Mohon tunggu...
Andi Gunawan
Andi Gunawan Mohon Tunggu... lainnya -

Anak Indonesia dan Tukang Cerita. Untuk kalimat pendek, colek saya di @ndigun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seni Meruang dalam Sesaknya Kota

21 Desember 2011   09:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:57 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota yang penuh sesak adalah firdaus yang hilang

dan kita menemukannya kembali dalam kesenian.

Kira-kira, begitulah frasa yang ditulis oleh Zen Hae. Saya membacanya menempel pada tas jinjing berisi rilis pers dalam pembukaan Jakarta Biennale 14, Kamis [15/12], di Galeri Nasional, Jakarta. "Kota yang Penuh Sesak" [Maximum City] diusung sebagai tema pesta seni rupa kontemporer internasional tersebut.

Pagelaran dua tahunan ini kembali meruang di Jakarta sejak 15 Desember 2011 hingga 15 Januari 2012. Lebih dari 180 seniman, baik lokal maupun internasional, berpartisipasi memamerkan karyanya.

Karya peserta Jakarta Biennale 14 tidak hanya dipamerkan dalam galeri-galeri seni, tetapi juga tersebar di berbagai ruang publik seperti Bunderan HI, Taman Menteng, Taman Ayodya, Underpass Grogol, kantor pos polisi sepanjang Jalan Thamrin, tiang-tiang pancang monorail, hingga pusat perbelanjaan Central Park di kawasan Jakarta Barat.

Salah satu karya yang ditampilkan adalah milik Julie Rrap, seniman Australia. Selama 25 tahun terakhir, Rrap memfokuskan diri untuk berkarya dengan problem tubuh dan reperesentasi perempuan dalam seni dan media. Karyanya yang bertajuk 360 Degree Self Portrait kali ini bertumpu pada video dalam ruang gelap yang menunjukkan waktu tak terbatas.

"360 Degree Self Portrait"

Penyelenggaraan Biennale, sebagai ajang seni rupa, secara internasional telah disepakati sebagai acuan pencapaian seni pada umumnya, seni rupa pada khususnya. Selain itu, juga menjadi tolok ukur kemajuan suatu kota atau suatu bangsa. Hal ini, tentu saja, dilandasi hubungan antara seni dan kota dan saling mempengaruhi.

Seni yang baik membutuhkan tempat yang kondusif untuk tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, kota yang semakin maju, sewajarnya memberi ruang bagi seni. Dalam konteks inilah, Jakarta Biennale menjadi penting untuk tetap ada, bahkan terus berkembang.

"Karya-karya dalam Jakarta Biennale 14"

Dengan pemanfaatan yang maksimal, seni tidak lagi bertahan di menara gading dan hanya dinikmati segelintir orang, tapi di mana saja, untuk kita semua. Dengan begitu, diharapkan terjadinya pemerataan dan peningkatan apresiasi masyarakat terhadap seni, sehingga mampu member kontribusi yang lebih baik untuk membangun kota.

-------------------------------------------------------------------------------------

[TEKS Andi Gunawan FOTO Aditya Okta Virmana]

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun