Mohon tunggu...
Nduk Kenuk
Nduk Kenuk Mohon Tunggu... profesional -

Kejujuran&kesetiaan adalah 2 hal yg amat sangat mudah melakukannya. hanya membutuhkan keikhlasan&ketulusan. sayangnya hanya sedikit yang sanggup melakukannya..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indahnya Teguran Allah

30 September 2014   20:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:55 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lama hidup jauh dari Allah, Sugiyanto dapat teguran berupa kelumpuhan. Dia pun bertaubat, lalu datang keajaiban, dirinya sembuh. Dapat kembali berjalan. Kini, dia menjalani hidup penuh istiqomah sebagai pedagang kaki lima di kawasan Kota Tua Jakarta.

Sekilas, tidak ada bedanya Sugiyanto dengan pedagang kaki lima lainnya yang mengelar lapak dagangan aneka minuman di kawasan Kota Tua, Jakarta. Pria yang biasa disapa Yanto ini menjalani usaha dengan istiqomah. Semangatnya menjemput rezeki tak pernah goyah. Baginya Allah selalu menyertai orang-orang yang selalu bersyukur dan berserah diri dengan apa yang diperoleh. “Rezeki Allah yang mengatur, nggak usah takut,” kata pria dengan dua anak ini.

Yanto sebelumnya berprofesi sebagai supir truk. Dulu, lantaran begitu getol bekerja, dia sempat melupakan Allah. “Terkadang pas waktu dzuhur masih nyetir di jalan tol. Tahu-tahu sudah lewat waktu dzuhur. Lama-lama menjadi kebiasaan,” ujar pria kelahiran Jakarta, 31 Desember 1960 ini.

Hingga suatu hari, Allah menegurnya. Tepatnya 11 tahun silam, tiba-tiba Yanto mengalami kelumpuhan tanpa sebab. Anehnya, setelah diperiksa, pihak rumah sakit menyatakan secara medis tak ada penyakit yang menyebabkan lumpuh. Sontak, para kerabat pun menganggap Yanto terkena santet. Namun pria jebolan salah satu pesantren di Pandeglang, Banten ini tak mau berburuk sangka.

Inilah titik nadir kehidupan Yanto sekeluarga. Siti, istrinya yang bekerja sebagai buruh pabrik risleting dengan upah Rp 200 ribu per minggu mau tidak mau jadi harapan satu-satunya sebagai tulang punggung keluarga menggantikan dirinya. Dengan penghasilan sebesar itu, sang istri harus menanggung biaya pengobatannya dan dua orang anak yang harus diberi makan. Melihat kondisi itu, Yono, anak sulungnya harus rela menyudahi sekolahnya sampai SMP dan lebih memilih menjadi kenek bangunan demi menopang hidup ayah, ibu, dan adiknya. “Saat itu saya terpukul, mungkin inilah cara Allah menegur saya,” tuturnya.

Seiring berjalannya waktu, kondisi Yanto bertambah parah dan tubuhnya menjadi kurus. Hingga suatu ketika, saudaranya menyarankan kepada Yanto untuk mencoba pengobatan alternatif di daerah Tangerang. Yanto pun diboyong untuk menjalani rawat inap.

Satu setengah tahun menderita lumpuh tanpa sebab membuat Yanto sadar, kemudian bertobat kembali pada Allah. Hari-harinya, siang dan malam, hanya dilalui dengan berdzikir. Suatu malam, saat tengah berdzikir, ia melihat cahaya dan taburan bintang di depan wajahnya dalam keadaan terjaga. Dipandanginya satu per satu bintang itu hingga menghilang dari pandangannya. Entah kenapa, seketika itu juga ia merasakan tubuhnya seringan kapas. Ia pun bangkit dari pembaringan, lalu berdiri dan seakan ada yang menuntun mencoba untuk berjalan. “Subhanallah, saya bisa berjalan lagi. Langsung seketika itu juga saya sujud syukur, mohon ampun dan berikrar tak akan lagi melupakan Allah,” ujarnya.

Tinggal di lorong sempit dan gelap di tengah Ibu Kota, Yanto sekeluarga bahagia dengan yang mereka miliki. Sudah lima tahun mereka menetap di kontrakan padat penduduk di Jalan Kertajaya RT 09/14 Penjaringan, Jakarta Utara. Yanto bersyukur, sejak setahun lalu, rumah petak itu resmi menjadi miliknya. Pemilik kontrakan melepas rumah itu pada Yanto dengan harga miring. Memang, bangunan sederhana, tidak ada kursi tamu maupun tempat tidur, hanya kasur tipis yang menjadi alas tidur mereka.

Semangatnya untuk menghidupi keluarga tak pernah pupus. Jika malam hari mengadu nasib sebagai pedagang kaki lima di kawasan Kota Tua, maka di siang hari Yanto dan istri membuka warung nasi kecil-kecilan di depan gang. Siti pun memutuskan untuk keluar dari pabrik. “Alhamdulillah, selalu habis jualannya. Saya memang sudah nggak mau kerja, takut lupa lagi sama Allah. Saya mau jualan begini saja bersama istri,” tutur Yanto yang rela bertarung dengan dinginnya angin malam kala menjajakan aneka minuman selepas Isya hingga pukul 02.00 dini hari.

Semua itu rela ia lakukan demi terbebas dari lilitan utang sebesar Rp 5 juta kepada ‘bank keliling’ sewaktu buka warung. Ia pun tak mau anak bungsunya –yang tengah menempuh pendidikan kelas dua SMK— senasib dengan anak sulungnya yang putus sekolah. “Harus bayar untuk biaya bank keliling Rp 80.000 sehari, biaya sekolah Hendrik dan biaya yang lainnya. Kalau dipikir-pikir, uang dari jualan siang malam ngepas. Malam hari paling rata-rata dapat Rp 100.000, belum dipotong untuk penitipan gerobak Rp 30.000 per minggu, uang ketertiban per malam Rp 4.000. Belum lagi untuk modal dagang, Alhamdulillah bisa terbayar dan cukup,” ujarnya.

Kini kehidupan Yanto tidak lepas dari berdoa, berusaha, dan berserah kepada Sang Khalik. Baginya, sebagai manusia, tidak boleh berpangku tangan, karena Allah tidak akan mengubah nasib seseorang, kecuali orang itu sendiri yang berusaha. “Dapat banyak maupun sedikit, syukuri saja. Allah yang mencukupi, yang penting jujur dalam mencari uang. Peristiwa masa lalu telah menyadarkan saya. Sekarang hidup saya serahkan untuk Allah, saya ingin menebus kesalahan saya, karena dulu pernah melupakan-Nya,” ujar dia berharap.

(kenuk kurniasih)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun