Mohon tunggu...
Kurniawan Saputra
Kurniawan Saputra Mohon Tunggu... lainnya -

Aku hanya ingin menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mari Tidak Merayakan Lebaran!

7 Agustus 2013   08:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:32 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Selebrasi yang berlebihan akan diganjar kartu

Lebaran adalah hari kemenangan. Maka, seperti laiknya kemenangan-kemenangan lain, ia pantas untuk dirayakan. Lalu, seperti jamaknya perayaan, lebaran akan dipenuhi dengan atribut-atribut pesta pora. Sandang mewah baru yang serba mahal, makanan lezat yang serba berlemak, serta barangkali gadget-ganget keluaran terbaru menjadi tentengan.

Perkakas-perkakas itu tentunya bertentangan dengan semangat sederhana Ramadhan. Kita akan berdalih bahwa bermegah-megahan pada hari istimewa ini tak mengotori kesucian Ramadhan. Toh, ini adalah momentum yang dihadiahkan Tuhan. Pada hari ini kemenangan ditahbiskan, setelah sebulan penuh berjuang melawan hawa nafsu. Pertanyaannya adalah, apakah hawa nafsu dikekang untuk kemudian dibiarkan liar?

Pertanyaan selanjutnya adalah tentang kemenangan itu sendiri. Mengapa pula kita begitu antusias merayakan kemenangan sementara belum tentu kita menggenggam piala? Pasalnya, tidak serta merta dengan datangnya lebaran, medali kemenangan mutlak dikalungkan. Tak ada orang yang tahu pasti apakah Ramadhannya dilalui dengan sukses, atau dengan kekalahan.

Yang saya tahu, ada satu barometer kemenangan sakral ini, yaitu terbentuknya pribadi yang lebih baik usai Ramadhan. Pribadi yang demikian adalah jiwa yang semakin berkeming dari kepentingan duniawi, semakin jauh dari nafsu kebendaan.

Dan tentunya, jiwa yang demikian adalah jiwa yang lebih berpuas diri, yang tak terlalu bernafsu untuk berselebrasi. Karena, walaupun orang-orang tersebut adalah sebenar-benarnya pemenang dan berhak merayakan, mereka adalah jiwa-jiwa yang telah akrab dengan kemenangan, sehingga tidak bersikap angkuh dan norak. Mereka sama sekali bukan lagi pribadi yang gagap dengan titel.

Ada sebuah pepatah yang saya dengar lagi dari seorang Mario Ballotelli mengenai perihal ini. Pesepakbola yang jarang melakukan selebrasi ini berujar ketika ditanya kebiasaan janggalnya itu, “Saat aku mencetak skor, aku tidak merayakannya. Itu sudah pekerjaanku. Apakah seorang tukang pos merayakan setiap kali dia mengirimkan surat?”

Ya, seorang tukang pos tak perlu girang berlebihan setiap usai menghantarkan surat. Itu adalah pekerjaannya. Begitu juga seharusnya seorang mukmin, melawan hawa nafsu adalah kewajiban, maka, tak perlu pula merayakan usainya masa pendadaran jiwa.

Lagipula, kita sudah sering menyaksikan, banyak saudara kita yang jatuh sakit tak lama setelah lebaran. Penyebabnya adalah konsumsi zat gizi yang berlebihan. Kalori, lemak, kolesterol, dan unsur-unsur makanan lain mempunyai dosis pengasupan. Setiap individu dapat merasakan manfaatnya bila mengonsumsinya dengan seimbang. Masalahnya, dalam hidangan-hidangan lebaran, makanan-makanan kita yang lezat punya masalah dengan keseimbangan gizi. Pun pola makan buruk gaya balas dendam.

Ihwal makanan di atas hanya salah satu contoh nyata. Selebihnya, euphoria dalam hal apapun cenderung mengarah pada pelanggaran. Dalam sepakbola, selebrasi yang berlebihan akan diganjar kartu. Kebahagiaan yang kelewat batas akan membuat kita lalai.

Pada hakikatnya, kita hanya diwanti-wanti untuk tidak merayakan secara berlebihan. Perayaan dengan makna yang benar tak pernah dilarang. Dan sebenarnya, ada beberapa lebih yang dianjurkan dalam selebrasi lebaran: lebih murah tersenyum dan lebih mudah memaafkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun