Ada sesuatu di matanya yang entah apa.
Sesuatu yang belum aku tahui bentuknya.
Mata coklat bening itu, menghanyutkan.
Selama ini aku terlalu sibuk memaksimalkan logikaku demi menata hari depan seperti yang dimaui ibu. Pikiranku dipenuhi berbagai cara untuk mencapai apa yang disebut ibuku kemapanan. Entah sudah berapa lama aku mengabaikan mau hati karenanya.
Di seusiaku, laki-laki sudah berkali-kali berganti pasangan. Mereka bilang itu kesenangan. Beberapa bilang itu tuntutan perasaan. Aku bahkan belum pernah merasakan yang mereka gunjingkan. Padahal, aku tak terlalu buruk untuk dijadikan pilihan.
***
“Aku pulang.” Joko membuka pintu dan menebar pandangannya ke seisi ruangan. Tak didapati yang ia cari.
“Sayang, kamu dimana?” tanyanya setengah berteriak, memastikan suaranya terdengar oleh yang disapanya. Joko terduduk di kursi jati di ruang tamu, melepas sepatu. Melepas peluh setelah delapan jam bergumul dengan pekerjaannya.
“Aku di kamar, sayang. Baru selesai mandi.” terdengar jawaban, samar.Tak menunggu lama, Joko bergegas menuju sumber suara. Pintu kamar terbuka dan dilihatnya si asal bunyi sedang mematut diri di depan cermin. Seperti biasa, kekasihnya terlihat mengagumkan, untuknya.
“Kamu capek, ya? Sini duduk di sampingku.” sisir masih di genggaman sang kekasih saat Joko mendekat dan duduk merapat di atas dudukan kayu. Kini keduanya menghadap cermin. Kecupan mendarat di kening.
Joko meregangkan dasi abu-abunya. Terbuka dua kancing kemeja setelahnya. Wajahnya terlihat lebih sumringah ketimbang jam pulang kerja hari-hari sebelumnya. Selalu ada keluhan tentang ini itu anu yang dibawanya ke rumah selepas pukul lima, tapi tidak hari itu.
***
Hari itu, kusempatkan mengeluh pada ibu. Keluhan tentang cemooh orang-orang terhadapku. Cemooh tentang calon perjaka tua kesepian. Cemooh tentang kemungkinan ketidaknormalan seksual. Tahu apa mereka tentangku? Mereka mengucap aku begini, aku begitu, seolah mereka hakim kehidupan rasaku. Seolah mereka adalah yang paling benar dalam kenormalan yang mereka yakini.
Ingin sekali kubungkam mulut-mulut sumber bunyi memuakkan itu. Ingin sekali kuhadiahi mereka cermin satu-satu. Cermin yang akan memantulkan balasanku. Cermin yang pecahannya akan menghakimi setiap kata hina mereka terhadapku.
Ibu bilang jangan saat kuutarakan tentang hadiah cermin itu. Percuma. Bahkan cerminpun tak akan mampu menghadapi mereka. Biarkan mereka dengan pongahnya dan aku dengan caraku. Atau patahkan saja pijakannya, kata ibu, supaya menjejak, tegak pada predikat yang dikiranya layak sementara mata-mata tak pernah berhenti menyimak neraka dalam kepala mereka. Sesak.
***
“Tumben, tak ada keluhan.” Joko hanya tersenyum simpul mendengarnya.
“Ada kabar baik apa hari ini?” Joko masih tak berhenti tersenyum. Ia jelaskan pada pasangannya perihal rencana keberangkatannya ke Belanda. Joko terpilih bersama empat penulis lainnya untuk mewakili Indonesia di ajang festival penulis tingkat dunia. Ini adalah mimpi Joko. Mimpi yang ia tutupi rapat-rapat dari ibunya.
Ibu Joko yang tradisional menginginkan anak satu-satunya itu menjadi pegawai negeri. Menjadi kebanggaan keluarga besar. Joko tak pernah tahu dimana letak bangga jadi seorang pegawai berseragam coklat yang kerap jadi bahan bulan-bulanan masyarakat. Dalam ketidakmengertiannya itu, ia tetap mengabulkan cita-cita ibunya. Setelah rampung kuliah di institut pertanian ternama, ia mendaftarkan diri sebagai CPNS Departemen Pertanian.
Bekal kuliah manajemen pertanian menempatkannya di bagian manajerial. Hal yang disenanginya dari pekerjaan ini ialah ia seringkali ditugaskan bertandang ke desa-desa untuk memberi penyuluhan tentang penerapan sistem manajemen pertanian terbaru kepada para petani. Ia senang karena ia bisa berhari-hari jauh dari ibunya. Tanpa bermaksud durhaka, ia hanya ingin beberapa jenak puasa dari racauan sang ibu tentang calon istrinya yang harus berbibit baik dan berbobot apik. Calon istri yang dipercaya ibunya akan datang di saat yang tepat, nanti. Calon istri yang tak penah ada.
Suasana pedesaan memberinya banyak inspirasi untuk menulis. Ia selalu menyempatkan diri menulis di sela-sela kunjungan penyuluhannya. Tiga novel dan dua buku kumpulan cerpen telah dihasilkannya. Kesuksesan yang ia tutupi dari ibunya. Ia sempat katakan soal kegemarannya menulis pada ibunya, dulu. Pernyataan soal cita-cita yang tak pernah diamini si orang tua. Sejak itu, ia tak pernah bicara lagi tentang menulis. Sejak itu, ia semakin kecanduan menulis. Sejak itu, Jo menjadi nama penanya saat menulis.
***
Demi memenuhi kelayakan disebut mapan, aku beranikan diri mengkredit rumah tak jauh dari kantorku. Gajiku cukup untuk uang muka saat itu. Usahaku cukup membuat ibu mengelu-elukan namaku di arisan keluarga sejak itu. Dengan susah payah, aku berhasil membujuk ibu untuk menempati rumahku sendirian, tanpanya. Alih-alih memupuk kemandirian, kuboyong kekasihku ke rumah baruku. Kekasih yang kututupi rapat-rapat dari ibu.
Aku mengenalnya seminggu setelah kutempati rumah baru. Sore itu, Sabtu, ia datang membawa sekotak bolu, pertanda perkenalan tetangga baru. Aku tahu aku jatuh cinta padanya setelah percakapan kami. Aku tahu aku jatuh cinta padanya setelah mata coklat beningnya tak henti menatapku nyaris setiap pagi.
Namanya Jo, seorang penulis berbakat. Ia menulis banyak cerita yang tak pernah kubaca. Setelah kali pertama kami bercinta, aku memintanya untuk tinggal bersamaku. Ia setuju. Tak banyak yang tahu kepindahannya dari rumah sewa ke rumahku. Tak banyak yang mengetahuinya. Ia penulis yang senang tinggal berlama-lama dalam ruangan demi mendapat ketenangan meramu cerita. Ia tak pernah kemana-mana saat aku kerja. Ia, lelaki setia.
***
“Bagaimana dengan pekerjaanmu?”
“Aku akan ambil cuti seminggu. Aku belum pernah ambil cuti, mereka pasti mengijinkan. Lagipula, festivalnya hanya lima hari dan aku mau kamu ikut.” Joko menggenggam tangan kekasihnya, menunggu jawaban.
“Sayang, bukan aku tak mau., tapi kita tak punya cukup uang untuk biaya dua orang ke Belanda. Aku tinggal di sini saja.”
“Aku lupa bilang, segala keperluanku ditanggung penyelenggara. Aku diundang, sayang. Aku tamu, bukan pastisipan. Jadi, kita hanya perlu biaya buat satu orang, buatmu. Kurasa tabunganku cukup untuk itu. Kita akan menikah di sana. Kita akan menikah, sayang.” Joko meyakinkan.
“Jangan konyol. Kamu kira segampang itu kita bisa menikah. Meski di sana melegalkan pernikahan kita, tapi kita ini pendatang, bukan warga negara sana.”
“Tenang. Aku akan urus semuanya jadi mudah. Ada kolegaku di Belanda yang mengerti birokrasi pernikahan di sana. Kita akan menikah.” Sekali lagi Joko meyakinkan lawan bicaranya. Tak ada jawaban setelah kalimat terakhir Joko. Hanya pelukan hangat tanda setuju. Tak ada ragu. Tak ada pengganggu.
“Sebentar, kubuatkan teh hangat untukmu. Kamu pasti lelah” Joko melepaskan pelukan dan menatap sang kekasih berjalan ke dapur. Ia metap cermin dengan senyum lebar tanpa bahagia, rasa yang kini tahu seperti apa.
Joko mengambil sebungkus rokok di saku celana yang tinggal separuh isinya, teman setia menikmati teh hangatnya nanti. Ia pantik korek yang sedari tadi ada di hadapannya, di meja rias tempat kekasihnya bersolek selepas mandi tadi.
***
Bau gas menyengat dari dapur. Rumah mengejang, perabot terlempar tak tentu arah saling bentur. Bara rokok menjelma siluman api, menerjang mukaku menjalari sampai kaki, memberangus sekeliling tanpa permisi. Kudengar suara Jo berteriak lalu tak ada suara lagi. Aku sempat melihat cermin yang pecahannya memantulkan mata coklat Jo, mata coklatku, lalu tak kulihat apa-apa lagi kecuali gelap.
Depok, Oktober 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H