Mohon tunggu...
Galih setyo ardi
Galih setyo ardi Mohon Tunggu... Buruh - KARYAWAN

MENCOBA MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pilpres dan "Nyanyian Lama" yang Perlu Direvisi

19 Juni 2019   11:01 Diperbarui: 20 Juni 2019   09:46 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan energi masyarakat negeri ini tersita oleh keras pemilihan umum 2019. Pikiran masyarakat kita saling beradu argumen tentang pilihan mereka.

Argumen-argumen tersebut dapat bersumber dari kelebihan atau kekurangan masing-masing calon, dapat juga bersumber dari statetment calon ketika kampanye. Bahkan beberapa argumen hanya didasarkan pada asumsi pemikiran masing-masing pendukung calon. 

Semua itu terus mengalir dan menjadi proses belajar masyarakat Indonesia. Bagi penulis semua itu akan menjadi bagian dari sejarah dan bagian dari proses belajar masyarakat. 

Namun semua itu hendaknya tidak hanya berhenti pada semua sejarah dan catatan yang terjadi hari ini. Banyak tokoh nasional dan akademisi berkata kalau masyarakat kita adalah masyakat yang tidak mau belajar dari sejarah.

Salah satu asumsi menarik ketika kampanye adalah bangsa kita selalu dibanding-bandingkan dengan bangsa lain seperti Amerika, Cina, Singapura, Jepang, dan lain-lain. Ibaratnya mereka hanya menggali kekurangan bangsa kita untuk disandingkan dengan kelebihan bangsa lain. Semua itu memang wajar ketika masa kampanye. Lagunya itu saja, lagunya sama saja hanya penyanyinya yang berganti. Lalu apakah begitu buruknya negara ini?

Jika kita menganut parameter negara maju yang mereka buat tentu saja kita kalah. Mereka para negara maju akan terus merevisi parameter-parameter itu ketika ada negara lain yang mau masuk. 

Kelompok mereka akan selalu dibuat untuk selalu jadi yang teratas dan terbaik. Saat ini parameter untuk menjadi negara maju menggunakan parameter: (1) Pendapatan Perkapita, (2) Jumlah Penduduk Miskin, (3) Tingkat Pengangguran, (4) Angka Kematian Bayi dan Ibu Melahirkan, dan (5) Angka Buta Aksara Masyarakat.

Kita ulas satu parameter saja dulu, misalnya pendapatan perkapita. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan perkapita masyarakat Indonesia sebesar Rp56 juta atau US$3.927 per tahun pada 2018. 

Jika dibandingkan dengan negara maju lainnya sangatlah kecil, namun apakah angka itu mencerminkan kesejahteraan masyarakat dan mencerminkan kebahagiaan masyarakat? Bagi penulis tentu saja tidak. Di berbagai kondisi sosial dan budaya, nilai bahagia dan sejahtera berbeda-beda. 

Apalagi di Indonesia, sejahtera dan bahagia menurut masyarakat Jawa akan berbeda dengan masyarakat Sunda, Bali, atau Ambon. Filosofi yang dianut di setiap tatanan budaya dan sosial terhadap arti sejahtera dan bahagia akan sangat berbeda. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun