Mbak Tuti
Sejak kali terakhir kau menghubungi kami, sejak nomorku habis masa tenggang karena pulsa tak terbeli, Ibu tak pernah berhenti menyebut namamu, nyaris setiap hari.
Sejak tuanmu tak balas pesan elektrikku, sejak kau cerita soal daging babi itu, pasti kau bekerja tak sefokus dulu.
Aku tahu kau berharap ibumu, anak-anakmu, adik-adikmu, aku baik baik saja, pun kami di sini berharap sama. Meski kami tak pernah sebaik sebelumnya, berhentilah berprasangka.
O, ya, Sulungmu sudah mulai sekolah. Ada TK dekat rumah yang terima cicilan dan cukup murah. Dia sudah bisa berhitung dari satu sampai entah.
Adiknya, Uwi, sedang cemburu. Cemburu melihat abangnya pakai seragam lima hari seminggu. "Uwi mau sekolah,juga," katanya lugu.
Azis yang dulu kaukira bisu sudah cukup handal memekakan telinga seisi rumah. Mesti bicaranya tak terlalu jelas, dia hobi marah-marah. Marah saat adiknya menyamber gelasnya lalu tumpah. Marah saat rebutan mainan dengak kakak-kakaknya yang berakhir mainan patah.
Bungsumu amat lucu. Gemar bertingkah ini itu. Main air dan lempar batu. Dia sedang flu. Batuk-batuk tak berhenti sudah seminggu. Mungkin karena air hujan, bisa jadi karena debu. Kau tahu? Rumah ini tak pernah sebersih dulu.
Ini sudah nyaris setahun kau di negeri singa. Semoga kau baik saja di sana. Jangan risaukan anak-anakmu. Toh, aku ada menjaganya untukmu. Aku pesan satu: jangan makan babi itu!
---
14 Januari 2011
A, saudara lelakimu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H