Di ruang redaksi Biro Verifikasi Fakta Nasional, Jakarta, Sarah Lin menatap layar komputernya dengan jantung berdebar. Di hadapannya, sebuah dokumen yang bisa mengguncang fondasi harapan jutaan orang.
"Kita harus rilis ini," kata Reza, rekan kerjanya. "Ini tugasmu sebagai fact checker."
Sarah menggeleng pelan. "Tidak sesederhana itu."
Dokumen itu berisi bukti bahwa "Program Harapan" - inisiatif nasional yang telah memberi semangat pada jutaan orang selama pandemi - dibangun di atas data yang dimanipulasi. Angka kesembuhan yang memberi harapan, kisah-kisah inspiratif yang membangkitkan semangat, projek-projek pemberdayaan yang menghidupi mimpi - semuanya dibangun di atas fondasi yang tidak sepenuhnya benar.
Tapi dampaknya? Nyata.
"Lihat ini," Sarah menunjukkan folder berisi ribuan testimoni:
"Program Harapan membuat saya berani bermimpi lagi..."
"Berkat Program Harapan, saya tidak jadi bunuh diri..."
"Program ini menyelamatkan keluarga kami..."
"Truth without compassion is just another form of cruelty," gumam Sarah, mengutip kata-kata mendiang ayahnya yang juga seorang jurnalis.
Dilema moral ini menghantuinya. Sebagai fact checker senior dengan reputasi tanpa cela selama 15 tahun, ia selalu percaya bahwa kebenaran harus diungkap, apapun konsekuensinya. Tapi kali ini...
"What's the price of truth?" ia menulis di jurnalnya malam itu. "And what's the value of hope?"