Slamet tak menemukan tali di sekitar kontrakannya. Ia berjalan tertatih-tatih ke warung Mpok Jaenab berharap ada tali nganggur disana. Benar saja, ia mendapat tali kur dan sebungkus nasi rames cuma-cuma. Ia juga meminjam pisau alih-alih talinya kepanjangan untuk mengikat kardus mie instan yang dipenuhi pakaian. Slamet kembali ke kontrakannya setelah ia mendapat yang dicarinya. Dipandanginya lekat-lekat sekali lagi potret istrinya sebelum dimasukan ke dalam kardus untuk kemudian diikat.
Utok memang tak berhasil menemui Johan. Beruntung, Mbak Mir memiliki uang simpanan. Dipinjaminya enam ratus ribu rupiah tanpa bunga, tanpa tenggat waktu pengembalian. Utok merasa sangat beruntung hari itu.
***
Cari Angin
Dengan enam ratus ribu di sakunya, Utok bergegas pulang. Air mukanya riang. Ia tak sabar bertemu Slamet untuk mengabarkan bahwa mereka tak harus pergi dari kontrakan. Disusurinya jalan-jalan sempit padat sampah disana-sini. Sampah rumah tangga, sampah masyarakat, sampah duniawi.
Memasuki gang lurus menjurus kontrakannya, ia menemukan orang-orang berkumpul. Sebagian panik. Sebagian saling berbisik. Orang-orang itu memenuhi sekitaran depan petak perseginya. Utok mulai panik. Langkahnya yang dipercepat terhenti, tertahan tangan Mpok Jaenab yang mencoba bicara, terbata.
“Ba-bapakmu, Tok. Ba-pak-mu.” Utok terdiam, meraba makna pembicaraan.
“Bapakmu bunuh diri, Tok. Nadinya putus, ndak bisa selamet lagi.” Jelas Mpok Jaenab yang diikuti kelam pada wajah Utok. Pemuda itu menyegerakan diri masuk rumahnya. Melewati kerumunan yang masih sibuk berbisik, didapatinya tubuh Slamet tergeletak. Merah di sekitar tangan kirinya. Pisau kaku, membisu di atas tikar. Tangan kanan Slamet memeluk pigura. Medekatkan gambar istrinya ke arah dada. Tiada nyawa.
Utok masih mematung di bibir pintu saat Pak RT datang bersama hansip satu-satunya. Pak RT meminta warga menjauh dari pintu. Meminta mereka berhenti gaduh. Meminta Utok sabar menjadi yatim piatu.
Utok masih tak bergerak. Dipandanginya jenazah Slamet lekat-lekat. Pakaian dalam kardus sudah terikat. Pikirannya menggeliat. Ia hampiri Pak RT. Lalu ia menggenggamkan tiga ratus ribu rupiah ke tangan bapak itu. “Tolong makamkan bapak saya.”
Sejak hari itu, Utok tak pernah terlihat di sudut kota itu, pemukiman padat pinggiran kota tempat bapaknya meregang nyawa. Tak ada yang tahu ia pergi kemana. Yang diingat tentangnya adalah tatapan geram di sela langkah tergesa-gesa, seperti memburu sesuatu. Sebelum benar-benar pergi, ia sempat menjawab tanya Mpok Jaenab tentang tujuannya.
“Entah. Saya sendiri sekarang. Saya mau pergi saja. Jauh-jauh dari sini, mengikuti namaku. Bapak bilang Maruto itu Dewa Angin. Mungkin bapak benar.”
Jakarta-Depok, Mei-Oktober 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H