Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan. Begitu pesan Bung Karno, proklamator sekaligus Presiden Pertama RI. Tapi, setelah 69 tahun Indonesia merdeka, tak sedikit para vetaran perang kemerdekaan tetap hidup memprihatinkan. Salah satunya Ilyas Karim.
Di usia yang sudah tidak muda lagi, kebanyakan veteran harus berjuang sendiri untuk menyambung hidup. Ironis memang. Para pejuang yang telah berkorban dengan jiwa dan raga seolah terlupakan. Bahkan, tidak sedikit mereka hidup terlunta di tengah zaman merdeka yang dulu diperjuangkannya.
Satu dari sekian ribu veteran perang yang masih hidup itu adalah Ilyas Karim (87). Di pemukiman padat di pinggir rel kereta di Jalan Rawajati Barat, Kalibata, Jakarta Selatan itu Ilyas hidup apa adanya. Bahkan rumah yang 32 tahun ditempatinya pernah dilalap si jago merah pada Desember 2013. Wajar bila warna cat rumah sederhana yang dibangun kembali setengah tahun lalu tersebut masih tampak baru.
Sore itu sambil menunggu waktu berbuka, kepada kami, dia bercerita bagaimana paniknya saat api menghanguskan rumah beserta isinya. Tak terkecuali benda kenangan dan foto-foto semasa zaman revolusi dulu. Bersama istri dengan sekuat tenaga berlari untuk menyelamatkan diri. “Selamat dan tidak terluka saja sudah syukur,” tuturnya. Padahal penglihatannyasudah amat terbatas ditambah stroke mata. Bahkan beberapa tahun terakhir keadaannya lebih parah, matanyaharus diplester agar tidak terpejam.
Memang, dalam catatan sejarah, nyaris tidak ada seorangpun yang mengenalnya, kecuali jika ia sendiri yang bercerita. Ilyas merupakan saksi sejarah kemerdekaan Indonesia. Dia pernah tercatat sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Selain ikut bergerilya mengusir penjajah, dia pernah bertugas menjadi pasukan perdamaian di Lebanon, Vietnam, dan terakhir di Kongo pada 1961. Setelah puluhan tahun menjadi tentara, hidup Ilyas tak bergelimang harta.
Meski hidup dalam keterbatasan, pria kelahiran Batusangkar, 31 Desember 1927 ini tak mau terpuruk meratapi nasib. “Hidup itu untuk mengabdi bukan untuk berdiam-diam saja,” ujar putra dari mantan camat di Matraman ini.
Keberadaannya di pemukiman padat penduduk di bantaran rel kereta api bermula ketika tahun 1981, dia harus mengosongkan asrama tentara Siliwangi di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Dua tahun sebelumnya, Ilyas pun dinyatakan pensiun dari dinas kemiliteran dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel. Untunglah, tahun 1985, kala itu pihak PJKA (PT KAI) memberikan lahan untuk dibangun rumah. Meski diberi sebidang tanah, namun untuk rumahnya, dia harus membangun sendiri.
“Kepala stasiun sendiri yang menyuruh saya buat rumah disitu. Dia tahu saya pejuang dan diusir dari asrama. Dia kasihan sama saya,” katanya. Beruntung setelah uang pensiunnya dihentikan, dia mendapatkan dana veteran sebesar Rp 2 juta per bulan.
Meski usianya terbilang sangat sepuh, Ilyas masih tetap aktif sebagai Ketua Yayasan Pejuang Siliwangi Indonesia, sebuah perkumpulan veteran yang menangani anak yatim, orang jompo dan lainnya. Bahkan atas dedikasinya itu, Ilyas mendapat kesempatan untuk menunaikan ibadah haji tahun 1985. “Haji itu wajib bagi yang mampu, sebelum meninggal diusahakan bisa naik haji. Alhamdulillah saya sudah melaksanakan walaupun diberangkatkan,” ujarnya.
Di sisa hidupnya, kakek 28 cucu ini tidak berharap lebih. Ilyas hanya ingin menghabiskan masa tuanya dengan melihat kemerdekaan rakyat Indonesia dan menikmati sisa umurnya. Di dekat rumahnya, dia berinisiatif membangun sebuah mushola yang dinamai Al Yaqin untuk wagra sekitar. “Saya hidup paling tidak lama lagi, saya hanya ingin cari pahala. Sudah nggak mau cari harta, jadi beramal saja,” katanya yang masih semangat menjalankan ibadah puasa Ramadhan.
(kenuk kurniasih)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H