"Enakan disini sih, Bu.. Walaupun ngga seberapa. Tapi lumayan untuk sehari-hari.."
Kata-kata itu saya kutip dari pembicaraan antara ibu saya dan seorang ibu tua penjual minuman didaerah sekitar Tempat Wisata Gunung Merapi, DI Yogyakarta. Perjalanan saya yang semula merupakan liburan bersama keluarga, berubah secara signifikan menjadi perjalanan yang cukup religius dan dengan mudahnya merubah cara pandang saya tentang kehidupan.
Entah mengapa, saya sangat amat kecewa dengan apa yang saya lihat pada malam sebelumnya. Daerah ini bukan merupakan daerah ibukota, metropolitan yang serba ada. Setahu saya, Jogjakarta adalah daerah yang sederhana. Sebuah daerah pariwisata dengan keramahtamahannya. Namun suatu malam, saya melihat seorang anak perempuan membagikan amplop disebuah rumah makan.
Bagian depan amplop itu bertuliskan, "Tolong bantu seikhlasnya untuk biaya makan dan pendidikan saya dan adik-adik saya." Sepengelihatan saya, kebanyakan orang justru malah meletakan lagi amplop kosong itu diujung meja dan diambil lagi oleh anak perempuan itu.
Kejadian ini berbanding terbalik dengan apa yang saya lihat pada esok paginya. Seorang kakek parubaya membawa beberapa tas batik yang ia pikul dipunggungnya. Cuaca Jogja pada saat itu sedang tidak bisa diajak kompromi, terlebih lagi dengan kondisi jalanan yang menanjak. Bapak tua itu berjalan terseok-seok tanpa menggunakan alas kaki dan dengan sangat mudahnya, saya langsung sedih dan berharap agar bapak itu segera mendapat rezeki yang berlimpah. Amin Ya Rabbal Alamin.
Jogjakarta merupakan harapan saya untuk tinggal pada 4 tahun kedepan. Namun melihat keadaan yang pilu seperti ini membuat saya jadi sedikit ragu. Apakah kejadian ini justru akan menguatkan saya dan merubah saya menjadi pribadi yang lebih baik? Saya sendiri tidak yakin. Walaupun, hal hal seperti ini pada akhirnya menjadikan saya lebih bersemangat untuk bangkit dan secara perlahan merubah kekeosan ini bersama orang-orang yang mampu secara mental.
Saya merupakan sepersekian bagian dari Indonesia. Seringkali saya berharap, agar saya dapat memperbaiki semua hal yang belakangan ini menjadi rusak. Hal-hal kecil justru memberikan dampak yang sangat berarti bagi perubahan negeri ini. Kita ambil contoh daya juang seorang kakek renta justru lebih besar dibanding gadis 17 tahun yang masih dapat dengan mudah beraktifitas.
Dimana letak perwujudan dari "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa", disaat masih banyak orang yang terjajah secara tidak langsung. Sangat susah berpikir jernih disaat orang-orang disekitar justru menikmati hal ini — mereka tidak berusaha untuk mengubahnya. Selama kehidupan mereka tidak diganggu.
Tapi, bukankah sebenarnya jika bibit pohon yang didiamkan dan justru malah difasilitasi dengan lahan yang luas dapat mempermudah mereka untuk tumbuh dan berkembang biak? Hal itu sama dengan apa yang sedang terjadi di Indonesia. Mengapa kita justru mempermudah para peminta-minta untuk melanjutkan aksinya?
Bukannya justru memberikan mereka kebisaan, pelatihan agar hidup lebih berkualitas dan bermanfaat? Mengapa kita tidak memfasilitasi kakek dan nenek yang kesusahan membating tulang untuk keluarganya, dengan kegiatan yang dapat memberikan kesan berharga dihari-hari akhirnya? Lalu, mengapa kita tidak menguatkan potensi muda dengan membangun organisasi atau wadah kegiatan lainnya? Sehingga, Indonesia akan jauh lebih berkembang dengan potensi SDM yang bermutu.
Tulisan ini mungkin tidak akan berpengaruh banyak, tapi saya selalu berharap agar ini dapat menginspirasi para pembaca dan menggerakan hati siapapun untuk turut bantu memperbaiki Indonesia menjadi negara yang lebih baik lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H