Pada pelaksaan hukum, mengenai tindak pidana korupsi banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari pelaksanaan proses hukum yang ada. Sehingga dianggap dan/atau dipandang oleh masyarakat sebagai hukum yang tidak berjalan. Menurut pandangan saya pribadi, ada beberapa faktor dimana proses penegakan hukum bagi para pelaku koruptor masih berjalan dengan kurang baik. Pada kesempatan KBM di kelas Dr. Sidratahta Muktar, M.Si sebagai dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi di Universitas Kristen Indonesia, dimana pada saat itu persoalan atau topik yang dibahas adalah 'Bagaimana dan mengapa menurut anda terhadap penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang ada di Indonesia? Dan apa solusinya?'. Pada kesempatan tersebut saya mengemukakan pendapat bahwa penegakan hukum bagi tindak pidana korupsi masih dianggap lemah bagi sebagian besar masyarakat, hal ini dibuktikan dari pandangan masyarakat dimana mereka masih melihat pungli, dan maraknya berita mengenai pejabat daerah maupun pemerintahan yang terlibat kasus korupsi, bahkan mereka sebagai masyarakat pun turut menjadi partisipan dalam kegiatan pungli yang merujuk pada Perpres No. 87/2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) mengatakan bahwa pungli dapat dikelompokkan ke dalam tindak pidana khusus (korupsi) dan tindak pidana umum (pemerasan).
Maka pada saat itu, salah satu mahasiswa pada kelas tersebut mengatakan bahwa hukuman mati merupakan sanksi/hukuman yang dirasa tepat dan dapat membuat jera para calon koruptor lainnya. Namun dalam pelaksanaan hukuman tersebut, pasti memiliki kendala tersendiri. Yang terutama ialah mengenai HAM. namun disini saya berpendapat bahwa para aktivis pembela HAM, yang mengatakan bahwa hukuman mati adalah tindakan negara yang melawan HAM adalah isu yang basi. Hal ini dapat dilihat dimana para aktivis yang kebanyakan melakukan aksi penolokan tersebut hanya berpegang kepada UU No.39/1999 yang merupakan UU mengenai HAM yang sudah banyak orang atau masyarakat Indonesia tahu. Pada kesempatan itu saya memberikan solusi dimana kita dapat mengadakan petisi yang berisi "segala suatu bentuk atau tindakan penolakan yang dilakukan aktivis HAM yang menolak proses ditegakkannya hukum (hukuman mati terlebih bagi tindak pidana korupsi), dapat dimasukkan kedalam kategori Pasal 221 KUHP yang mengahalang-halangi suatu proses hukum, dan melawan pemerintah. Dapat dimasukkan kedalam proses hukum yang berlaku.".
Saya berpendapat bahwa ada beberapa motif dalam melakukan korupsi mulai dari rasa kekeluargaan (nepotisme), penanaman rasa kedekatan terhadap rekan sejawat untuk memikat hati/suara dan/atau kemudahan kenaikan jabatan, perdagangan gelap, memperkaya diri. Â Terdapat dua faktor yang menyebabkan masih maraknya tindak pidana korupsi. Faktor yang pertama adalah penyebab Internal ialah serakah/tamak/rakus, konsumtif, dan moral yang lemah. Faktor internal ini merupakan hal yang mempengaruhi sebagian besar keputusan suatu individu dalam melakukan tindakan korupsi. Faktor yang kedua adalah Eksternal yaitu aspek sosial, politik, hukum, ekonomi, dan organisasi. Dalam faktor ini faktor eksternal merupakan hal yang menjadi pendukung setelah faktor internal. Dimana menurut Ilmu Sosiologi yang mempengaruhi interaksi sosial ialah adalanya faktor pendorong Internal dan Eksternal. Interaksi sosial yang dimaksud disini merujuk pada pendapat saya mengenai berbagai motif dalam melakukan korupsi yang sudah disebutkan diatas.
Diatas saya menyebutkan bahwa ada beberapa motif yang dilakukan para pelaku koruptor, yang pertama adalah Rasa Kekeluargaan (nepotisme) adalah suatu kondisi dimana pelaku korupsi melakukan tindakan melawan hukumnya dengan alibi "karena dia keluarga saya/sepupu/saudara/keponakan/adik/kakak/dekat dengan saya/baik dengan saya/Dsb. Makanya saya kasih dia loyalti agar dia senang" hal atau tindakan ini merupakan Gratifikasi dan tindakan korupsi. Sebagaimana tercantum pada Pasal 12B ayat (1) UU No. 31/1999 & UU No. 20/2001 mengenai Gratifikasi. Tindakan tersebut berkesinambungan kepada motif yang selanjutnya.
Yaitu penanaman rasa kedekatan terhadap rekan sejawat untuk memikat hati/suara dan/atau kemudahan kenaikan jabatan. Karena sudah diterimanya dan sudah dilakukannya gratifikasi, maka secara moral para pelaku tindak pidana korupsi akan meningkat. Mereka akan diingat akan "kebaikannya" karena sudah memberikan "loyalti" dan memberikan posisi dalam jabatan. Sehingga kemudian hal ini akan berdampak kepada terbentuknya image pelaku yang baik dimata orang yang telah diberikan "loyalti" tersebut. Dan kemudian berdampak kepada kelancaran pelaku dalam memperoleh kenaikan jabatan. Setelah memperoleh jabatan yang diinginkan, pelaku akan berfikir untuk bagaimana caranya ia bisa memperkaya diri dengan lebih lagi. Yaitu dilakukannya perdagangan gelap. Motif pertama hingga ketiga akan terus berulang dan terjadi kepada lingkup yang lebih besar lagi. Sehingga akan terbentuk jaringan sindikat dalam perdagangan gelap. Hal ini eratlah kaitannya dengan korupsi, dimana perdagangan gelap memerlukan dukungan kemudahan dalam men-eksport dan men-import barang hasil perdagangan gelap tersebut. Tentunya mereka membutuhkan andil dari para pejabat dari berbagai sektor di pemerintahan. Itu mengapa, walaupun hukuman bagi pelaku kejahatan tidak pidana Korupsi sudah memiliki hukuman khusus tersendiri, namun masih marak kasus korupsi yang terjadi. Satu -satunya cara menurut saya agar setidaknya berkurang kasus korupsi yang terjadi ialah dengan berpendapat setuju akan hukuman mati yang dijatuhkan terhadap para pelaku. Dengan catatan, hukuman dilakukan secara cepat dan tanpa adanya permohonan banding. Namun perlu diingat kembali akan solusi yang saya berikan di awal tadi mengenai petisi bagi para aktivis HAM yang menolak hukuman mati. Mengingat para aktivis HAM ini menurut saya merupakan penghalang terbesar dalam proses penegakan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Pada akhirnya, korupsi merupakan penyakit yang sudah mendarah daging dalam masyarakat Indonesia dalam menjalankan kesehariannya. Disamping  itu, proses penegakan hukum paling berat yang berlaku, mendapatkan respon kontra dari para aktivis HAM. Sehingga para pelaku koruptor yang sedang beraksi merasa aman dan terlindungi dengan keberadaan para aktivis ini. Pada pelaksanaan undang-undang TIPIKOR dapat dikatakan bahwa tidak dapat menghilangkan dan/atau mengurangi potensi terjadinya korupsi baik dalam tubuh pemerintahan maupun dalam kelompok masyarakat. Kecuali terdapat sinyal atau warning keras dari presiden selaku kepala negara dan menunjukan sikap dan tindakan yang cepat dan tepat dalam memberantas korupsi terhadap para pembantu-pembantunya dalam pemerintahan. Sehingga jika hal ini dapat terjadi maka masyarakat secara langsung maupun tidak langsung menjadikan presiden sebagai rolemodel dalam memberantas korupsi.
Pelaksanaan penegakan hukum terberat dalam TIPIKOR seharusnya berjalan lancar dan tanpa bumbu-bumbu pelanggaran HAM bagi para koruptor dan keluarganya. Sehingga dengan demikian diharapkan mulai dari unsur pemerinahan tertinggi hingga masyarakat dapat menjadikan kasus penjatuhan hukuman terberat tersebut sebagai contoh riil dalam keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Pada pelaksanaannya di  lapangan, pemerintah dapat menjatuhkan hukuman terberat selain hukuman mati bagi para pelaku yang pastinya dianggap terlalu ekstrim dan bertolak belakang dengan dasar-dasar negara oleh masyarakat maupun kaca internasional. Sebaiknya para pelaku dapat dijatuhkan hukuman berupa sanksi sosial dengan cara pemerintah mempublikasikan harta dan tindakan hasil korupsi yang digunakan oleh pelaku atau keluarga dan/atau koneksi pelaku lainnya, terhadap publik secara masif melalui berbagai media, dan membatasi akses fasilitas yang disediakan oleh negara dan/atau swasta yaitu kesehatan, bantuan sosial, bahan bakar, peningkatan pajak yang dikenakan, dan pembatasan jumlah akses pada transportasi umum per hari, dan pembatasan fasilitas internet yang bisa didapatkan. Dengan harapan pelaku merasa kapok terhadap apa yang diperbuatnya, dan membuat para pelaku dan "calon" pelaku memikir keras untuk mengambil keputusan melakukan Tindak Pidana Korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H