Bulan Agustus menjadi bulan yang meriah bagi Indonesia. Nuansa merah-putih membauri Nusantara dengan gegap gempita semangat nasionalisme yang entah mengapa mendadak menyala di satu tanggalnya, 17 Agustus. Banyak orang gembar-gembor soal kemerdekaan. Antara sebuah perayaan atau sekadar kebiasaan.
Beragam ucapan untuk bangsa ini terpampang di segala ruang. Mata saya dibuat lelah membaca kalimat seragam di spanduk-spanduk di jalan menuju Bantar Gebang: "Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia Ke-66″ atau "Selamat HUT Indonesia Ke-66″
Indonesia ke-66? Bukankah itu berarti ada 65 Indonesia lainnya? Di mana 65 lainnya itu? Saya hanya tahu ada satu Indonesia. Koreksi jika saya salah. Setahu saya, yang "ke-66″ itu adalah tahun kemerdekaan Republik Indonesia, bukan jumlah Indonesia. Saya kira penggunaan HUT pun agak kurang tepat. Singkatan dari Hari Ulang Tahun ini biasanya diasosiasikan dengan hari kelahiran. Bukankah Indonesia sudah ada sebelum 17 Agustus 1945? Apa yang sebenarnya sedang diperingati? Kemerdekaan Indonesia? Ulang tahun Indonesia? Atau jumlah Indonesia yang sudah mencapai enam puluh enam? Entahlah, saya hanya ingin mengucapkan: Selamat Hari Kemerdekaan Ke-66 Republik Indonesia.
Merdeka Berkreasi
Seperti warga Indonesia lainnya yang merayakan Hari Kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus, saya pun ingin merayakannya. Tahun ini, saya menjadi relawan Akademi Berbagi dan merayakan agenda tahunan ini bersama anak-anak pemulung di Bantar Gebang. Mereka merupakan anak-anak didik Kelompok Belajar Al-Falah. Mereka bergabung dengan kelompok belajar ini karena tak dapat belajar di sekolah umum akibat terkendala syarat administrasi. Anak-anak itu tak memiliki akta kelahiran dan  orangtuanya tak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) serta kartu keluarga (KK) karena mereka tinggal secara ilegal dalam bedeng-bedeng ala kadarnya bersama tumpukan sampah. Akademi Berbagi membuka kelas di sana karena mereka-juga siapa saja-berhak untuk menjadi pintar.
"Akademi Berbagi bertujuan memberi kesempatan bagi siapa saja untuk lebih pintar," papar Ainun Chomsum, penggagas Akademi Berbagi, dalam sambutannya. Akademi Berbagi merupakan gerakan sosial bidang pendidikan informal. Bentuknya adalah kelas-kelas pendek dan terbuka bagi siapa saja yang diajar oleh para ahli dan praktisi di bidangnya masing-masing.
Sebuah kelas kreatif yang khusus ditujukan bagi anak-anak kaum marginal yang bertajuk Merdeka Berkreasi untuk Anak Negeri ini diawali dengan upacara peringatan 66 tahun kemerdekaan RI pada pagi harinya. Ini adalah kali pertama anak-anak itu melakukan upacara bendera. Ya, kali pertama!
Akademi Berbagi/Dhana Puji
Selepas upacara, anak-anak diajak bermain dan berlomba mengenal bagian-bagian tubuh dalam bahasa Inggris. Kelas baru dimulai pada pukul 15.30 WIB setelah prosesi pembacaan teks proklamasi oleh seorang anak. Sebanyak 50 anak pemulung mengikuti kelas kreatif yang diajar oleh seniman Pidi Baiq, Tita Larasati, dan Ihsan, pendiri EcoEthno Kids Adventure. Ketiganya berusaha mengembangkan minat dan bakat anak-anak yang mengikuti kelas tersebut dengan pendekatan kreativitas.
Ihsan mengawali kelas dengan permainan Tupai dan Pohon yang mununtut kerja tim dari setiap tiga anak. Dengan begitu, mereka belajar kerja sama dan koordinasi dalam aktivitas motorik. Kemudian anak-anak diberi kertas gambar dan diminta menggambar tempat duduk yang bukan kursi lalu alat penanggulangan tentara dari Mars oleh Pidi Baiq. Anak-anak itu menggambar apa saja yang mereka pikirkan tentang dua hal tersebut. Perlahan, kreativitas mereka mulai terpancing. Inilah yang disebut merdeka berkreasi. Bahwa belajar tak melulu urusan teks dan buku.
Akademi Berbagi/Suryo Brahmantyo