Di tengah hiruk pikuknya wacana program pendidikan yang digagas oleh kementerian pendidikan, mulai rencana full day school dan delapan jam guru di sekolah sepertinya ada sisi lain dunia pendidikan yang terkesampingkan. Terobosan-terobosan yang digodhok oleh para pakar pendidikan negeri ini masih memicu pro dan kontra, bahkan cenderung banyak pihak yang tak sepakat.
Wacana pendidikan nasional ke depan selalu mempertimbangkan keberhasilan dan kemajuan. Akan tetapi, tidak seluruhnya aplikatif dan solutif terutama proses pendidikan yang berlangsung di daerah dan pelosok. Beruntung, wajah-wajah yang peduli terhadap dunia pendidikan masih bertebaran di negeri ini.
Sebut saja gerakan Indonesia Mengajar, Komunitas Seribu Guru, Komunitas 1001 Buku, Save Street Child, Indonesia Bercerita dan lain-lain. Mereka adalah komunitas-komunitas yang langsung terjun dan sepertinya tidak terlalu kaku dalam menyikapi peraturan-peraturan pendidikan formal yang ada. Terpenting kontribusinya bisa langsung dirasakan oleh banyak anak di negeri ini.
Ruwetnya manajerial dalam menyusun rancangan terbaik dunia pendidikan di negeri ini banyak tidak disadari oleh peserta didik di berbagai daerah. Mengapa? Karena mereka hanya menginginkan ketepatan, kebermanfaatan, dan kelancaran dalam menempuh pendidikan di sekolah. Ya. Peserta didik hanya mengikuti kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh para “bapak” di negeri ini.
Ketika kurikulum berubah dalam rentang waktu yang cukup singkat maka goal pendidikan sepertinya sulit tercapai. Ya, mencerdaskan anak bangsa sepertinya akan lebih sulit terwujud.
Maka gerakan-gerakan dan komunitas-komunitas yang mendidik Indonesia ini justru lebih punya “wajah” dan kontribusi besar dalam mewujudkan tujuan pendidikan ‘mencerdaskan anak bangsa.’ Bagaimana tidak? Pendekatan-pendekatan yang mereka lakukan untuk menarik minat belajar rupanya lebih produktif dan terbukti. Keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat justru lebih diapresiasi, terlebih masyarakat yang ada di daerah.
Ketika di daerah atau pelosok, dalam mendidik, anak menjadi prioritas dibanding sistem. Sistem walaupun sudah baik, tak jarang untuk tidak teraplikasikan. Ia justru menjadi pembatas-pembatas bagi anak-anak pinggiran, daerah, dan pelosok. Maka menjadi tenaga pendidik, guru di daerah harus memiliki tingkat sukarela dan keikhlasan yang tinggi. Pola-pola persuasif yang atraktif, interaktif, dan kreatif menjadi kuncinya. Belum lagi pengaruh adat istiadat setempat yang juga perlu dilibatkan dalam proses pendidikan.
Nyata adanya, anak menjadi warisan negeri ini untuk menjadi aset berharga. Pembentukan karakter dalam pendidikan menjadi tanggung jawab setiap tenaga pendidik di tengah dekadensi moral anak bangsa yang kian merebak.
Saatnya, kembali lagi pada metode memberikan perhatian kepada murid, mempedulikan dengan baik perkembangan pendidikan tiap murid, dan membenahi perilaku murid tanpa rasa segan. Pendekatan pendidikan melalui pendidikan akhlak kali ini lebih memiliki potensi besar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H