Mohon tunggu...
Nedia Sawaya
Nedia Sawaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Universitas Lampung

Mahasiswa Semester 3 di Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Universitas Lampung

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Policy Brief Optimalisasi Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandar Lampung untuk Mengatasi Dampak Urbanisasi

17 Desember 2024   17:30 Diperbarui: 17 Desember 2024   17:31 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

RINGKASAN EKSKLUSIF

Kota Bandar Lampung menghadapi masalah serius berupa defisit Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang hanya mencapai 2,7% dari total luas wilayah kota, jauh di bawah standar minimal 20% sebagaimana diatur dalam Permen PU No. 05/PRT/M/2008. Fenomena urbanisasi yang pesat telah memicu alih fungsi lahan menjadi kawasan permukiman, infrastruktur, dan aktivitas komersial, sementara pengawasan dan pengelolaan RTH masih lemah. Ketidakseimbangan ini berdampak nyata pada lingkungan, seperti meningkatnya banjir akibat berkurangnya area resapan air, polusi udara yang memburuk, serta minimnya ruang publik yang mengurangi kualitas hidup masyarakat. Permasalahan ini bersifat strategis karena RTH memiliki peran vital sebagai paru-paru kota, penyerap polutan, kawasan resapan air, serta ruang interaksi sosial.

Tanpa intervensi yang tepat, keseimbangan ekologis dan kenyamanan lingkungan perkotaan akan semakin terancam. Solusi utama untuk mengatasi permasalahan ini adalah optimalisasi pengelolaan RTH melalui penambahan luas RTH publik, pengawasan ketat terhadap alih fungsi lahan, serta kolaborasi multipihak dalam pengembangan RTH. Pemerintah Kota Bandar Lampung menjadi subjek kunci dalam penyelesaian masalah ini dengan menetapkan kebijakan prioritas dan meningkatkan alokasi anggaran. Dukungan dari pihak swasta melalui Corporate Social Responsibility (CSR) dan partisipasi masyarakat melalui program “Satu Kelurahan Satu Taman” juga penting untuk memastikan pengelolaan RTH yang berkelanjutan. Langkah-langkah ini diharapkan dapat menekan dampak negatif urbanisasi, meningkatkan kualitas lingkungan, dan memperbaiki kehidupan sosial masyarakat di Kota Bandar Lampung.

PENDAHULUAN

Urbanisasi merupakan sebuah fenomena demografis yang mencakup perpindahan penduduk dari wilayah pedesaan menuju kawasan perkotaan, yang melibatkan transformasi geografis dan sosial masyarakat. Urbanisasi secara signifikan memengaruhi struktur dan perilaku sosial masyarakat. Perubahan tersebut secara langsung berimplikasi pada transformasi tingkah laku individual yang memerlukan perhatian khusus. Kehidupan sosial sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan tempat tinggal, sehingga tanpa pengendalian yang tepat, perubahan sosial berpotensi menghasilkan dampak negatif. Oleh karena itu, faktor pengendalian sosial utama berasal dari kesadaran internal individu itu sendiri. Penting untuk dicatat bahwa perubahan sosial akibat urbanisasi tidak selalu bersifat destruktif. Sepanjang dapat dikelola dengan baik, transformasi tersebut berpotensi menjadi katalis kemajuan bagi masyarakat (Hidayati, 2024).

Kota Bandar Lampung memiliki wilayah seluas 197,22 km² yang terbagi ke dalam 13 kecamatan dan 98 kelurahan dengan total populasi sekitar 1.209.973 jiwa berdasarkan data sensus penduduk tahun 2022 (Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, Jumlah Penduduk (Jiwa), 2020-2022, diakses 10 Desember 2024 dari lampung.bps.go.id). Urbanisasi di Bandar Lampung terus mengalami peningkatan seiring dengan perkembangan penduduk, pembangunan infrastruktur, dan masifnya konversi lahan. Faktor utama yang mendorong urbanisasi adalah daya tarik kehidupan perkotaan yang dianggap lebih modern dengan dukungan fasilitas sarana dan prasarana yang lebih lengkap dibandingkan dengan daerah pedesaan. Selain itu, adanya persepsi tentang melimpahnya peluang kerja serta lokasi pendidikan yang berkualitas di kota besar, seperti Bandar Lampung, semakin meningkatkan minat masyarakat desa untuk berpindah ke kota.

Salah satu dampak utama urbanisasi adalah alih fungsi lahan yang mengurangi proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH). RTH, berdasarkan Permen PU No. 05/PRT/M/2008, memiliki peran vital sebagai paru-paru kota, kawasan resapan air, serta ruang interaksi sosial masyarakat. Namun, di Kota Bandar Lampung, luas RTH masih jauh dari target 30% sebagaimana diatur dalam kebijakan tata ruang perkotaan. Berdasarkan laporan RTRW Kota Bandar Lampung, luas RTH publik hanya mencapai 2,7% pada tahun 2016 (Dini, 2022). Ketidakseimbangan ini diperparah dengan lemahnya pengawasan dan tingginya tingkat konversi lahan untuk kepentingan pembangunan infrastruktur (Kurniawan et al., 2022). Dengan demikian, optimalisasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bandar Lampung menjadi langkah penting untuk mengatasi dampak urbanisasi yang semakin kompleks. Upaya ini tidak hanya akan meningkatkan kualitas lingkungan, tetapi juga memperkuat fungsi sosial dan ekonomi kota dalam menghadapi pertumbuhan penduduk yang pesat.

DESKSIPSI MASALAH

Kota Bandar Lampung menghadapi masalah serius terkait kekurangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik, yang hanya mencapai 2,7% atau sekitar 533,86 hektare dari total luas wilayah 19.722 hektare, jauh di bawah standar minimal 20% sebagaimana diatur dalam Permen PU No. 05/PRT/M/2008. Defisit ini disebabkan oleh tingginya laju urbanisasi yang memicu alih fungsi lahan menjadi kawasan permukiman, infrastruktur, dan aktivitas komersial, sementara upaya pengawasan dan pengelolaan RTH belum berjalan optimal. Penyebaran RTH yang tidak merata semakin memperburuk situasi, dengan beberapa kecamatan seperti Teluk Betung Barat, Teluk Betung Timur, dan Sukabumi bahkan tidak memiliki RTH publik yang memadai (Fadelia Damayanti, 2017). Kondisi ini berdampak nyata pada lingkungan perkotaan, di antaranya meningkatnya risiko banjir akibat berkurangnya area resapan air, polusi udara yang semakin memburuk, naiknya suhu mikroklimat, serta terbatasnya ruang interaksi sosial yang menurunkan kualitas hidup masyarakat. Jika kondisi ini tidak segera diatasi melalui optimalisasi pengelolaan RTH, keseimbangan ekologis Kota Bandar Lampung akan semakin terancam, mengakibatkan dampak jangka panjang yang lebih serius bagi lingkungan dan masyarakat.

TEMUAN

Pemerintah Kota Bandar Lampung telah menerapkan kebijakan terkait pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang mengacu pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Permen PU No. 05/PRT/M/2008 yang mewajibkan minimal 30% dari luas wilayah kota digunakan sebagai RTH, dengan pembagian 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Selain itu, kebijakan ini diturunkan ke dalam RTRW Kota Bandar Lampung 2011-2030, yang bertujuan menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan serta mengatur pengalokasian RTH di kawasan permukiman dan pusat kota (Dini, 2022). Salah satu contohnya terdapat di Kecamatan Kemiling, di mana luasan RTH tercatat 19,42% atau 486,69 hektare dari total luas wilayah 2.505 hektare (Fadelia Damayanti, 2017). RTH tersebut tersebar dalam bentuk hutan lindung, taman perumahan, median jalan, pemakaman umum, lapangan olahraga, dan bentang alam gunung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun