Kata literasi mungkin jarang terdengar bagi sebagian orang maupun bagi masyarakat awam. Secara etimologis, literasi berasal dari kata "literatus" yang memiliki makna "orang yang belajar". Namun secara harafiah, literasi merupakan kemampuan individu dalam memahami, mengolah serta meresapi suatu informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Seiring berjalannya waktu, definisi dari literasi juga mengalami proses evolusi sehingga bisa memiliki pengertian yang lebih luas lagi. Dengan adanya literasi, seseorang dapat meningkatkan pemahaman nya dengan cara mengambil intisari dari suatu bacaan. Selain itu dengan adanya literasi ini seseorang dapat memperluas cakrawala ilmu pengetahuan serta wawasan mereka, akan tetapi mengapa Indonesia dikatakan termasuk Negara dengan tingkat literasi yang rendah?
Hal tersebut terlihat karena mayoritas masyarakat Indonesia masih minim pengetahuan mengenai budaya literasi. Â Dalam beberapa waktu ini telah terjadi kasus kesalahan penggunaan produk akibat dari kurangnya literasi. Contohnya saja, seseorang yang seharusnya mengkonsumsi obat penurun panas dengan dosis rendah, malah mengkonsumsi obat tersebut dengan dosis yang berlebih. Hal itu bisa saja berakibat fatal apabila tidak segera ditangani. Selain itu masih banyak kasus-kasus lain yang disebabkan oleh rendahnya literasi seseorang. Pernyataan literasi di Indonesia termasuk rendah bukan hanya terlihat dari beberapa kasus-kasus ini saja, akan tetapi masih terdapat banyak data fakta dari beberapa lembaga seperti berikut.
Menurut hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang diterbitkan pada maret 2019 lalu memotret sekelumit masalah pendidikan Indonesia. Dalam kategori kemampuan membaca, sains, dan matematika, skor Indonesia tergolong rendah karena berada di urutan ke-74 dari 79 negara.
Pada hasil survey PISA di tahun-tahun sebelumnya pun  sama, Negara Indonesia tidak mengalami peningkatan dalam hal literasi membaca. Berdasarkan hasil PISA di tahun 2006 Indonesia menempati peringkat ke-50 dari 57 negara . Skor rata-rata sains yang diperoleh siswa Indonesia pada PISA 2006 adalah 393 dan skor ini berada di bawah rata-rata standar dari PISA.
Lalu dalam tiga periode survei terakhir yakni di tahun 2009 ketika PISA diikuti 65 negara, kompetensi membaca siswa di Indonesia berada di peringkat 57, matematika 61, dan sains 60. Kemudian pada tahun 2012, peringkat tersebut kembali merosot ke angka 61 di bidang literasi, serta peringkat 65 untuk matematika dan sains.
Sedangkan, menurut United Nations Educational, Scientific and Cultural Organizatoin (UNESCO) di tahun 2016 menyebutkan bahwa Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara di dunia, yang mana berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).UNESCO juga menyatakan jika minat membaca masyarakat Indonesia sangat rendah. Dimana hanya 0,001 persen atau 1 dari 1.000 orang di Indonesia yang rajin membaca.
Selain itu berdasarkan riset lain dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 disebutkan tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia secara keseluruhan berada di angka 59,52 dengan durasi membaca 4-5 jam per minggu dan 4-5 buku per triwulan.
Data-data diatas menunjukkan jika tingkat literasi di Indonesia berada dalam 10 peringkat terbawah. Dengan tingkat literasi yang rendah ini, dapat menyebabkan beberapa akibat seperti, berkurangnya produktivitas masyarakat, meningkatnya tingkat kemiskinan, meningkatnya angka kriminalitas dalam suatu negara, mudah percaya dengan berita-berita hoax. Akibat hal tersebut akan membuat suatu negara dengan tingkat literasi rendah sulit untuk maju.
Penyebab rendahnya minat dan kebiasaan membaca di Indonesia antara lain yaitu kurangnya akses, terutama untuk di daerah terpencil. Hal itu merupakan salah satu yang terungkap dari Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Peneliti di Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud Lukman Solihin mengatakan, ada empat dimensi menjadi pokok bahasan dalam indeks tersebut, yaitu dimensi kecakapan, akses, alternatif, dan budaya.
Selain itu pernyatan tentang penyebab Literasi di Indonesia juga dinyatakan oleh Duta Baca Indonesia periode 2016-2020 yaitu Najwa Shihab pada postingan nya di media social.
"Saya menyadari satu hal: secara umum kita memang masih menghadapi problem tingkat literasi, namun itu bukan semata karena keengganan membaca, melainkan karena problem akses kepada bacaan. Bukan minat baca yang rendah, akses kepada buku yang tidak merata alias timpang. Itulah tugas paling penting bagi kita semua di masa-masa mendatang, menjadi bagian ikhtiar menerobos ketimpangan akses kepada bacaan,"
Adapun pendapat lain yang dikemukakan oleh Tunggul Harwanto, Pendiri Yayasan Rumah Literasi Indonesia mengatakan terdapat empat hal yang menyebabkan tingkat literasi di Indonesia masih rendah.
 Pertama, kurangnya dukungan atau keterlibatan keluarga dalam membangun budaya membaca di rumah sehingga anak-anak tidak terbiasa menjadikan buku sebagai rujukan untuk mendapatkan informasi. Kedua, akses buku yang berkualitas belum merata di sejumlah daerah. Anak-anak tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan referensi buku yang beragam.
Kedua, akses buku yang berkualitas belum merata di sejumlah daerah. Anak-anak tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan referensi buku yang beragam.
Ketiga, budaya literasi tidak hanya tentang tata kelola buku di perpustakaan, dalam hal ini masyarakat belum sepenuhnya mengambil peran untuk meningkatkan ekosistem literasi yang produktif bagi anak-anak.
Keempat, pemerintah dinilai belum mampu mengembangkan program literasi berbabasis gerakan. Bilapun ada selama ini hanya dianggap lebih ke arah seremonial yang cenderung mengarah ke sesuatu yang artificial.
Berdasarkan data dan ketiga pendapat diatas, dapat disimpulkan jika Negara Indonesia termasuk dengan Negara dengan tingkat literasi yang rendah. Sebagian besar penyebab utama Negara Indonesia masih berada dalam tingkat literasi yang rendah yaitu karena keberadaan akses buku yang belum memadai serta belum merata di sejumlah daerah. Dalam hal ini sebaiknya jika ingin meningkatkan budaya literasi, pemerintah wajib membangun infrastruktur pendidikan yang memadai. Setelah terpenuhi nya insfrastruktur Pendidikan pada setiap sekolah. Sekolah dapat membantu pemerintah dengan membuat program literasi setiap minggu yang wajib untuk dilaksanakan oleh seluruh siswa. Selain itu untuk meningkatkan budaya literasi juga dapat dilakukan dengan memiliki kebiasaan yang rutin dalam membaca di kalangan masyarakat dengan memanfaatkan berbagai macam teknologi yang telah ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H