"Mbah...!"
Aku mendengar suara seseorang memanggil dari luar. Ranting-ranting kayu bakar yang sedang kususun kutinggalkan. Aku beranjak ke luar, melintasi ruang tengah yang hampa, menuju asal suara.
"Mbaaah!"
Suaranya terdengar sekali lagi, kali ini lebih tegas. Aku bergegas. Ketukan terdengar bertalu seiring suara hujan serta angin menderu. Sejak pagi, hujan tiada henti.
Sudah lama tak ada yang mengetuk pintuku. Sejak dua anak perempuanku mekar dan berkembang jadi ibu. Aku, nenek tua yang sedang merindukan cucu-cucunya.
Aku ingat betul bagaimana terakhir kali kami berkumpul sebagai keluarga, dua tahun silam. Sebuah ritual lebaran yang tak ingin kuulang. Benar saja, tak ada yang datang setahun kemudian. Idul Fitri hanya kurayakan berdua dengan suamiku, di pusaranya.
"Pak, pagi tadi aku menikmati opor ayam sendirian. Tak ada perayaan. Tak ada anak cucu kesayangan. Mereka menjadi orang asing bagi saudaranya sendiri. Hardiklah mereka untuk kembali." Di sela air mataku yang tegak menghangatkan pipi, aku memohon pada nisan mati. Permohonan yang jadi doa, kurapalkan di setiap usai sujudku.
Aku membuka pintu. Bersamaan dengan itu, dadaku mendesir. Jemari tuaku sekejap menggenggam erat daun pintu yang terbuka kini.
"Mbah."
Lelaki muda di depanku menarik paksa tangan kananku, menciumnya. Aku bergeming.
"Mbah lupa sama aku? Aku Dito, anaknya ibu Harni, anak Mbah."