Film "Wall-E (2008)" berdampak terhadap Peningkatan pada penjualan produk ramah lingkungan.
Film bukan hanya tentang pengalaman hiburan semata, tetapi juga merupakan bentuk seni yang memadukan pengalaman hidup sehari-hari ke dalam narasi yang menarik.Â
Yoyon Mudijiono (2011) mengungkapkan bahwa film tidak hanya menyajikan kesenangan, tetapi juga merefleksikan pengalaman hidup yang dikemas dengan cara yang menarik. Jenis film pun sangat beragam, mulai dari live action, dokumenter, hingga animasi. Menariknya, akar dunia film berasal dari fotografi, sedangkan animasi berakar dari ilustrasi dan desain grafis (Syahfitri, 2011).
Pauhrizi (2020:5) menjelaskan hubungan antara fotografi dan film sebagai sebuah evolusi yang dimulai dari komponen terpisah. Film dan fotografi lahir melalui kombinasi fotografi instan yang digunakan oleh Muybridge dan Marey, didukung oleh alat-alat lain seperti Magic Lantern dan Phenakistoscope. Analogi seperti "sebuah embrio" menggambarkan bahwa film dan fotografi berkembang bersama-sama, masing-masing memberikan kontribusi unik untuk bentuk seni yang lebih besar.
Lebih jauh, film tidak hanya menciptakan pengalaman visual, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengubah sikap penonton. Sebagai contoh, karakter dalam film yang memiliki aksi yang mencolok dapat menciptakan penggemar setia dan bahkan memengaruhi sikap penonton terhadap nilai atau moral tertentu (Supiarza, Rachmawanti, & Gunawan, 2020). Ini menunjukkan bahwa film bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga alat yang kuat untuk mempengaruhi pandangan dan persepsi kita terhadap dunia.
Wall-E merupakan sebuah film animasi yang menceritakan sebuah perusahaan raksasa bernama Buy N Large (BNL) yang menguasai perekonomian di bumi dan juga pemerintahan. Perusahaan ini menghasilkan banyak sampah yang tidak didaur ulang. Hal ini, menyebabkan bumi menjadi tercemar oleh sampah-sampah elektronik dan kehidupan manusia di bumi terancam.Â
Untuk menangani masalah ini Forthright (Fred Willard) selaku CEO Buy N Large, melakukan pengungsian secara masal ke luar angkasa selama 5 tahun menggunakan armada kapal luar angkasa eksekutif yang diberi nama Axiom yang di dalamnya sudah tersedia semua kebutuhan manusia yang dilengkapi dengan robot-robot yang digunakan untuk melayani manusia.
Wall-E bisa dinikmati semua kalangan bahkan anak kecil sekalipun, mengingat film ini menerobos konsep film animasi berdialog rumit, tetapi tetap konsisten memaparkan  inti cerita sembari menghibur kita secara manusiawi,untuk anak muda dan orang dewasa, Wall-E tetap layak disaksikan sebagai hiburan keluarga yang menyenangkan sekaligus mengajari secara tidak langsung untuk lebih peduli terhadap lingkungan disekeliling kita. "Wall-E" memberikan dampak sosial yang signifikan dengan menyampaikan pesan tentang perlindungan lingkungan dan konsumsi berlebihan.
Film ini menggambarkan dunia di masa depan di mana bumi ditinggalkan oleh manusia karena terlalu tercemar. Sementara itu, ratusan robot penghancur sampah yang diberi nama Wall-E ditugaskan ke bumi untuk membersihkan sampah-sampah yang ada di bumi.Â
Robot tersebut sudah deprogram untuk memadatkan dan menumpuk sampah-sampah elektronik yang mencemari bumi, agar mudah dileburkan. Tumpukan sampah ini sudah sampai setinggi gunung pencakar langit. Namun, usaha ini dihentikan karena Forthright berpendapat bahwa tahun 1010 bumi sudah terlalu tercemar dan tidak me kan lagi untuk dihuni manusia lagi. Kira-kira 700 tahun kemudian ada satu robot Wall-E yang masih berfungsi.
Film "Wall-E" menampilkan karakter yang mencerminkan pencegahan kerusakan lingkungan alam dan pembiasaan perilaku ramah terhadap lingkungan dengan memunculkan perilaku reduce, reuse, dan upaya penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan. Penonton yang melihat film ini  akan menjadi lebih berpikir cara mengurangi pemborosan dan mengembangkan keterampilan sosial yang lebih ramah lingkungan.
 Secara keseluruhan, film "Wall-E" memberikan dampak sosial yang signifikan dengan menyampaikan pesan tentang perlindungan lingkungan, konsumsi berlebihan, dan ketergantungan pada sumber daya manusia. Penonton yang melihat film ini  akan menjadi lebih sadar terhadap pentingnya mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan mendorong produk ramah lingkungan.
"Coco" berdampak terhadap nilai-nilai kekeluargaan, warisan budaya, Â dan penghargaan terhadap leluhur.
Film animasi "Coco," yang dirilis pada tahun 2017, tidak hanya memikat penonton dengan visualnya yang memukau dan musik yang mengharukan, tetapi juga meninggalkan jejak mendalam dalam hati mereka melalui nilai-nilai kekeluargaan, warisan budaya, dan penghargaan terhadap leluhur.Â
"Bagian dari tradisi kami di Mexico adalah jangan takut akan kematian dan tersenyum karenanya. Itu adalah perayaan leluhur kami seperti ketika mereka berada di bumi ini, hidup. Itu bukan hal yang menyedihkan atau hal yang menakutkan." (Smith,2014:2).Â
Film ini bukan hanya sebuah kisah petualangan di dunia batin seorang anak muda, Miguel, tetapi juga menjadi pengantar yang indah ke dalam makna kehidupan dan warisan budaya yang berharga. Salah satu inti dari "Coco" adalah pemaparan nilai-nilai kekeluargaan. Kisah Miguel yang bercita-cita menjadi musisi meskipun keluarganya melarangnya mengejar musik, menciptakan panggung emosional yang mendalam.Â
Melalui perjalanan ajaibnya di Dunia Orang Mati, Miguel belajar bahwa kekeluargaan bukan hanya tentang peraturan dan larangan, tetapi juga tentang pemahaman, penghargaan, dan dukungan. Film ini berhasil menyampaikan pesan tentang pentingnya hubungan keluarga dalam membentuk identitas dan mendukung mimpi individu.
"Coco" membuka pintu ke kayaan warisan budaya Meksiko melalui perayaan Hari Orang Mati. Film ini dengan indah menggambarkan tradisi-tradisi unik, seperti memasang altar untuk leluhur, memberikan ofrenda (persembahan), Menurut kepercayaan masyarakat Mexico dalam Schnurer (2013:10). Ofrenda juga harus memenuhi empat elemen yaitu; tanah, udara, air dan api. dan merayakan dengan musik dan tarian.Â
Dengan cara yang apik, "Coco" memberikan gambaran positif tentang kekayaan dan keindahan budaya Meksiko, mengajarkan penonton untuk menghargai dan meresapi akar budaya mereka sendiri.Â
Pesan utama yang tersemat dalam "Coco" adalah penghargaan terhadap leluhur. Miguel belajar bahwa memahami dan menghormati leluhur adalah kunci untuk menghormati diri sendiri.Â
Film ini membangkitkan kesadaran akan pentingnya mengenang dan memperingati mereka yang telah pergi, bukan sebagai kewajiban, tetapi sebagai wujud cinta dan penghargaan terhadap warisan yang mereka tinggalkan.
Selain itu, "Coco" juga mengeksplorasi tema kesetiaan kepada impian pribadi dan perjuangan dalam menghadapi perbedaan pendapat di dalam keluarga. Pesan-pesan ini menyentuh hati penonton dari berbagai lapisan usia dan budaya.
Sumber :
Yoyon Mudijiono. (2011). Kajian Semiotika Dalam Film. Ilmu Komunikasi, 1(1), 123.
Syahfitri, Y. (2011). Teknik Film Animasi Dalam Dunia Komputer. Jurnal SAINTIKOM, 10(3), 213--217.
Pauhrizi, E. M. (2020). Merancang Treatment Film " Sang Seniman " melalui Paradigma Estetika ( Aesthesis ) Dekolonial. IRAMA, 2(1), 1--12.
Supiarza, H., Rachmawanti, R., & Gunawan, D. (2020). Film as a Media of Internalization of Cultural Values for Millennial Generation in Indonesia. 2nd International Conference on Arts and Design Education (ICADE 2019), 419(Icade 2019), 217--221. https://doi.org/10.2991/assehr.k.200321.052
Schnurer, Keira Philipp. 2013. Dia De Los Muertos. University of Mexico: Latin American & Iberian Institute (LAII).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H