar menyelesaikan pekerjaan. Berteriaklah dengan lantang, saat pembredelan dan pencekalan beberapa kegiatan mahasiswa mulai terlaksana karena mulutmu berhak untuk bicara. Walau terkadang banyak yang memilih bungkam saat berurusan rasa takut mulai melanda dan keberanian mendadak luntur tak berdaya.

Saat mulut tak lagi mampu bicara, hanya sebuah kesenyapan dan kelengangan yang mewarnai detik demi detik saat menyaksikan perlahan namun pasti hutan indonesia mulai habis dibabat, menyaksikan petani yang tak mampu lagi melawan kebijakan dan harus terpuruk karena adanya impor beras yang secara nyata mematikan produk beras lokal, terperkosanya kekayaan alam dari laut oleh kapal-kapal asing yang dengan seenaknya mengeruk sumberdaya alam kita, melonjaknya harga telur dan daging serta kebutuhan - kebutuhan lain yang terasa semakin mencekik hingga mulut hanya bisa ternganga saat melihat timbunan hutang luar negeri yang tak bisa dihitung lagi, ternganga saat memikirkan sudah tak ada aset negeri ini yang bisa digadai untuk membayar hutang karena memang sudah tergadai.

Sudahlah! Capek sudah aku! Capek sudah mulutku mengaum tak menentu dan berkoar – koar tentang kepedihan, dan kenyataan yang terhampar di depan mata. Biarkan aku dengan keterbatasanku menyaksikan, merasakan dan menjalani semua dengan caraku sendiri.

Bagiku, tak perlulah kita berkoar-koar tentang semua yang jauh dari gapaian tangan karena Sudahkah kita berbicara tentang diri kita?!sudahkah kita berbicara tentang mimpi-mimpi kita dan menyampaikannya?!

Sebuah pertanyaan yang masih menyimpan sejuta misteri yang terus didendangkan dengan nada kecil dalam kesunyian dan keremangan malam kala bercengkerama bersama di warung indomie.

Pesanku. Berbicaralah! Berteriaklah! Jika memang itu perlu dilakukan untuk memperjuangkan sesuatu yang layak dan patut diperjuangkan. Tak usah malu, karena memang itu perlu.

Esok harinya, aku merasa bahagia dan senang karena mulutku mampu berbicara pada porsinya dan melecut semangat beberapa mahasiswa yang masih dalam masa orientasi.

Ya, malam itu aku sedang berdialong dengan beberapa orang yang entah bagaimana awalnya menjadi sebuah dialog yang tak berujung. Tiba tiba mulutku mengucapkan kata maaf berpuluh-puluh kali, maaf karena mungkin aku telah menjadi penipu, pembohong, dan sejuta maaf untuk segala kedustaan yang ada.

Toh, dalam ranah berpikirku mulutku tak seharusnya mengucapkan semua itu, karena bagiku maaf itu sudah basi dan terlalu menye menye. Yang terpenting bagiku kenangan itu akan terukir dalam setiap langkah – langkah kalian yang pernah bertemu dengan aku.

Tak perlu mulutku berbicara dan komentar tentang kegiatan yang sedang berlangsung saat ini, keakraban antara senior, junior dan panitia karena bagiku malam ini adalah malam yang teramat indah karena aku, seorang aku yang bagi sebagian orang dianggap aneh dan berbeda dengan lainnya, masih bisa berdiri bersama kalian (AK 9, PGCA 2001) hanya untuk sekedar menyapa dan berbagi cerita.

Mulutku hanya mampu berkata terima kasih untuk orang-orang yang saat itu ada disekitarku dan rela berfoto denganku tanpa sebuah tendesi apapun. Aku hanya ingin merasakan sebuah kebersamaan,

Maaf jika dalam pikiran kalian aku adalah teman dan seangkatan dengan kalian, toh aku ingin menghilangkan senioritas itu. Aku ingin semua berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.

Yang terpenting, aku berhasil meyakinkan kalian semua dengan aktingku J, karena aku hanya ingin menyampaikan sebuah pesan : berkaryalah! Dobrak lah tradisi itu, dan tetap berkarya dalam sebuah nafas kebersamaan, kekeluargaan yang penuh dengan kreativitas. Jangan minder dan tidak perlu merasa berbeda,

takut ter-DO, skorsing. Selama alur yang dimainkan tidak ngejlimet dan jelas, tidak melanggar norma dan etika maka berkaryalah. Dan lawan! Lawan segala kekakuan yang ada, lawan tradisi yang tak berpihak pada seni. Lawan!lawan! dan lawan!.

Seperti ketika kayu-kayu mulai dan terus dijarah tanpa pandang bulu, hanya sekedar mengejar nafsu semata. Ketika birokrasi hanya permainan hitam diatas putih, karena uang yang memegang kuasa, dimanakah nurani kita?
…………………………………………..entahlah …………………………tirani tersebut telah gemilang memenggal kepala dan tubuh
………………………………………………yang hanya seorang diri tanpa siapa-siapa
………………………………………yang akhirnya bersenyawa bersama hembusan debuu

Hanya ada satu kata : LAWAN! (disari dari buku kumpulan sajak Aku Ingin Jadi Peluru, Whiji tukul )

vBintang gemintang perlahan mulai berarak menepi. Tak terasa malam sedikit telah berlalu, dan dentingan jam membuat Alinne sejenak menghentikan aktifitasnya. Jam dinding telah bergerak menuju pukul 04.00 WIB, dini hari.

Kafein itu sudah tak mampu menahan kelopak mata Alinne, dan Alinne memutuskan untuk rehat sejenak, melepaskan penat yang telah menggelayut. Empuknya peraduan telah membuat jiwa Alinne menyerah pada rasa nikmat. Perlahan, diletakkannya catatan lama itu di atas meja.

Sengaja Alinne membiarkan jendela terbuka, untuk memberikan nafas padaruang tuk bersinergi dengan alam. Semilir angin mengantarkan Alinne pada dunia mimpi yang kembali membuainya.

--------------------

Malam telah beranjak pergi. Sinar mentari pagi kini mulai menggantikan sang rembulan. Pagi yang sempurna. Tak ada awan hitam yang berarak, yang tampak adalah awan putih tipis yang senantiasa mengawal sang mentari.

Semilir angin pagi menyeruak, menarikan tirai yang tergerai di tepian jendela. Menghantarkan hawa sejuk dan segar pagi itu. Gemericik suara air sungai buatan yang mengalir di taman, menggetarkan syaraf untuk membuka mata.

Gemericik air itu telah membangunkan Alinne dan membuyarkan mimpi Alinne. Masih terdiam dalam tepian peraduan, mencoba menggabungkan antara mimpi dan realita. Senyawa itu masih belum terkumpul dengan sempurna, dan masih tercerai berai dalam alur fatamorgana pikiran Alinne.

Mengintip taman yang menebarkan aroma kesegaran di balik tirai jendela, kembali membawa Alinne merangkai mimpinya. Semalam Alinne memang bermimpi tentang seseorang yang tiba - tiba hadir.

Sosok itu hanya berdiri terpaku di depan Alinne dalam sebuah siluet hitam, antara yakin dan tidak. Alinne mencoba untuk menebak bahwa seseorang itu adalah Luki, namun yang Alinne dapatkan hanyalah sebuah senyum samar dan uluran tangan untuk menjejak bersama sebuah asa yang masih terkubur hingga saat ini. Tapi sial! Pagi telah membuyarkan semua mimpi itu, dan tak bisa terangkai kembali.

“Sial! kenapa pagi begitu cepat hadir, membuyarkan siluet yang hampir aku dapatkan” gerutu Alinne.

Untuk mengusir kecewa itu, Alinne bergegas menyelesaikan beberapa rutinitas pagi. Berjalan sejenak dalam taman, memandang mega - mega angkasa, dan menyesap aura kehangatan mentari pagi sebelum kembali beranjak pada janjinya untuk menuntaskan catatan lama itu.

Rumah Palagan ini, memberikan sebuah kenyamanan tersendiri bagi Alinne, karena semua bisa Alinne peroleh disini mulai dari makanan ringan, sampai tempat untuk menyepi. Semua tersedia disini. Dan kali ini Alinne memilih meneruskan membaca catatan itu pada satu ruang baca yang tersedia di Rumah Palagan, sambil menikmati roti bakar ala Yogya dan pastinya satu cangkir kopi hitam.

Suasana sejuk dan nyaman, meneguhkan semangat Alinne untuk kembali membaca catatan itu, karena Alinne masih ingin tahu kemana langkah sang maestro kali ini,

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun