Mohon tunggu...
nazwa safinatunnajah
nazwa safinatunnajah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

tak pernah lelah mengejar kata-kata sempurna

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jeritan Hati: Peran Orangtua dalam Kriminalisasi Anak

14 Oktober 2024   16:35 Diperbarui: 14 Oktober 2024   16:48 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di masa sekarang ini, masyarakat menyoroti berbagai kasus yang berkaitan dengan anak-anak, baik anak-anak yang menjadi korban ataupun anak-anak yang tumbuh sebagai pelaku dalam kasus-kasus tindak kriminal tersebut. Menurut Kosnan (2005), anak-anak merupakan individu yang dalam segi usia, jiwa, dan perjalanan hidupnya muda, sehingga mudah terpengaruh oleh berbagai hal yang ada di sekitarnya. Indonesia sebagai negara hukum pun turut memberikan definisi mengenai anak-anak dalam upaya melindungi anak-anak. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan". Jadi, Anak-anak merupakan masa di mana seorang individu yang belum berusia 18 tahun yang tergolong berusia muda dengan jiwa yang muda dan masih memiliki ketergantungan dan ketidak sempurnaan dalam berpikir, serta masih dalam proses terbentuknya cara berpikir. Hal inilah yang menyebabkan bahwa individu yang tergolong anak-anak membutuhkan orang lain untuk memenuhi dan membentuk cara berpikirnya.

Pada sepanjang tahun 2024 ada berbagai peristiwa yang berkaitan dengan anak-anak. Salah satunya yang terjadi pada Bulan September telah terjadi pemerkosaan dan pembunuhan di Palembang, Sumatera Selatan. Korban berinisial AA, seorang anak di bawah umur yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Selain korban, ada hal yang sangat miris lainnya, yaitu empat pelaku tindak kriminal ini juga masih ada di bawah umur. Pelaku merupakan IS (16), MZ (13), MS (12), dan AS (12). Lantas, ada berbagai peran yang perlu dipertanyakan selama ini terutama peran orang tua sebagai rumah pendidikan pertama bagi anak-anak. Selain itu, perlu disoroti berbagai faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku anak-anak. Padahal, usia 0-12 tahun merupakan saat yang paling baik untuk membentuk perilaku, karakter, dan sifat anak (Nur & Rusli Malli, 2022: 89).

Pengaruh peran orang tua dalam pembentukan karakter anak. Orang tua merupakan pendidik utama selama masa pertumbuhan anak, mengingat keluarga menjadi lingkungan pertama yang dikenal oleh anak. Pendidikan yang ditanamkan oleh anak ini harus dilakukan sejak anak usia dini hingga dinilai mampu mempertanggung jawabkan perilakunya sendiri, baik di masyarakat ataupun dalam pandangan hukum. Menurut Darosy, et al. (2011: 144), orang tua berperan sebagai pendidik yang baik dalam pembentukan kepribadian anak, perkembangan dan pengendalian kepribadian anak, serta memberikan bimbingan dan bantuan kepada anak. Oleh karena itu, orang tua memiliki peran yang sangat besar dan berat terhadap pembentukan nilai karakter pada anak. Artinya, orang tua harus memiliki kesiapan untuk melakukan tanggung jawab dan perannya sebagai orang tua. Pasalnya, pembentukan karakter ini telah dimulai ketika individu lahir di dunia, karena anak-anak cenderung belajar terhadap individu lain ataupun lingkungan yang ada di sekelilingnya. Anak-anak mengenal arti baik-buruk dari orang tua melalui apa yang sering kali dilihat dan didengar, serta ucapan dan tindakan yang dilakukan oleh orang tua (Nur dan Rusli Malli, 2022: 90). Namun, hal yang sangat disayangkan adalah ketidakmampuan orang tua dalam membentuk karakter dan mendidik anak, sehingga mendorong orang tua untuk melimpahkan sepenuhnya tanggung jawab kepada sekolah ketika anak-anak mulai memasuki usia sekolah. Fenomena inilah yang masih banyak disangkal oleh orang tua, terlebih kerap ditemukannya oknum orang tua yang melakukan hal tersebut untuk menghindari tanggung jawab penuh atas perilaku anak.

Lingkungan turut memainkan peran yang sangat besar selama masa pembentukan dan perkembangan karakter anak. Lingkungan adalah tempat bagi seorang individu berinteraksi dan melanjutkan kehidupannya. Pada saat inilah individu akan berinteraksi dengan individu lain di luar lingkungan keluarganya. Selama masa ini, anak-anak akan mulai mendekat kepada lingkungan sekolah dan lingkungan sosial. Lingkungan sekolah menjadi sarana bagi anak-anak untuk membentuk perilaku dan karakter anak, sehingga perlu adanya pencerminan moral yang sangat baik guna memberikan dampak positif bagi anak. Menurut Gulo, et al. (2024), lingkungan sekolah berperan penting dalam mendidik karakter seorang anak melalui sikap peduli dan mendukung pertumbuhan anak. Selain itu, lingkungan sosial atau masyarakat juga turut berpengaruh di dalam kehidupan individu. Shintya Nabila (2022) berpendapat bahwa lingkungan sosial lebih banyak mempengaruhi perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh individu karena pada lingkungan inilah yang sepenuhnya menggambarkan betapa pentingnya dan kuatnya pengaruh lingkungan sosial terhadap seseorang. Individu seringkali mendapat godaan untuk mengikuti langkah atau jejak temannya dalam melakukan tindakan. Contohnya saja perilaku merokok oleh anak dikarenakan anak cenderung meniru perilaku yang ada di sekitarnya, hingga mengajak orang lain untuk melakukan perilaku yang sama.

Faktor terakhir yang kerap disangkal oleh masyarakat, yaitu stereotip masyarakat terhadap anak laki-laki dan perempuan yang tidak imbang atau dikenal dengan stereotip gender. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), stereotip adalah pandangan mengenai sifat, watak, dan perilaku sebuah golongan atau kelompok hanya berdasarkan prasangka. Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya keberpihakan di tengah masyarakat mengenai gender laki-laki dan perempuan. Hal ini dipengaruhi dengan banyaknya etnis di Indonesia yang menganut sistem patriarki, di mana anak laki-laki dianggap sebagai penerus keluarga dan pemegang kekuasaan utama dalam sistem sosial. Menurut Dr. Ike Herdiana, M.Psi (dalam Fitriyah, 2024), contoh stereotip masyarakat terhadap Perempuan yang dapat ditemukan di media sosial, yaitu pandangan bahwa perempuan mudah dilemahkan melalui tindakan pelecehan seksual secara online dan sering mendapatkan hinaan atau diskriminasi. Selain itu, ketika terjadinya pelecehan seksual sekalipun yang di mana perempuan sebagai korbannya, ada berbagai komentar negatif yang menyatakan bahwa kesalahan ada pada perempuan, pakaian perempuan, ataupun perilaku perempuan. Berbagai stereotip inilah yang mendorong pembentukan karakter anak, hingga menyebabkan anak-anak melakukan tindakan kriminal.

Faktor-faktor di atas merupakan hal yang sangat dekat dengan diri anak-anak. Bahkan secara sadar ataupun tidak sadar memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap karakter dan perilaku anak. Oleh sebab itu, ada berbagai hal yang perlu diperhatikan orang tua selama masa pertumbuhan anak, lingkungan sekolah yang turut memberikan contoh baik, serta lingkungan dan masyarakat yang secara peka turut mendorong perkembangan karakter anak secara positif. Orang tua dapat mengambil kendali yang lebih besar meskipun anak telah memasuki usia sekolah. Lingkungan sekolah yang turut berperan mengembangkan karakter-karakter baik. Selain itu, tindakan yang dapat dilakukan oleh masyarakat terutama membangun stereotip positif yang dapat mendukung perilaku positif anak. Ada suatu kalimat yang saat ini tersebar melalui media sosial mengenai stereotip gender dan tindakan kriminal ini, yaitu "Jangan hanya meminta anak perempuan untuk menjaga diri, tapi juga didiklah anak laki-laki untuk memiliki karakter yang baik".

Referensi:

Darosy, et al. (2011). Peran Keluarga dalam Membentuk Karakter Anak. Psikologi Undip, No.2.

Fitriyah, Aidatul. (2024). "Dampak Media Sosial Terhadap Psikologis dan Stereotip Perempuan". Universitas Airlangga (https://unair.ac.id/dampak-media-sosial-terhadap-psikologis-dan-stereotip-perempuan/ , diakses pada 13 Oktober 2024).

Gulo, et al. (2024). Pengaruh Lingkungan terhadap Pembentukan Karakter Anak. Scientificum Journal, 1(3): 150-161.

Koesnan, A. (2005). Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun