Mohon tunggu...
Neemra Zahra
Neemra Zahra Mohon Tunggu... -

Ikhlas itu indah

Selanjutnya

Tutup

Money

Masa Depan Program CSR: Kemitraan Swasta, Pemerintah dan Masyarakat

16 Maret 2013   17:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:39 5726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Sebagian dari kita pernah mendengar istilah CSR atau Corporate Social Responsibility, dalam bahasa Indonesia disebut Tanggungjawab Sosial Perusahaan; ada yangmendefinisikan CSR adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap masyarakat/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. Kini upaya CSR/filantropi sudah lintas negara. CSR tidak ada kaitannya dengan amal atau kedermawanan. CSR bukan sebuah kemuliaan tetapi kewajiban bagi sebuah entitas bisnis untuk mengembalikan sebagian dari keuntungannya bagi masyarakat dimana mereka mengoperasikan bisnisnya.

Beberapa waktu yang lalu, negara kita banyak menggantungkan diri pada donor asing: PBB (Unicef, UNAIDS, UNFPA, UNDP dll), government donors (USAID, AusAID, CIDA, JICA), dan para donor filantropi (pebisnis dermawan kelas dunia) seperti Bill Gates, Hewlett-Packard, Bloomberg, Soros yang menyisihkan sebagian keuntungan usaha mereka untuk membantu negara-negara berkembang.

Pada tulisan ini saya ingin membahas program CSR yang dilaksanakan secara bebas oleh berbagai perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Dasar hukum CSR atau tanggungjawab sosial perusahaan adalah (1) UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 74 ayat 1 yaitu perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial (CSR) dan lingkungannya, (2) UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyatakan bahwa: setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan, (3) Peraturan Menteri Negara BUMN No.4/2007 yang mengatur mulai dari besaran dana hingga tatacara pelaksanaan CSR. Seperti kita ketahui, CSR milik BUMN adalah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).

Program CSR, jika dilaksanakan secara serius dalam bentuk kemitraan swasta, pemerintah dan masyarakat dapat menjadi kekuatan yang ampuh untuk mengatasi berbagai persoalan negeri: kesehatan, pendidikan dan ekonomi (yang kita kenal sebagai 3 pilar pembangunan), ketiganya menjadi ukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM/Human Development Index), dimana Indonesia saat ini melorot ke posisi 124 dari 187 negara di 2011, sebelumnya 108 dari 169 negara di 2010. Indonesia juga dihadapkan pada kemungkinan gagal mencapai beberapa target Tujuan Pembangunan Milenium (TPM) 2015, khususnya pada Tujuan 1 (Pengentasan Kemiskinan) dan 5 (Kesehatan Ibu).

Pemerintah yang memegang peran sebagai eksekutif atau pelaksana pembangunan dapat melakukan koordinasi dengan swasta beserta program CSRnya dan masyarakat yang diwakili oleh lembaga swadaya masyarakat/organisasi masyarakat sipil yang akuntabel dan berbadan hukum dalam melaksanakan agenda pembangunan sesuai dengan kesepakatan internasional dan rencana pembangunan nasional, melalui pembagian kerja dan wilayah kerja disertai evaluasi secara berkala.

Apa yang terjadi pada saat ini? Sebagai contoh, untuk mengatasi tingginya tingkat kematian ibu (228/100.000 kelahiran hidup, yang harus turun menjadi 102/100.000 kelahiran hidup pada 2015) pemerintah mengambil tindakan “gebyah uyah” melalui program Jaminan Persalinan (Jampersal) dengan menanggung biaya periksa kehamilan 4x dan melahirkan bagi seluruh perempuan Indonesia, tidak peduli kehamilan anak keberapapun, asal bersedia memperoleh layanan di fasilitas yang mengikuti program Jampersal(puskesmas, polindes, bidan praktek mandiri, maupun klinik bersalin). Program unggulan pemerintah ini seperti sepi sosialisasi, beberapa kali terlihat muncul di TV, tetapi karena iklan layanan masyarakat juga harus bayar, maka sosialisasinya kurang membahana. Mestinya TV swasta dan pemerintah menyediakan slot iklan layanan masyarakat gratis untuk menyuarakan program pemerintah. Jika saja pemerintah (lintas sektor), swasta dan masyarakat bersinergi di tingkat pusat dan daerah, sangat mungkin program tersebut dapat diperluas dengan program Keluaga Berencana, peningkatan gizi ibu hamil dan pasca melahirkan, perawatan bayi baru lahir dll, sehingga program tersebut mempunyai gema yang lebih membahana di seluruh nusantara serta pencapaian yang membanggakan.

Pada Konferensi CSR internasional ke-4 yang baru-baru ini diadakan di Jakarta dan dibuka oleh Deputi 1 UKP4, bertajuk: Beyond CSR, A Way of Life, Implementing CSR Ethically; dan berbagai pertemuan CSR yang diselenggarakan oleh beberapa organisasi atau perkumpulan CSR yang berfungsi mempertemukan perusahaan swasta yang mempunyai program CSR dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai kekhususan dalam isu yang ditangani, umumnya secara bergiliran menceritakan keberhasilan atau keunggulan program CSR mereka, baik dilaksanakan sendiri maupun bermitra. Tetapi belum membuka peluang untuk membangun sinergi swasta, pemerintah dan masyarakat secara terkoordinasi, efektif, berkelanjutan dan sejalan dengan agenda pembangunan nasional.

Alangkah baiknya jika pemerintah menciptakan sebuah mekanisme untuk menggalang kekuatan program CSR swasta, pemerintah dan masyarakat agar berdaya ungkit. Kenyataan yang ada saat ini adalah kita mempunyai lebih dari 16.000 lembaga swadaya masyarakat (LSM), menurut survei terakhir yang dilakukan PPATK. Dengan masuknya Indonesia sebagai negara G-20 sejak 2010, Indonesia tidak lagi tergolong negara miskin, donor asing mulai menarik diri dan memusatkan upayanya ke daerah tertinggal di timur Indonesia. Besarnya jumlah LSM di Indonesia yang mendapat dukungan dana dari donor asing, membuahkan persoalan baru, yaitu hilangnya peluang kerja bagi para profesional lapangan dan peneliti, sementara keberadaan LSM diperlukan sebagai mitra pemerintah di lapangan. Walau ada saja pejabat pemerintah yang alergi terhadap LSM, karena dianggap bersaing dalam pelaksanaan program dampingan di lapangan, apalagi jika LSM tersebut mendapat hibah asing.

Potensi dana CSR BUMN tahun lalu sebesar Rp. 2 Triliun (2% dari laba bersih), belum termasuk dana CSR perusahaan swasta asing dan nasional lainnya, yang secara keseluruhan dapat terhimpun jumlah dana yang luar biasa besar dan dapat menggantikan dana hibah donor asing, yang selama ini telah memberikan peluang kerja bagi para profesional di berbagai LSM seluruh Indonesia. Sementara itu berbagai program yang sejalan dengan agenda pembangunan nasional dapat diimplementasikan dengan baik di tangan para profesional. Mengadopsi program-program yang dianggap berhasil di masa lalu, cukup membantu penghematan waktu pelaksanaan dan biaya program.

Pemerintah, entah siapa leading sector-nya, mungkin UKP4, perlu melakukan langkah-langkah strategis ke depan sesegera mungkin, dengan mendata, memetakan, mengelompokkan LSM yang mempunyai badan hukum dan akuntabel serta isu spesifik yang ditangani; mendata, memetakan dan mengelompokkan daerah-daerah yang perlu dibantu di dalam mengatasi isu-isu prioritas, menghitung potensi dana CSR yang dapat dihimpun setiap tahun, memperhitungkan gap pembiayaan untuk penanganan berbagai isu pembangunan yang tidak dapat dipenuhi oleh APBN, menunjuk beberapa LSM besar sesuai isunya untuk memimpin LSM sejenis di bawahnya untuk bekerja sama dalam pelaksanaan program di lapangan. Dan tentu di atas segalanya perlu ditetapkan lebih dahulu berbagai tolok ukur, kriteria, indikator untuk rekrutmen LSM dan evaluasi pencapaian. Kapan akan dimulai? Sekarang baru bisa mimpi, mungkinkah UKP4 dapat merealisasikan hal tersebut?

Selanjutnya, kesepakatan bersama juga perlu dicapai untuk menetapkan apakah industri senjata, rokok, miras yang berdampak buruk atau berbahaya bagi kesehatan dan jiwa manusia, serta susu formula (berpotensi menghalangi para ibu memberikan Air Susu Ibu 2 tahun penuh) layak untuk berCSR? Perlukah dituangkan dalam aturan industri apa saja yang boleh berCSR? Siapakah yang perlu berperan dalam hal ini? Apakah perlu tunggu pemerintah membuat aturan? Atau LSM boleh berinisiatif, atau bersepakat untuk menolak bekerja sama dengan industri tersebut di atas? Karena mereka mempunyai alasan yang sangat masuk akal untuk berpartisipasi dalam berbagai program CSR yang berujung pada upaya membangun citra.

Baca juga tulisan terkait:

http://www.usaha-kecil.com/pengertian_csr.html

http://id.shvoong.com/social-sciences/economics/2283800-dasar-hukum-corporate-social-responsibility/

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/441288/

http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2012/03/13/jampersal-program-unggulan-yang-kurang-bergema-442122.html

http://www.konsillsm.or.id/publikasi/berita-umum/jimly-asshiddiqie-negara-seharusnya-tidak-sendirian.html

http://www.kopertis12.or.id/2011/01/12/20-negara-dengan-pdb-terbesar-di-dunia-indonesia-peringkat-no-18-menurut-data-bank-dunia-2009.html

http://www.csrindonesia.com/data/articles/20111021051631-a.pdf

http://www.aktual.co/ekonomibisnis/160439konferensi-internasional-csr-ke-4-ciptakan-csr-perusahaan-beretika

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun