Kelahiran UU No 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menjadi oase yang menghadirkan kesempatan sekaligus tantangan bagi re-demokratisasi desa. Regulasi baru ini menyediakan rute perubahan revolusioner bagi desa di dalam sistem NKRI. Terbitnya UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, dirasa sebagai salah satu jawaban. Selain memberi pesan eksplisit berupa pengakuan (recognition) negara pada desa, regulasi ini juga memperjelas kedudukan dan kewenangan desa dalam politik pembangunan.
Desa telah mengenal demokrasi sebelum negara kita terbentuk. Demokrasi desa memiliki ciri khas tersendiri. Sebagai masyarakat komunal, warga desa kental dengan sikap toleran, tolong menolong, gotong royong dan saling menghargai. Kondisi ini pun membentuk kehidupan demokrasi desa yang juga toleran, saling menghormati, saling menolong, berpartisipasi secara sukarela, dan mengedepankan kemanusiaan.
Wajah demokrasi desa akan tergambar dalam segenap aspek kehidupan masyarakat desa, baik sosial-politik, sosial-ekonomi maupun sosial-budaya. Dalam tataran praktis, demokrasi desa terlihat dalam empat bentuk, yakni: memilih pemimpin (kepala desa), pemerintahan desa, musyawarah desa dan partisipasi warga.
Pilkades merupakan salah satu bentuk pesta demokrasi yang begitu merakyat. Pemilihan tingkat desa ini merupakan ajang kompetisi politik yang begitu mengena kalau dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran dan pendidikan politik akar rumput di masyarakat. Pada momen ini, masyarakat yang akan menentukan siapa pemimpin desanya selama 6 tahun ke depan. Banyak bentuk pesta demokrasi yang telah digelar dalam kehidupan politik kita sekarang.
Pilpres, Pilkada Gubernur, Pilkada Bupati dan Pemilu Legeslatif. Tak ketinggalan adalah Pilkades. Momentum kontestasi ini merupakan upaya bagaimana negara melihat demokrasi desa sebagai satu episentrum, sumber penguatan kualitas pemilu juga pilkada pada masa akan datang.
Dalam implementasinya, Â Pilkades memiliki konteks yang berbeda dengan ajang kontestasi lainnya, semisal Pemilu dan Pilkada. Pilkades terasa lebih spesifik dari pada ajang pemilihan di atasnya. Yaitu adanya kedekatan dan keterkaitan secara langsung antara pemilih dan para calon. Sehingga, suhu politik di lokasi sering kali lebih terasa dari pada saat pemilihan-pemilihan yang lain. Pengenalan atau sosialisasi terhadap calon-calon pemimpin tak lagi mutlak dan begitu penting. Para bakal calon biasanya sudah banyak dikenal oleh setiap anggota masyarakat yang akan memilih.Â
Namun demikian sosialisasi program atau visi misi sering kali tidak dijadikan sebagai media kampanye atau pendidikan politik yang baik. Kedekatan pribadi, akan sering kali banyak dipakai oleh masyarakat untuk menentukan pilihannya. Pemilih lebih banyak menjatuhkan pilihannya pada calon yang memiliki hubungan kekerabatan dengannya. Cost Politic yang begitu besar antar calon membuat Persaingan antar calon sering kali juga terjadi dengan berlebihan. Di sini pendidikan politik perlu dikembangkan. Kerelaan berkorban untuk kepentingan desa yang juga merupakan bagian dari bangsa dan negara ini tentu perlu diwujudkan. Tidak semua pengorbanan harus diukur dengan kontribusi uang.
Pilkades merupakan bagian dari proses kegiatan dan edukasi politik yang berada pada pranata terbawah, seyogyanya ajang Pilkades harusnya mampu memberi momentum pembelajaran dan edukasi politik yang berdampak positif pada pembentukan etika dan budaya politik pemilih untuk pemilihan ditingkat atasnya. Ajang kontestasi Pilkades diharapkan mampu memperkuat partisipasi masyarakat, Sehingga diharapkan akan terjadi perubahan yang signifikan di tingkat pedesaan.
Maju tidaknya Demokrasi ditingkat lokal sangat bergantung pada partisipasi pemilih ditingkat akar rumput (Grassroots) yang ada di desa pada setiap proses kontestasi politik. Para calon kepala desa  hendaknya bisa mendorong partisipasi pemilih lewat kampanye yang berisikan narasi-narasi program yang akan dilaksanakan kelak jika terpilih sehingga muncul suatu pertarungan yang berisi pada instrumen-instrumen yang sifatnya programatik dari para calon sehingga pemilih memilih calonnya berdasarkan pada argumentasi-argumentasi program yang ditawarkan oleh para calon kontestan dalam pilkades.Â
Membangun kualitas pilkades sebelum tahun 2024 sama dengan mendesain kualitas pemilu dan Pilkada 2024. Kesiapan keserentakan pilkades di setiap daerah bukan hanya dilihat dari bagaimana pelaksanaan itu dapat terselenggara tepat waktu, tetapi pada tahapan proses terselenggaranya pilkades harus dibangun lewat proses-proses bermartabat dalam demokrasi.