Provinsi Riau kembali mengalami krisis kebakaran hutan terbesar sejak 2015. Awal September 2019 muncul 123 titik api. Meski kebakaran hutan memang terjadi setiap tahun, pemerintah daerah tampaknya terlambat mencegah meluasnya api. Perhatian dan fokus pemimpin di sebuah daerah menentukan keberhasilan langkah pencegahan kebakaran hutan.
Sebuah penelitian melaporkan bahwa tahun 2007 Provinsi Riau bebas asap karena Gubernur Riau saat itu menyatakan tekadnya sebagai tuan rumah Pekan Olahraga Nasional. Sementara tahun 2012, Kapolda Riau aktif memberantas pembalakan liar.Â
Kondisi berlawanan terjadi pada 2014 ketika Gubernur Riau Annas Maamun tertangkap oleh KPK. Kebakaran hutan terjadi pada tahun itu. Bahkan, tahun 2015 Riau mengalami krisis asap hingga mengganggu negara tetangga.
Tahun 2016, Provinsi Riau sigap menetapkan siaga darurat. Status ini dimulai awal Maret ketika mulai muncul titik-titik api. Status ini pun diperpanjang empat bulan pada 30 Mei 2016. Langkah-langkah antisipatif diambil, di antaranya Polda Riau memasang 927 spanduk imbauan, larangan, dan ancaman pidana bagi pembakar lahan dan hutan.
Demikian pula dengan tahun 2017 dan 2018. Status siaga ditetapkan dua kali. Pertama pada Februari/Maret, lalu diperpanjang pada akhir April/Mei. Setelah tiga tahun, tampaknya kebakaran hutan dapat ditangani sejak dini.Â
Pada Mei 2018, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro menyatakan di Singapura bahwa krisis asap tidak akan terulang tahun 2018 karena rencana manajemen hutan dan lahan telah diimplementasikan.Â
Akhir September 2018 Gubernur Riau Andi Rachman mengundurkan diri dari jabatannya untuk maju sebagai caleg DPR RI. Tongkat kepemimpinan pun berpindah. Menariknya, tahun ini Gubernur Riau Wan Thamrin Hasyim menetapkan status siaga darurat pada 19 Februari 2019, tepat di hari terakhir masa jabatannya. Esok harinya, 20 Februari 2019, Syamsuar dilantik sebagai gubernur baru.Â
Selain itu, berbeda dengan tiga tahun sebelumnya, status siaga darurat di Provinsi Riau tahun 2019 ini ditetapkan langsung delapan bulan, hingga Oktober 2019. Penetapan yang lebih lama ini dimaksudkan agar Satuan Tugas Karhutla Riau lebih fokus bekerja dan tidak terganggu pilpres dan pileg.Â
Namun, penetapan status siaga darurat yang lebih panjang tampaknya menjadi kontraproduktif. Kesibukan pilkada dan masa transisi mengalihkan perhatian pemimpin di Provinsi Riau. Pada saat yang sama, pemilihan gubernur juga dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Sementara itu, di Sumatera Selatan, 9 dari 17 kota/kabupaten mengadakan pemilihan kepala daerah.Â
Di tingkat nasional, pemimpin pusat juga sibuk mengikuti kampanye dan tahapan pemilu. Lebih lagi, sengketa hasil pemilu hingga 22 Mei 2019 menguras energi dan mengalihkan perhatian.
Saat ini kita berharap, semoga hujan lekas turun, dan tahun depan pemimpin lebih waspada agar kebakaran hutan tidak kembali melanda.