Ki Ageng Suryomentaram dikenal sebagai seorang pemikir Jawa yang mendalam serta seorang tokoh yang memperjuangkan cara hidup sederhana. Ia memilih untuk melepaskan gelar dan kehidupan istana demi menjalani hidup yang lebih sederhana, yang ditujukan untuk menemukan makna hidup dan kebahagiaan sejati. Perjalanan spiritualnya memberi dampak besar pada pemikirannya dan ajarannya. Ia mengembangkan gagasan tentang psikologi Jawa, yang menekankan pentingnya pemahaman diri untuk mencapai kebahagiaan batin. Ki Ageng Suryomentaram meyakini bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari kekayaan, jabatan, atau status, tetapi dari pengertian dan penerimaan diri sendiri. Konsep kebatinannya menyediakan landasan etika dan moral yang kuat yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kepemimpinan dan upaya anti korupsi. Oleh karena itu, sebelum membahas konsep Ki Ageng Suryomentaram mengenai ajaran kebatinannya, berikut adalah penjelasan mengenai korupsi di Indonesia, dari aspek sosial, ekonomi, dan sosial budaya.
Korupsi di Indonesia telah menjadi masalah yang sangat mendalam, memberikan efek luas pada kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya negara. Korupsi menimbulkan kerugian material yang besar bagi negara, di mana dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan sektor penting lainnya disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Ini mengakibatkan perlambatan dalam pertumbuhan ekonomi dan memperburuk kesenjangan sosial. Korupsi tidak hanya menyebabkan kerugian material yang signifikan, tetapi juga merusak moral dan budaya masyarakat serta mengurangi kepercayaan terhadap instansi pemerintahan. Berikut penjelasan tentang dampak-dampak yang muncul akibat tindakan korupsi.
Di tingkat sosial, korupsi menanamkan budaya ketidakadilan yang meluas. Masyarakat yang sering menyaksikan pelaku korupsi tetap hidup mewah atau menerima hukuman ringan mulai kehilangan kepercayaan pada sistem hukum dan pemerintahan. Hal ini memicu rasa acuh tak acuh publik terhadap kebijakan pemerintah, bahkan memperbesar peluang masyarakat untuk terlibat dalam praktik korupsi kecil-kecilan seperti suap dalam pelayanan publik. Ketika kejujuran tidak lagi dihargai dan integritas dianggap hal yang naif, masyarakat secara tidak langsung mendorong siklus korupsi terus berputar. Korupsi juga berdampak pada lemahnya pelayanan publik. Misalnya, dalam sektor kesehatan, dana yang dicuri berarti kurangnya fasilitas rumah sakit, minimnya obat-obatan, atau buruknya kualitas layanan medis. Dalam pendidikan, korupsi dapat berarti bangunan sekolah yang tidak layak atau guru yang tidak memadai. Akibatnya, masyarakat, terutama yang paling rentan seperti kelompok miskin dan terpencil, terus dirugikan dan tetap terjebak dalam kemiskinan struktural.
Pada tingkat ekonomi, korupsi secara langsung menghancurkan potensi ekonomi negara. Uang yang seharusnya digunakan untuk pembangunan ekonomi justru mengalir ke kantong pribadi para koruptor. Ketika anggaran negara "bocor" karena korupsi, infrastruktur yang dibangun menjadi tidak memadai, proyek-proyek vital tertunda atau mangkrak, dan daya saing ekonomi nasional melemah. Kerugian besar bagi keuangan negara, diperkirakan 30-40% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hilang karena korupsi. Indonesia yang seharusnya bisa menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi pesat sering kali tertinggal dibanding dengan negara-negara tetangga. Selain itu, korupsi memperburuk iklim investasi. Para investor, baik asing maupun lokal, enggan berinvestasi di negara yang terkenal dengan praktik korupsi yang meluas. Ketidakpastian hukum, biaya tambahan berupa pungutan liar, serta proses birokrasi yang berbelit akibat korupsi membuat Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara lain yang menawarkan lingkungan bisnis lebih transparan dan stabil.
Dari sisi budaya, korupsi telah menciptakan penyimpangan dalam nilai-nilai luhur bangsa. Generasi muda yang tumbuh di tengah lingkungan di mana korupsi dianggap hal yang biasa dapat kehilangan orientasi moral. Ketika tindakan koruptif dianggap cara mudah untuk mencapai kesuksesan, masyarakat secara kolektif kehilangan penghargaan terhadap kerja keras, kejujuran, dan tanggung jawab sosial. Ini menjadi ancaman besar bagi identitas bangsa yang terkenal dengan nilai gotong royong, kebersamaan, dan integritas. Lebih dari itu, korupsi juga memutus hubungan emosional antara rakyat dan pemerintah. Ketika masyarakat merasa bahwa pemerintah tidak lagi menjadi pelayan yang amanah, rasa nasionalisme melemah. Rakyat cenderung bersikap individualistis dan pragmatis, mencari cara bertahan hidup tanpa mempedulikan kepentingan bersama.
Pembahasan di atas tentang situasi korupsi di Indonesia berkaitan erat dengan ajaran Ki Ageng Suryomentaram dalam memahami dasar masalah korupsi dan mencari solusi yang lebih manusiawi serta berakar pada nilai kearifan lokal. Ki Ageng Suryomentaram menekankan urgensi pengembangan budi pekerti yang baik dan pemahaman mengenai kebahagiaan sejati yang tidak tergantung pada harta benda atau kekuasaan. Dalam konteks korupsi, prinsip-prinsip beliau tentang berperilaku baik dan merasa cukup sangatlah relevan. Korupsi sering kali muncul karena kegagalan individu untuk merasa puas dengan apa yang dimiliki, sehingga keinginan untuk memiliki lebih banyak, bahkan dengan cara yang ilegal, menguasai hidup mereka. Menurutnya, hal ini terjadi karena orang kehilangan kesadaran batin mengenai batasan diri dan tanggung jawabnya terhadap masyarakat.
Selanjutnya, gagasan tentang kebahagiaan batin yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram menyatakan bahwa kebahagiaan tidak semata-mata berasal dari pemenuhan kebutuhan fisik, tetapi juga lahir dari kedamaian batin yang diperoleh melalui tindakan yang jujur, adil, dan tidak merugikan orang lain. Dari sudut pandang ini, para pelaku korupsi sebenarnya hidup dalam keadaan hampa batin, karena kekayaan materi yang mereka kumpulkan tidak dapat memberikan ketenangan sejati.
Selain itu, ajaran Ki Ageng Suryomentaram juga menekankan pentingnya "tepa selira" (rasa empati dan saling menghormati). Tindakan korupsi pada dasarnya adalah wujud dari kurangnya empati terhadap penderitaan orang lain, terutama rakyat kecil yang sangat bergantung pada pelayanan dan program pemerintah. Dengan mengembangkan rasa tepa selira, seseorang akan lebih memahami dampak buruk korupsi terhadap sesama, sehingga mendorong dirinya untuk menjauhkan diri dari perbuatan tidak bermoral ini.