Kecamatan Ngadirojo merupakan salah satu daerah di wilayah Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Sebuah kecamatan kecil di antara perbukitan yang lebih dikenal dengan sebutan Lorok.
Sebenarnya Lorok bukanlah kampung halamanku, melainkan kampung halaman ibuku. Namun karena aku pernah tinggal di sini saat mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Pertama, otomatis Lorok menjadi salah satu kampung halaman yang setiap tahun ku kunjungi minimal sekali.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dengan Lorok ini. Lorok ini merupakan sebuah daerah pedesaan yang memang begitu adanya, meski sudah mulai berubah mengikuti perkembangan zaman. Tempat wisata juga enggak terlalu banyak, ketika aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, satu-satunya tempat wisata yang ada di daerah ini hanyalah Pantai Taman. Pantai ini sekarang sudah memiliki wahana luar biasa, yaitu flying fox terpanjang di Indonesia. Letakknya hanya sekitar 5 kilometer dari rumah nenekku.
Aku enggak mau cerita tentang tempat-tempat wisata, kurang menarik menurutku. Karena sudah banyak yang menceritakannya, aku cuma mau berbagi cerita tentang kehidupan anak desa pada umumnya kala itu.
Aku dulu termasuk anak desa dengan kegiatan merumput di sore hari. Bukan untuk sapi maupun kambing, tetapi hanyalah merumput untuk kelinci dan marmut. Hewan-hewan ini yang mengisi kegiatan sore di kampung halaman dulu. Karena meski sudah ada handphone, dulu tempatku enggak ada sinyal sama sekali dan handphone belum banyak yang dilengkapi dengan kamera. Jadi bisa dibilang handphone itu useless alias nggak kanggo.
Kegiatan selain merumput atau ngarit adalah mandi di sungai. Ada banyak tempat yang bisa digunakan untuk mandi di sungai. Salah satu tempat favorit adalah di bawah jembatan ngancar. Sebuah jembatan yang menghubungkan desaku dengan desa seberang sungai. Sungai ini menjadi favorit lantaran terdapat dam (bendungan) pengairan yang memiliki kedalaman sekitar 5 meter.
[caption caption="Dam Irigasi Tempat Mandi Kali"][/caption]
Hampir setiap sore anak-anak hingga orang dewasa mandi di sungai ini. Apalagi ketika jam sudah menunjukkan pukul 17.00, banyak pelajar SMEA yang pulang sekolah melalui jembatan ini.
Kami yang mandi di bawah jembatan pun bersahut-sahutan memanggili namanya, apalagi kalau ada yang cantik menurut kami. Kami panggil namanya bagaikan guru yang mengabsen muridnya. Bahkan apabila ada seorang gadis SMEA yang cantik dan belum lewat sore itu, kami menunggunya sampai lewat sebelum pulang dari sungai.
Banyak ekspresi dari para gadis SMEA ini ketika digoda para pemuda-pemuda yang mandi di sungai, ada yang malu-malu, ada yang pura-pura enggak tahu, bahkan ada yang siap beradu mulut.
Selain mandi di kali, kadang kami juga main volly. Dulu desaku merupakan salah satu desa dengan tim volly yang cukup keren se-kecamatan. Pertandingan volly di desaku selalu lebih menarik dan seru untuk dilihat jika dibandingkan pertandingan sepak bola yang cenderung tampak seperti adu fisik.
Ketika adzan maghrib berkumandang, kami segera membubarkan diri. Kami pulang ke rumah masing-masing. Pemandangan sunset yang indah menghiasi kepulangan kami dari lapangan volly. Sebuah keindahan yang baru aku sadari ketika sudah lama meninggalkan desa ini.
[caption caption="sunset di desaku"]
Desaku punya sebuah bukit yang dinamakan Gunung Nduwur, bukit ini digunakan sebagai pemakaman umum desa. Selain ada pemakaman, ada juga beberapa pohon buah-buahan yang menggiurkan seperti Jambu Mente dan Durian. Ketika musim, kami enggak takut untuk mengambil Mente yang berjatuhan yang kemudian menggorengnya dan berlagak seperti chef di restaurant-restaurant. Karena dari biji mente yang pecah muncul minyak yang bisa terbakar api. Sehingga muncul api diatas penggorangen. Terkadang minyak mente tersebut dioleskan ke bagian tubuh untuk membentuk tato yang cukup awet di tangan.
Ketika musim Durian pun, beberapa pemilik durian mendirikan gubuk di bawah bukit untuk menunggu Durian jatuh. Bahkan secara kadangkala aku menemukan durian tergeletak dan langsung ku bawa ke rumah teman terdekat untuk dinikmati bersama.
Jalan sebelum naik ke bukit pun, berjejer banyak Pohon Salak. Apabila berbuah dan sedang ingin makan salak, seringkali temanku langsung mengambilnya empat sampai lima biji dan bilang “ini Salak punya kakekmu, enggak apa apa langsung ambil aja.” Memang sih, pemilik kebun tersebut masih ada hubungan saudara dengan nenekku, tapi aku sendiri enggak tahu gimana silsilahnya.
[caption caption="Bukit Gunung Duwur"]
Selain itu pemandangan di atas bukit ini pun cukup cantik, pegunungan dengan sungai aliran sungai cukup indah untuk diabadikan dengan lensa kamera. Meski makam terlihat begitu menyeramkan di bayangan, bukit dengan pemakaman ini merupakan salah satu tempat bermain asyik untukku dan teman-teman.
Ketika musim tanam tiba, anak-anak desa punya kegiatan baru di malam hari, yaitu mencari belut di sawah. Untuk menangkap belut kami memiliki alat sendiri. Sebuah pencapit dari bambu dilapisi dengan kaleng yang sudah di lubangi dengan paku pada bagian ujung sehingga bisa dengan mudah menangkap belut yang licin. Perlengkapan yang kami bawa ketika mencari belut antara lain pencapit/tang, sebuah timba atau krembu dan lampu petromak.
Tidak semua sawah kami datangi, kami cuma datangi sawah-sawah yang tidak terlalu dalam, karena kalau sawahnya terlalu dalam kami sulit untuk bergerak dan akan mudah capek. Biasanya kami berangkat setelah adzan isya' dan kembali sebelum pukul 22.00. Ketika rembulan bersinar terang, aku memilih untuk tidak mencari belut, karena ketika itu seringkali menemui ular di pematang sawah.
Ketika musim bunga randu bermekaran, ada juga kegiatan malam hari yang kulakukan. Yaitu berburu Kalong. Kalong ini merupakan hewan sejenis kelelawar yang ukurannya cukup besar. Bermodalkan senapan angin kami menjelajahi kebun-kebun warga yang memiliki pohon randhu yang mekar. Karena meski kepala kalong ini mirip anjing dengan gigi yang runcing, hewan ini hanya memakan buah dan madu dari pohon randhu
Berbeda dengan berburu belut yang membutuhkan penerangan, untuk berburu kalong ini harus berani gelap dan menggunakan senter kekita mencari kalong yang sudah tertembak dan jatuh. Tidak jarang kalong yang tertembak, jatuh diatas pohon kelapa. Oleh karena itu biasanya ada 1 orang ahli memanjat yang ikut dalam rombongan. Tugasku cuma membawa kalong ketika mendapatkannya. 1 Kalong itu benar-benar berat lho.
Sesampainya di rumah biasannya kalong akan langsung di olah dan di makan, paru-paru kalong ini diyakini bisa menyembuhkan penyakit sesak nafas, sehingga jatah jeroannya selalu di persembahkan kepada nenek temanku. Meski rasa dagingnya cukup enak, masih ada aroma apek pada dagingnya meski sudah dimasak. Biasanya daging kalong ini dijadikan sup oleh temanku yang jago masak.
Teman-temanku dalam perburuan ini biasanya adalah bapak-bapak. Jadi jangan heran kalau mereka pandai menembak, karena biasanya memang ke sawah sambil bawa senapan untuk menembak burung yang bisa dijadikan lauk. Ada juga yang pandai memanjat, karena hampir tiap hari memanen kelapa di pohon orang orang untuk dijual di pasar. Dan karena aku termasuk yang paling kecil, bagiannya jadi anak bawang yang tugasnya juga enggak jelas.
Setiap beberapa bulan sekali aku datang ke daerah tersebut dan udah enggak pernah nemuin keseruan anak di jamanku. Sekarang banyak anak lebih suka bermain gadget daripada mandi di sungai sambil nggodain mbak mbak seragam putih abu-abu yang lewat. Sekarang memang berbeda dengan dulu, memang perubahan enggak bisa dihindari. Ah, sudahlah, biarkan perubahan itu mengalir saja.
Salam rindu dengan desa...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H