Di sebuah sudut di negeri Indonesia, hidup dua ekor anjing jenis Alaskan Malamute yang mungkin tidak seperti anjing pada umumnya. Nama mereka adalah Jojo dan Luna. Mereka bukan hanya berbagi rumah, tetapi juga telah 'menikah' dalam upacara mewah di hotel berbintang.
Cerita mereka telah menyebar luas di media sosial, menciptakan gelombang kontroversi dan perdebatan yang luas. Bagaimana mungkin ? Sebuah pernikahan anjing dengan segala upacara dan perayaannya, tampaknya telah melanggar batas antara dunia hewan dan manusia.
Dalam analisis ini, kita akan mencoba untuk melihat fenomena ini dari sudut pandang kognitif dan psikologis. Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Apa yang mendorong pemilik anjing ini untuk mengadakan pernikahan? Dan bagaimana kita, sebagai masyarakat, merespon dan memahami fenomena ini?
Pemilik Jojo dan Luna berpendapat bahwa ini adalah cara mereka menunjukkan cinta mereka pada hewan peliharaan mereka. Mereka berargumen bahwa pernikahan ini adalah cara untuk merayakan kehidupan dan kebahagiaan anjing-anjing mereka.
Dari perspektif kognitif, ini bisa dijelaskan dengan konsep antropomorfisme, dimana manusia cenderung memberikan atribut dan emosi manusia pada objek non-manusia, termasuk hewan. Ini bisa membantu manusia merasakan kedekatan emosional yang lebih besar terhadap hewan peliharaan mereka dan melihat mereka sebagai bagian dari keluarga.
Namun, banyak orang yang mengkritik tindakan ini. Mereka berpendapat bahwa pernikahan anjing adalah bentuk perlakuan berlebihan pada hewan dan menunjukkan penggunaan sumber daya yang tidak proporsional. Mereka juga mempertanyakan etika dari mengadakan upacara mewah saat banyak orang masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Dari perspektif kognitif, ini bisa dijelaskan oleh konsep bias konfirmasi, di mana orang cenderung mencari dan memahami informasi yang sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai mereka sendiri. Jadi, jika seseorang memiliki keyakinan kuat tentang bagaimana hewan harus diperlakukan atau bagaimana sumber daya harus dialokasikan, mereka cenderung melihat pernikahan anjing ini sebagai sesuatu yang berlebihan atau tidak etis.
Kemudian ada Bias Status Quo. Bias ini adalah kecenderungan untuk mempertahankan situasi saat ini dan merasa tidak nyaman dengan perubahan atau kejadian yang tidak biasa, seperti pernikahan anjing. Orang mungkin merasa terganggu oleh pernikahan Jojo dan Luna karena dianggap tidak sesuai dengan 'norma' yang ada.
Bias selanjutnya adalah Inequity Aversion. Bias ini adalah kecenderungan untuk menghindari situasi yang dirasakan sebagai tidak adil. Jadi, orang yang melihat pernikahan anjing sebagai pemborosan atau ketidakadilan - misalnya, karena banyak orang masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka - akan merasa sangat tidak setuju dengan acara tersebut.
Secara keseluruhan, pernikahan anjing Jojo dan Luna adalah sebuah fenomena yang mengungkap berbagai aspek kognitif dan psikologis dari perilaku manusia. Baik Anda setuju atau tidak dengan pernikahan ini, hal tersebut menggambarkan bagaimana kita memberikan makna, memahami, dan berinteraksi dengan dunia di sekitar kita. Fenomena ini menunjukkan bahwa psikologi dan proses kognitif kita memiliki peran penting dalam membentuk interpretasi dan reaksi kita terhadap fenomena sosial, termasuk pernikahan anjing di media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H