Fakultas Bahasa dan Sastra, UPI mungkin tidak pernah seramai ini dalam beberapa dekade. Orang-orang yang melintas pasti menerka apa yang terjadi di sana atau mereka bertanya-tanya, seperti "Ada apa? Ada siapa?" Hal-hal seperti itu tentu terbesit di benak ketika melihat suatu tempat mendadak ramai. Namun, di antara rasa penasaran itu, mungkinkah terlintas bahwa Fakultas Bahasa dan Sastra tengah mengundang seorang lulusan sarjana ekonomi untuk menjadi narasumber dalam kuliah umum mereka? Mungkin seseorang akan di cap pembohong hanya karna mengatakan "Seorang lulusan ekonomi tengah mengisi kuliah umum tentang bahasa di Fakultas Bahasa dan Sastra". Namun, faktanya, itu benar-benar terjadi. Pada Rabu, 6 November 2024, Pak Anies Baswedan hadir sebagai pembicara dalam kuliah umum di FPBS UPI. Dengan tema "Meningkatkan Rasa Cinta Tanah Air melalui Pendidikan Bahasa dan Sastra," yang dihadiri oleh seluruh mahasiswa dan akademisi FPBS. Hal tersebut menjadi sesuatu yang menarik sebab yang dibawa pak Anies untuk dibahas bukan tentang berapa kenaikan harga buku dari tahun ke tahun atau berapa modal yang dikeluarkan setiap kali akan menerbitkan buku, tetapi yang ia bagikan kepada seluruh hadirin merupakan wawasan Pak Anies mengenai bahasa dan sastra yang lalu ia kaitkan dengan negara kita, yaitu Indonesia.
Dalam banyaknya ilmu yang beliau berikan, penting untuk disoroti perihal penggunaan slogan "Gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar". Menurut beliau, slogan tersebut  membuat masyarakat Indonesia seperti terkunci dalam ketakutan untuk menulis atau berbicara, khawatir dianggap bertutur "tidak baik" atau bahkan "tidak benar". Padahal, konsep "baik dan benar" itu bersifat abstrak. Sebagai contoh, kata "dompet" adalah hasil kesepakatan bersama, tetapi kita tidak tahu siapa yang pertama kali menciptakan kata tersebut atau mengapa benda itu dinamakan "dompet." Bahasa, pada dasarnya adalah hasil kesepakatan bersama. Oleh karena itu, perkembangannya tidak boleh ditahan.
Dalam kajian semiotik Peirce, slogan "Gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar" memiliki status sebagai simbol. Sebagai simbol, ia memiliki hubungan arbitrer dengan objeknya, yaitu norma bahasa yang maknanya dibangun berdasarkan konvensi sosial. Namun, slogan ini kerap dihadapkan pada problem ambiguitas. Frasa "baik dan benar" bukanlah sesuatu yang konkret, melainkan konsep abstrak tanpa rujukan pasti. Ambiguitas ini berdampak pada interpretant yang dihasilkan oleh masyarakat, yang tak jarang berupa ketakutan atau keraguan saat bertutur maupun menulis. Alih-alih mendorong penggunaan bahasa yang percaya diri, slogan ini malah berpotensi menghambat inovasi kebahasaan.
Slogan, sebagai sebuah tanda, semestinya memiliki fungsi pragmatis: membimbing masyarakat untuk menggunakannya dalam konteks yang sesuai dan relevan. Namun, jika interpretant yang muncul adalah rasa takut berbuat salah, maka tanda tersebut telah gagal mencapai tujuannya. Di sini letak permasalahan utama dari slogan tersebut: kekakuan dalam interpretasinya justru menjadi penghalang bagi perkembangan bahasa. Seolah-olah, menggunakan bahasa Indonesia harus selalu dalam bingkai kesempurnaan.
Dalam konteks ini, peran Badan Bahasa sebagai otoritas kebahasaan menjadi sangat penting. Sebagai lembaga yang memandu perkembangan bahasa Indonesia, Badan Bahasa harus melakukan mediasi yang memungkinkan bahasa Indonesia berkembang tanpa kehilangan jati dirinya. Langkah pertama adalah dengan menyediakan standar kebahasaan yang fleksibel, yang tidak sekadar mengatur, tetapi juga merangkul keragaman. Selanjutnya, Badan Bahasa perlu menerima inovasi kebahasaan dari masyarakat, selama inovasi tersebut relevan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar bahasa Indonesia. Terakhir, yang paling utama, adalah memastikan semiosis bahasa Indonesia berjalan secara dinamis agar bahasa terus hidup dan berkembang seiring dengan perubahan sosial dan budaya masyarakat.
Mengapa hal ini penting? Karena bahasa, pada dasarnya merupakan alat komunikasi yang mesti mencerminkan kebutuhan penggunanya. Sebuah bahasa yang kaku dan membatasi kreativitas penggunanya akan kehilangan daya ungkapnya. Sebaliknya, bahasa yang terus berkembang adalah bahasa yang dapat menyesuaikan diri dengan zaman tanpa kehilangan akar budayanya. Bahasa Indonesia, seperti halnya budaya bangsa, adalah cerminan dari masyarakatnya. Jika kita ingin bahasa terus berkembang, kita perlu memberikan ruang bagi masyarakat untuk bereksperimen, menciptakan, dan merayakan keberagaman dalam penggunaan bahasa. Dalam semangat itulah, slogan "Gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar" harus dimaknai ulang -- bukan sebagai pedoman yang membelenggu, melainkan sebagai dorongan untuk mencintai bahasa ini dengan cara yang kreatif, dinamis, dan relevan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H