Belakangan energi masyarakat negeri ini tersita oleh keras pemilihan umum 2019. Pikiran masyarakat kita saling beradu argumen tentang pilihan mereka.
Argumen-argumen tersebut dapat bersumber dari kelebihan atau kekurangan masing-masing calon, dapat juga bersumber dari statetment calon ketika kampanye. Bahkan beberapa argumen hanya didasarkan pada asumsi pemikiran masing-masing pendukung calon.Â
Semua itu terus mengalir dan menjadi proses belajar masyarakat Indonesia. Bagi penulis semua itu akan menjadi bagian dari sejarah dan bagian dari proses belajar masyarakat.Â
Namun semua itu hendaknya tidak hanya berhenti pada semua sejarah dan catatan yang terjadi hari ini. Banyak tokoh nasional dan akademisi berkata kalau masyarakat kita adalah masyakat yang tidak mau belajar dari sejarah.
Salah satu asumsi menarik ketika kampanye adalah bangsa kita selalu dibanding-bandingkan dengan bangsa lain seperti Amerika, Cina, Singapura, Jepang, dan lain-lain. Ibaratnya mereka hanya menggali kekurangan bangsa kita untuk disandingkan dengan kelebihan bangsa lain. Semua itu memang wajar ketika masa kampanye. Lagunya itu saja, lagunya sama saja hanya penyanyinya yang berganti. Lalu apakah begitu buruknya negara ini?
Jika kita menganut parameter negara maju yang mereka buat tentu saja kita kalah. Mereka para negara maju akan terus merevisi parameter-parameter itu ketika ada negara lain yang mau masuk.Â
Kelompok mereka akan selalu dibuat untuk selalu jadi yang teratas dan terbaik. Saat ini parameter untuk menjadi negara maju menggunakan parameter: (1) Pendapatan Perkapita, (2) Jumlah Penduduk Miskin, (3) Tingkat Pengangguran, (4) Angka Kematian Bayi dan Ibu Melahirkan, dan (5) Angka Buta Aksara Masyarakat.
Kita ulas satu parameter saja dulu, misalnya pendapatan perkapita. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan perkapita masyarakat Indonesia sebesar Rp56 juta atau US$3.927 per tahun pada 2018.Â
Jika dibandingkan dengan negara maju lainnya sangatlah kecil, namun apakah angka itu mencerminkan kesejahteraan masyarakat dan mencerminkan kebahagiaan masyarakat? Bagi penulis tentu saja tidak. Di berbagai kondisi sosial dan budaya, nilai bahagia dan sejahtera berbeda-beda.Â
Apalagi di Indonesia, sejahtera dan bahagia menurut masyarakat Jawa akan berbeda dengan masyarakat Sunda, Bali, atau Ambon. Filosofi yang dianut di setiap tatanan budaya dan sosial terhadap arti sejahtera dan bahagia akan sangat berbeda.Â
Di Indonesia sering kita mendengar, melihat, atau menyebut frasa "bahagia itu sederhana". Di suatu tatanan masyarakat bisa jadi uang bukankan segalanya, uang bukanlah suatu parameter kebahagiaan.Â
Bagi penulis, negeri kita adalah negara yang unik, karena masyarakatnya sangat menikmati apapun yang diperoleh. Mohon Maaf, bahkan kadang ketika diberi cobaan atau musibah saja dapat menjadi nikmat dan bahagia bagi mereka.Â
Ketika bajir datang kita sering lihat, anak-anak justru asik berenang sambil tertawa. Mungkin bagi masyarakat asing itu terlihat aneh, namun inilah bangsa kita apapun pemberian Tuhan dapat dinikmati.Â
Ketika penulis di Jogja dan ada bencana gunung merapi meletus, anak-anak masih dapat bermain sepak bola dengan tersenyum tertawa seolah lupa akan bencana, ibu-ibu saling gotong-royong di dapur umum sambil menggosip dengan renyah.Â
Bahkan ada beberapa "joke" menyebutkan pengusaha yang bangkrut dan banyak hutang pun dapat melupakan hutangnya. Ketika di negara maju seperti Jepang banyak kasus bunuh diri karena tekanan pekerjaan, di negeri ini malah tertawa dan bercanda dijadikan joke.
Bagi penulis negeri ini sudah negara maju, meski pendapatan perkapita hanya US$3.927 per tahun. Namun masyarakat kita dapat menikmati, mensyukuri, dan mengelola uang tersebut dengan baik. Bayangkan saja ada beberapa orang yang hanya berprofesi sebagai petani, tukang becak, petugas kebersihan, pedagang asongan tapi dapat berangkat haji setelah menabung bertahun-tahun.Â
Pengelolaan pendapatan mereka sangat luar biasa, saya yakin pendapatan mereka justru di bawah rata-rata pendapatan perkapita negeri ini. Namun pengelolaan keuangan mereka luar biasa, mereka dapat menikmati berapapun rezeki yang diberikan.Â
Mereka tidak frustasi dengan kondisi keuangan mereka dengan terus sabar, istiqomah, qonaah untuk mewujudkan tujuan yang dimantapkan di hatinya. Untuk menjadi negara maju, kita tidak harus seperti bangsa lain. Justru harus belajar dan menggali dari masyarakat kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H