Mohon tunggu...
Nduk Kenuk
Nduk Kenuk Mohon Tunggu... profesional -

Kejujuran&kesetiaan adalah 2 hal yg amat sangat mudah melakukannya. hanya membutuhkan keikhlasan&ketulusan. sayangnya hanya sedikit yang sanggup melakukannya..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guruku Pemulung...

19 Mei 2014   21:28 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:21 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dihimpit kemiskinan, bukan berarti harus melalaikan tugas hakiki seorang guru, yakni turut mencerdaskan bangsa. Seperti dialami Semi, guru honorer di Bojonggede, Bogor, Jawa Barat, ia nyambi sebagai pemulung. Semua demi menyambung hidup, karena honor sebagai pengajar hanya terdiri beberapa lembar pecahan 50 ribu rupiah, yang jauh dari cukup.

Fajar di ufuk timur kian menipis disapu waktu. Pagi pun tiba, ditandai semburat sinar mentari. Usai menyelesaikan rutinitas pagi, Semi bergegas menuju sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) Humaira untuk menunaikan tugasnya. Ia cukup berjalan kaki, hanya hitungan menit sudah sampai. Sesekali diantar anaknya dengan sepeda motor butut.

Menjadi guru adalah panggilan jiwanya. Sudah 28 tahun, Semi tekuni profesi ini. Sejak usia SD, Semi memang bercita-cita menjadi guru. Lulus dari SMP di Klaten, Jawa Tengah, ia melanjutkan di Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Setelah lulus, tahun 1986, berbekal niat dan keyakinan untuk mewujudkan cita-citanya, Semi hijrah ke Jakarta.

Pada awalnya, ia mengajar di TK Kristen Kutilang, Depok Timur. Lantaran gaji sebesar Rp 15.000 per bulan dirasa kurang mencukupi, ia membuka les privat. Lumayan, ada enam orang murid dengan bayaran Rp 5.000 per bulan setiap muridnya. Hal itu masih dilakoni, ketika ia telah pindah mengajar di TK Nurul Islam. Setiap hariia baru tiba di rumah sekitar pukul sembilan malam.

“Menjadi guru memang sangat berat, setidaknya sampai saat ini. Selain penghasilan yang didapat sangat tak sebanding, tapi saya tetap semangat dan tidak akan mundur dari aktivitas mengajar,” kata perempuan kelahiran 23 November 1966 yang sempat vakum sebagai guru beberapa tahun, lantaran ikut suami –yang dinikahinya pada tahun 1991— merantau ke Lampung.

Kebangkrutan usaha suami, membuatnya kembali ke Depok. Untuk beberapa waktu, uang tabungan pun ludes. Jangankan untuk menyekolahkan anak, beras sekilo pun tak terbeli. Selama setengah tahun, sekeluarga hanya mampu menyantap bubur. Sebagai pelengkap hidangan, kulit singkong atau rerumputan yang tumbuh liar di selokan dijadikan sayur. Setiap hari, dengan mengabaikan rasa malu, berbekal uang seadanya, Semi datang ke warung untuk membeli beras secukupnya.

Kondisi itu memaksa Semi untuk kembali mengajar. Bahkan jadi tulang punggung keluarga, lantaran suami tidak bekerja. Sembari mengantar putra bungsunya sekolah SD, ia ikut mengajar di sekolah itu. “Walau hanya lima puluh ribu yang dibawa pulang tiap bulannya, tak masalah bagi saya,” ujar ibu dari empat orang anak ini.

Di luar waktu mengajar, Semi tanpa risih memungut botol bekas, juga aneka barang rongsokan. Setelah dirasa banyak, ia bawa ke pengepul dekat rumah. Sampingan itu digelutinya sejak 1995. Hingga pada 2004, ia dan suami sepakat untuk mengelola sendiri. “Tidak perlu malu karena bagi saya yang dipungut itu adalah uang,” tutur anak kedua dari pasangan Salip dan Ginah ini.

Lembaran rupiah demi rupiah dari memulung itu mampu menopang kehidupan sekeluarga. Ia bisa menyekolahkan keempat anaknya. Tiga diantaranya kuliah, sementara si bungsu masih duduk di bangku SMP. Termasuk dirinya yang telah diwisuda sebagai sarjana pendidikan dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Arrahmaniyah, Depok, pada 2012 lalu.

Seakan tak mau menikmati hasil sendiri, Semi pun menularkan semangat itu baik kepada anak maupun muridnya di sekolah. Sejak setahun terakhir, ia menerapkan tabungan sampah bagi anak didiknya. Awalnya, beberapa murid merasa jijik, namun setelah saya berikan contoh bahwa dengan sampah mereka bisa membiayai pendidikan. Contohnya saya sendiri,” ujar ibu dari Sendy Primadewi, Pionier Graff Swanurita, Winner Sedayu, dan Karon Namas Jasadewa ini.

Diakuinya, menjadi guru itu sangatlah berat. Apalagi merangkap jadi tukang beling alias pemulung. Masih terngiang dengan jelas, ketika Semi memulai profesi sampingannya itu. Bisik-bisik tetangga hingga cacian dan makian acap diterimanya. Tapi semua itu dihadapinya dengan tegar. Ia tak memperdulikan omongan orang sekitar. Baginya, yang penting tidak mengharap belaskasihan orang lain.

Barang rongsokan yang menggunung, seakan menutupi bangunan rumahnya. Di rumah sederhana yang terletak di Kampung Duren Baru, nomor 15, RT 05/07 Susukan, Bojonggede, Kabupaten Bogor itu, Semi dan keluarga terus memupuk semangat pantang menyerah untuk meraih cita-cita. “Keadaannya masih sama seperti dulu, tidak ada yang saya rubah. Hanya ruang tamu ini baru beberapa bulan lalu saya keramik,” ujar guru yang masih berstatus honorer ini sembari memilah-milah botol minuman ditemani si bungsu.

Jika dibanding belasan tahun silam, kini kehidupannya kian membaik. Di samping mendapat penghasilan dari mengajar dan memulung, ketiga anaknya pun sudah bisa mandiri. Bahkan, selain tetap memulung sendiri, ia pun menampung rongsokan dari para pemulung sebelum akhirnya diangkut oleh bandar besar.

Meski merasa bisa tegar dalam menghadapi realitas hidup yang begitu menyulitkan tak lantas ia lupa diri. Semi selalu menanamkan rasa syukur pada anak-anaknya atas apa yang diraih. Penghasilannya sebesar Rp 600.000 per bulan, ia sisihkan sebagian untuk membiayai anak yatim yang belajar di tempatnya bertugas. Sementara untuk kebutuhan hidup keluarga, ditutupi dari hasil memulung. “Setiap hari Jumat, kami berusaha menyisihkan untuk sedekah,” ucap perempuan paruh baya yang akan terus mengabdi sebagai tenaga pendidik hingga ajal menjemput.



(kenuk kurniasih)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun